Ahad, 16 Agustus 1998/23
Rabiuts Tsani 1419 Brosur No. :
944/984/IF
Halal Haram Dalam Islam
(ke-1)
1.
Asal tiap-tiap sesuatu adalah
mubah
Islam
menetapkan bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas dari
syari’
(yang berwenang membuat hukum), yaitu Allah dan Rasul-Nya yang engharamkan.
Kaidah ushul mengatakan :
اَْلاَصْلُ
فِى اْلاَشْيَاءِ اْلاِبَاحَةُ. اصول الفقه
Asal
tiap-tiap sesuatu adalah mubah. [Ushul Fiqh]
Kalau
tidak ada nash yang sah atau tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal
tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama
Islam mendasari ketetapan tersebut dengan dalil ayat-ayat Al-Qur’an,
yang antara lain :
هُوَ
الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى اْلاَرْضِ جَمِيْعًا. البقرة: 29
Dia
lah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. [QS. Al-Baqarah :
29]
Dan
Dia telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. [QS. Al-Jaatsiyah : 13]
اَ
لَمْ تَرَوْا اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّموتِ وَ مَا فِى اْلاَرْضِ
وَ اَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَه ظَاهِرَةً وَّ بَاطِنَةً. لقمان: 20
Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya
lahir dan bathin. [QS. Luqman : 20]
Dari
ayat-ayat tersebut bisa kita ketahui bahwa Allah menjadikan apasaja yang ada di
langit dan di bumi itu diseiakan untuk manusia.
Sebenarnya
arena haram dalam syari’at
Islam itu sangat sempit sekali, dan arena halal malah justru sangat luas. Karena
nash-nash yang shahih dan tegas dalam hal haram jumlahna sangat sedikit. Sedang
sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum
asal, yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dimaafkan Allah.
Dalam
hal ini ada satu hadits yang menyatakan sebagai berikut :
مَا
اَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ، وَ مَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَ
مَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَاِنَّ
اللهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا. وَ تَلاَ: وَ مَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا.
الحاكم البزار
Apasaja
yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka hal itu adalah halal. Dan apasaja yang
Ia haramkan, maka hal itu adalah haram. Sedang apasaja yang Ia diamkan, maka hal
itu dibolehkan (ma’fu),
oleh karena itu terimalah kema’afan
dari Allah itu. Sebab sesungguhnya Allah tidak lupa sedikitpun. Kemudian
Rasulullah SAW membaca ayat (yang artinya) Wa maa kaana robbuka nasiyyaa (Dan
Tuhan mu tidak lupa) –
QS. Maryam : 64. [HR. Hakim dan Bazzaar]
عَنْ
سَلْمَانَ اْلفَارِسِيّ قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ السَّمْنِ وَ
اْلجُبْنِ وَ اْلفَرَاءِ، فَقَالَ: اَلْحَلاَلُ مَا اَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ وَ
اْلحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللهُ فِى كِتَابِهِ، وَ مَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا
عَفَا لَكُمْ. الترمذى و ابن ماجه فى نيل الاوطار 8: 120
Dari
Salman Al-Farisiy, ia barkata : Rasulullah SAW ditanya tentang (hukumnya) samin,
keju dan keledai hutan, maka beliau bersabda, “Yang
halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan yang haram adalah
sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedang apa yang Ia diaman, maka hal
itu adalah salah satu yang Allah ma’afkan
untuk kamu”.
[HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, Nailul Authar juz 8, hal. 120]
Dari
hadits tersebut Rasulullah SAW tidak memberikan jawaban kepada si penanya dengan
menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu qaidah
yang kiranya dengan qaidah itu mereka dapat mengerti apa yang diharamkan Allah,
sedang lainnya adalah halal dan baik.
Dan
sabda beliau juga :
اِنَّ
اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيّعُوْهَا وَ حَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ
تَعْتَدُوْهَا وَ حَرَّمَ اَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا وَ سَكَتَ عَنْ
اَشْيَاءَ رَحْمَةً بِكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا. الدارقطنى
و حسنه النواوى
Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan hal itu,
dan Allah telah memberikan beberapa batasan, maka jangan kamu melampauinya. Dan
Allah telah mengharamkan sesuatu, maka janganlah kamu melanggarnya. Dan Allah
telah mendiamkan beberapa hal, sebagai tanda kasih-Nya kepadamu, tidak karena
lupa, maka jangan kamu perbincangkan hal itu. [HR. Daruquthni, dihasankan
oleh An-Nawawiy]
Jadi
hendaklah kita ketahui bahwa qaidah asal segala sesuatu adalah halal, ini tidak
hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan
pekerjaan yang tidak termasuk dari ibadah, yaitu yang biasa kita isthilatkan
dengan adat atau mu’amalah.
Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang
memang oleh syari’
sendiri telah diharamkan dan diterangkannya. Firman Allah SWT :
وَ
قَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ. الانعام: 119
Dan
sungguh Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkannya atas kamu.
[QS. Al-An’aam
: 119]
Ayat
ini umum, meliputi soal-soal makanan, perbuatan dan lain-lain.
Berbeda
sekali dengan urusan ibadah, karena ibadah semata-mata urusan agama yang tidak
ditetapkan melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah maka terdapat dalam hadits
Nabi SAW yang mengatakan :
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. مسلم 3: 1343
Dari
‘Aisyah,
ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa
membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya,
maka dia itu tertolak”.
[HR. Muslim juz 3, hal. 1343]
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. مسلم 3: 1344
Dari
‘Aisyah,
ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa
mengerjakan amalan (ibadah) yang tidak ada padanya perintah kami, maka ia itu
tertolak”.
[HR. Muslim juz 3, hal. 1344]
Hal
ini karena hakikat agama atau ibadah itu tercermin dalam dua hal, yaitu :
1. Hanya Allah lah yang disembah.
2. Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan
menurut apa yang disyari’atkan-Nya.
Oleh
karena itu barangsiapa mengada-adakan suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya
sendiri, apapun macamnya, adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya
Allah dan Rasul-Nya yang berhaq mengadakan cara ibadah yang dapat dipakai untuk
bertaqarrub kepada-Nya.
Adapun
masalah adat dan mu’amalat,
sumbernya bukan dari syari, tetapi justru manusia itu sendiri yang menimbulkan
dan mengadakan. Dalam hal ini syari’
hanya membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal
yang memang membawa kerusakan dan mudlarat, maka syari’
pasti melarangnya.
Syaikhul
Islam IbnuTaimiyah berkata, “Sesungguhnya
perbuatan manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun kemashlahatan ada dua
macam, yaitu : ibadah yang justru untuk kemashlahatan agamanya, dan adat
(kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemashlahatan dunia mereka. Maka
dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui bahwa ibadah yang
benar hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syair’at
itu sendiri.
Adapun
masalah adat yaitu yag biasa dipakai ummat manusia demi kemashlahatan yang
mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang
dilarang oleh Allah SWT. Karena itulah imam Ahmad dan beberapa ahli fiqh lainnya
berpendapat : Pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan
Allah dan Rasul). Oleh telah
disyari’atkan
oleh Allah. Jika tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam apa yang
disebutkan Allah :
اَمْ
لَهُمْ شُرَكَآؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مّنَ الدّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ.
الشورى: 21
Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?. [QS. Asy-Syuuraa : 21]
Sedang
dalam persoalan adat, prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang kecuali
yang memang telah diharamkan. Jika tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam
apa yang difirmankan Allah :
قُلْ
اَرَءَيْتُمْ مَّآ اَنْزَلَ اللهُ لَكُمْ مّنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مّنْهُ حَرَامًا
وَّ حَللاً، قُلْ آ للهُ اَذِنَ لَكُمْ اَمْ عَلَى اللهِ تَفْتَرُوْنَ. يونس:
59
Katakanlah,
“Terangkanlah
kepadaku tentang rezqi yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”.
Katakanlah, “Apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah ?”.
[QS. Yuunus : 59]
Dengan
dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka
hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara’.
Begitu juga boleh makan dan minum sesukanya, selama tidak diharamkan oleh
syara’,
sekalipun sebagiannya kadang-kadang disunnatan dan adakalanya dimakruhkan.
Sesuatu yang oleh syara’
ridak diberinya pembatasan, maka kita dapat menetapkan kemuthlaqan hukum
asal.
Prinsip
di atas sesui dengan apa yang disebut dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh
Bukhari, dari Jabir bin ‘Abdullah,
ia berkata :
كُنَّا
نَعْزِلُ وَ اْلقُرْانُ يَنْزِلُ فَلَوْ كَانَ شَيْءٌ يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَى
عَنْهُ اْلقُرْانُ.
Kami
pernah melakukan ‘azl,
sedang waktu itu Al-Qur’an
masih turun. Jika hal tersebut dilarang, tentu Al-Qur’an
melarangnya.
Ini
menunjukkan bahwa apasaja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang. Mereka
bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nash yang melarang dan mencegahnya.
Demikianlah salah satu dari kecerdasan para shahabat.
Dan
dengan ini pula, ditetapkan suatu qaidah, “Soal
ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syai’at
yang ditetapkan Allah. Dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali
dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah”.
2.
Menentukan halal-haram semata-mata haq Allah
Islam
telah memberikan batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan
melepaskan haq tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan
manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya.
Hak
tersebut semata-mata di tangan Allah, bukan di tangan para ulama, bukan para
pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram.
Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak
Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa
yag menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka
itu sebagai sekutu Allah. Firman Allah SWT :
اَمْ
لَهُمْ شُرَكَآؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مّنَ الدّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ.
الشورى: 21
Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?. [QS. Asy-Syuuraa : 21]
Al-Qur’an
telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) yang tellah memberikan kekuasaan
kepada para orang ‘alim
dan rahib/pendeta mereka untuk menetapkan halal dan haram, dengan firman-Nya
:
اِتَّخَذُوْآ
اَحْبَارَهُمْ وَ رُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مّنْ دُوْنِ اللهِ وَ اْلمَسِيْحَ بْنَ
مَرْيَمَ وَ مَآ اُمِرُوْآ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْآ اِلَهًا وَّاحِدًا لاَ اِلهَ
اِلاَّ هُوَ، سُبْحَانَه عَمَّا يُشْرِكُوْنَ. التوبة: 31
Mereka
menjadikan orang-orang ‘alimnya
dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga mereka
mempertuhankan Al-Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan. [QS. At-Taubah : 31]
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang kepada
Rasulullah SAW, setelah dia mendengar ayat tersebut kemudian ia berkata, “Ya
Rasulullah, dan pendeta itu”.
Maka Nabi SAW bersabda :
بَلَى
اِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمُ اْلحَلاَلَ وَ اَحَلُّوا اْلحَرَامَ
فَاتَّبَعُوْهُمْ؟ فَذلِكَ عِبَادَتُهُمْ اِيَّاهُمْ. احمد الترمذى و ابن جرير
Betul.
Tetapi mereka orang-orang ‘alim
dan para rahib itu telah menetapkn haram terhadap sesuatu yang halal, dan
menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya ? Demikian itulah
penyembahannya kepada mereka. [HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir, Tafsir
Al-Maraghi juz 10, hal. 102]
Memang
mereka (ahli kitab) itu tidak menyembah mereka (orang ‘alim
dan rahib-rahib), tetapi apabila mereka itu menghalalkan sesuatu, merekapun ikut
menghalalkan juga. Dan apabila orang ‘alim
dan rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga.
Al-Qur’an
telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan
menghalalkan tanpa izin Allah sebagai berikut :
قُلْ
اَرَءَيْتُمْ مَّآ اَنْزَلَ اللهُ لَكُمْ مّنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مّنْهُ حَرَامًا
وَّ حَللاً، قُلْ آ للهُ اَذِنَ لَكُمْ اَمْ عَلَى اللهِ تَفْتَرُوْنَ. يونس:
59
Katakanlah,
“Terangkanlah
kepadaku tentang rezqi yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”.
Katakanlah, “Apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah ?”.
[QS. Yuunus : 59]
Dan
firman Allah juga :
وَ
لاَ تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ اْلكَذِبَ هذَا حَللٌ وَ هذَا حَرَامٌ
لّتَفْتَرُوْا عَلَى اللهِ اْلكَذِبَ. اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللهِ
اْلكَذِبَ لاَ يُفْلِحُوْنَ. النحل: 116
Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta, “Ini
halal dan ini haram”.
Untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
egada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. [QS. An-Nahl :
116]
Dari
beberapa ayat dan hadits tersebut di atas, kita mengetahui bahwa hanya Allah lah
yang berhaq menentukan halal dan haram, baik dalam kitab-Nya (Al-Qur’an)
ataupun melalui lidah Rasul-Nya (Sunnah). Tugas kita tidak lebih hanya sekedar
menerangkan hukum yang telah ditetapkan Allah tentang halal dan haram itu,
Jadi,
tentang urusan keduniaan asalnya adalah boleh kecuali jika ada dalil yang
mengharamkannya. Adapun tentang ibadah, asalnya adalah dilarang, kecuali jika
ada perintah atau tuntunannya.
Bersambung………..
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak