Ahad, 20 Juli 1997/15 Rabi'ul
Awwal 1418 Brosur No. :
892/932/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-32)
Sehubungan
hasutan-hasutan utusan Quraisy kepada kaum Muslimin yang dikemukakan kepada
baginda raja Habsyi, maka shahabat Ja'far memohon kepada baginda raja, untuk
menanya kepada mereka.
Ja'far
berkata : "Hai baginda raja, tanyakanlah kepada kedua (utusan Quraisy) itu,
apakah kami ini hamba sahaya ataukah orang-orang merdeka ? Maka jika kami ini
hamba sahaya, adakah kami melarikan diri dari tuan-tuan kami. Maka jika memang
demikian, kami mohon baginda mengembalikan kami kepada
mereka".
Kemudian
kedua utusan Quriasy itu lalu ditanya oleh baginda raja sebagaimana permohonan
Ja'far bin Abu Thalib tsb. Maka kedua utusan Quraisy itupun menyatakan bahwa
kaum Muslimin tersebut adalah orang - orang merdeka.
Kemudian
Ja'far berkata lagi : "Tanyakanlah wahai baginda raja kepada mereka berdua,
apakah kami pernah menumpahkan darah secara tidak benar sehingga ia boleh
menuntut balas dari kami dan apakah kami mengambil harta benda orang banyak
secara tidak benar, lalu kami wajib membayarnya ?"
Oleh
baginda raja mereka itu ditanya pula, dan mereka pun menjawab : "Tidak
!"
Ja'far
bertanya lagi : "Adakah kami mempunyai hutang kepada mereka, yang wajib kami
bayar ?"
Oleh
baginda raja mereka itu ditanya pula dan mereka menjawab : "Tidak
!"
Setelah
selesai tanya jawab antara shahabat Ja'far bin Abu Thalib dan utusan Quraisy
dengan perantaraan raja Habsyi, maka baginda raja lalu berpaling kepada utusan
Quraisy seraya berkata : "Pergilah kamu keduanya dari sini ! Demi Allah, kami
tidak akan menyerahkan mereka itu kepadamu selama-lamanya, walaupun kamu
memberikan gunung emas kepadaku !"
Lantas
baginda raja berkata kepada para prajurit yang ada disampingnya :
"Kembalikanlah kepada keduanya hadiah-hadiah yang mereka bawa karena kami
tidak butuh kepada hadiah-hadiah itu !"
Kemudian
semua hadiah dari dua orang utusan Quraisy itu oleh para prajurit dan pengawal
raja dikembalikan kepada mereka.
Maka
setelah kedua orang utusan Quraisy itu
mendengar perkataan raja Habsyi demikian itu, mereka masing-masing merasa
amat kecewa, karena semua perkataan mereka yang berisi hasutan itu tidak
dihiraukan dan tidak berguna sama sekali. Dan akhirnya mereka pulang ke Makkah
dengan tangan hampa dan tidak membawa hasil sedikitpun.
7. Wahyu Allah Yang Turun Berkenaan Dengan
Peristiwa Tersebut
Menurut
suatu riwayat sebelum raja Najasyi melahirkan ke Islamannya, baginda raja
bertanya juga kepada Ja'far bin Abu Thalib : "Apa kata shahabatmu (Muhammad)
tentang anak Maryam ?"
Ja'far
menjawab : "Beliau mengatakan bahwa anak Maryam itu Ruh Allah dan
Kalimah-Nya, Allah telah mengeluarkannya dari gadis perawan (Maryam) yang belum
pernah didekati oleh seorang manusiapun"
Dengan
jawaban yang singkat ini, mengertilah baginda raja dan sekalian pendeta yang ada
dihadapannya, dan seketika itu juga mereka lalu mengikut Islam. Dan berkenaan
dengan terjadinya peristiwa tersebut, pada waktu itu Allah menurunkan wahyu-Nya
kepada Nabi SAW surat Al-Maidah ayat 82 s/d 86 yang artinya
:
Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang
Mukmin ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik. Dan sesungguhnya kamu
dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang Mukmin ialah
orang-orang yang berkata : "Sesungguhnya kami ini orang Nashrani". Yang demikian
itu disebabkan karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib,
dan karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.
Dan
apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul Muhammad), kamu
lihat air mata mereka bercucuran disebabkan kebenaran (Al-Qur'an) yang telah
mereka ketahui seraya berkata : "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka
catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas
kebenarannya).
Mengapa
kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada
kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam
golongan orang-orang yang shaleh ?"
Maka
Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu)
surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya.
Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat
kebaikan.
Dan
orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni
neraka.
[Al-Maidah : 82 - 86]
8. Nama-nama Kaum Muslimin Yang Hijrah Ke Habsyi
Pada Kali Yang Kedua
Adapun
nama-nama kaum Muslimin yang berhijrah ke Habsyi yang ke dua kali tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Ja'far bin Abu Thalib, 2. Isterinya, Asmaa' binti 'Amis, 3. 'Utsman bin 'Affan,
4. Isterinya, Ruqayyah binti Muhammad Rasulullah, 5. Abu Salamah, Abdullah bin
Abdul Asad, 6. Isterinya, Hindun Ummu Salamah, 7. Abu Sabrah bin Abi Rahmi, 8.
Isterinya, Ummu Kultsum binti Suhail, 9. Khalid bin Sa'id, 10. Isterinya,
Umainah binti Khalaf, 11. 'Amr bin Sa'id, 12. Isterinya, Fathimah binti Shafwan,
13. Qais bin 'Abdullah, 14. Isterinya, Barakah binti Yasar, 15. Jahm bin Qais,
16. Isterinya, Ummu Harmalah, 17. 'Amir bin Rabi'ah, 18 Isterinya, Laila binti
Abu Hatsamah, 19. Abu Hudzaifah bin 'Uthbah, 20. Istrinya Sahlah binti Suhail,
21. Muththalib bin Azhar, 22. Isterinya, Ramlah binti Abu 'Auf, 23. Harits bin
Khalid, 24. Isterinya, Raithah binti Harits, 25. Khaththab bin Al-Harits, 26.
Isterinya, Fukaihah binti Yasar, 27. Hathib bin Al-Harits, 28. Isterinya,
Fathimah binti Mujallal, 29. Malik bin Zam'ah, 30. Isterinya, 'Amrah binti
As-Sa'diy, 33. Sakran bin 'Amr, 34. Isterinya, Saudah binti Zam'ah, 35.
'Ubaidullah bin Jahsy, 36. Isterinya, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, 37.
Abdullah bin Jahasy, 38. Mu'aiqib bin Abu Fathimah, 39. Zubair bin Al-Awwam, 40.
'Utbah bin Ghazwan, 41. Al-Aswad bin Naufal, 42. Yazid bin Zam'ah, 43. Miqdad
bin Al-Aswad, 44. Mush'ab bin 'Umair, 45. Thulaib bin 'Umair, 46. Suwaibith bin
Harmalah, 47. Abur-Rum bin 'Umair, 48. Firas bin Nadlar, 49. 'Abdurrahman bin
'Auf, 50. 'Amir bin Abi Waqqash, 51. 'Abdullah bin Mas'ud, 52. 'Utbah bin
Mas'ud, 53. 'Umar bin Umayyah, 54. 'Amr bin 'Utsman, 55. Syammas bin Utsman, 56.
Habbar bin Sufyan, 57. Mu'attib bin 'Auf, 58. 'Utsman bin Madh'un, 59.Qudamah
bin Madh'un, 60. Sa'ib bin Ustman, 61. Abdullah bin Madh'un, 62. Muhammad bin
Hathib, 63. Harits bin Hathib, 64. Junadah bin Sufyan, 65. Jabir bin Sufyan, 66.
Utsman bin Rabi'ah, 67. Abdullah bin Harits, 68. Khunais bin Hudzafah, 69. Qais
bin Hudzafah, 70. Abdullah bin Hudzafah, 71. Harits bin Qais, 72. Ma'mar bin
Al-Harits, 73. Bisyr bin Harits, 74. Abu Qais bin Al-Harits, 75. Sa'id bin 'Amr,
76. Sa'id bin Muhasysyim, 77. Mahmiyah bin Jaz-in, 78. Sa'id bin Harits, 79.
'Umair bin Ri-ab, 80. Ma'mar bin Abdullah, 81. Urwah bin Abdul 'Uzza, 82. 'Ady
bin Nadllah, 83. Abdullah bin Makhramah, 84. 'Abdullah bin Suhail, 85. Salith
bin 'Amr, 86. Hathib bin 'Amr, 87. Sa'ad bin Khaulah, 88. Abu 'Ubaidah Amir bin
Al-Jarrah, 89. Suhail bin Baidla', 90. 'Utsman bin Abdi Ghanmin, 94. Sa'ad bin
Abdi Qais, 95. Harits bin Abdi Qais, 96. Abdullah bin Sufyan, 97. Hisyam bin Abi
Hudzaifah, 98. Salamah bin Hisyam, 99. Syurahbil bin Hasanah, 100. 'Ammar bin
Yasir, 101. Ummu Aiman Al-Habasyiyyah, dia mengikuti Ruqayyah binti Muhammad
(isteri Utsman bin Affan).
Jumlah
kaum Muslimin dan Muslimat yang berhijrah ke Habsyi kali ke dua tersebut
berjumlah 101 orang, lebih banyak dari
jumlah yang tinggal di Makkah bersama Nabi SAW. Adapun yang tidak ikut
berhijrah, menurut riwayat adalah 52 orang lelaki dan 29 orang
perempuan.
9. Keadaan Nabi SAW Selama
Diboikot
Menurut
riwayat, pemboikotan itu berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. Selama itu
Nabi SAW dan kaum keluarganya serta kaum Muslimin yang tidak ikut berhijrah ke
negeri Habsyi, begitu pula segenap keluarga kaum bani Hasyim dan bani
Muththalib, menanggung bermacam-macam kesulitan dan kesengsaraan dalam hidupnya.
Dalam masa selama itu putuslah hubungan mereka dengan segenap qabilah-qabilah
Arab umumnya dan dengan kaum Quraisy penduduk Makkah khususnya. Mereka tidak
dapat lagi bertemu dan berhubungan dengan siapapun, selain di dalam bulan-bulan
Haram (Muharram, Rajab, Dzulqo'dah, Dzulhijjah), bulan-bulan yang dihormati,
dimuliakan dan disucikan oleh segenap bangsa Arab, karena dalam bulan-bulan
tersebut segala permusuhan dan rasa dendam peperangan dan balas dendam harus
dilupakan dan diberhentikan. Di masa pemboikotan itu semua orang yang tinggal di
dalam Syi'ib yang letaknya di sebuah celah bukit di luar kota Makkah, sampai
makan daun-daun dan kulit-kulit pohon yang tipis, karena tidak mendapatkan bahan
makanan dari luar.
Namun
demikian, masih ada sebagian diantara orang-orang Quraisy yang masih ada
hubungan famili atau kerabat dengan orang-orang yang diboikot tersebut yang
masih punya perikemanusiaan. Mereka itu tidak tega melihat penderitaan
orang-orang yang diboikot tersebut.
Golongan
inilah yang sewaktu-waktu mengirimkan makanan dan sebagainya dengan
sembunyi-sembunyi pada waktu tengah malam kepada mereka yang sedang terpisah dan
terboikot di dalam Syi'ib itu. Karena mereka takut kalau-kalau perbuatan mereka
itu sampai diketahui oleh mata-mata kaum Quraisy.
Inilah
suatu macam kesengsaraan dan kemiskinan yang diderita oleh Nabi SAW dan kaum
Muslimin pada masa itu. Meskipun demikian, Nabi SAW dan segenap kaum Muslimin
tetap tenang serta teguh mengerjakan perintah-perintah Allah dengan
sepenuhnya.
Selama
terjadi pemboikotan itu, Nabi SAW menyiarkan agama Islam, hanya di dalam Syi'ib
saja. Tentu saja penyiaran atau da'wah itu hanya tertuju kepada orang-orang yang
ikut terboikot tersebut, kecuali pada bulan-bulan Haram. Pada masa itu Nabi SAW
dapat menyiarkan Islam atau berda'wah di luar Syi'ib, kepada orang banyak, baik
kepada penduduk Makkah maupun kepada orang-orang yang datang dari luar kota, karena telah
ditetapkan oleh undang-undang bangsa Quraisy sendiri, bahwa pada bulan-bulan
Haram, tidaklah diperkenankan bagi siapapun melakukan perbuatan menganiaya. Maka
selama kurang lebih tiga tahun itu, terutama pada musim Hajji Nabi SAW dan
pengikut-pengikutnya terbebas dari penganiayaan dan kekejaman kaum musyrikin
Quraisy. Sebab itu dapatlah Nabi SAW menyiarkan da'wahnya kepada orang-orang
yang sama mengerjakan 'ibadah Hajji baik kepada bangsa Quraisy maupun kepada
bangsa-bangsa Arab lainnya.
Sekalipun
demikian, namun Abu Lahab dan kawan-kawannya sedikitpun tidak senang melihat
Nabi SAW dapat leluasa berda'wah pada tiap-tiap musim Hajji itu. Lantaran itu,
bilamana Nabi SAW berdakwah kepada orang banyak dan khalayak ramai tentang agama
yang dibawa oleh beliau, Abu Lahab selalu mengikuti di belakang beliau seraya
memfitnah kepada beliau dengan cara-cara yang sangat bengis dan
kejam.
10. Rusaknya Shohifah (Naskah Undang-Undang
Pemboikotan)
Pada
suatu waktu, ketika Nabi SAW sedang tidur, beliau bermimpi; Allah memberitahukan
kepada beliau, bahwa naskah undang-undang pemboikotan, yang digantungkan di
dalam Ka'bah, telah rusak dan hancur dimakan rayap, kecuali kertas yang ada
tulisan yang berbunyi :
بِـاسْمِكَ
اللّـهُمَّ (Atas nama Engkau, ya
Allah !)
Oleh
sebab itu Nabi SAW lalu memberitahukan hal tersebut kepada paman beliau yang
tercinta, yaitu Abu Thalib.
Paman
beliau sangat terkejut ketika mendengar apa yang beliau nyatakan. Lantas
bertanya kepada beliau : "Apakah Tuhanmu telah memberitahukan kepadamu
tentang hal itu ?"
Nabi
SAW menjawab : "Ya"
Abu
Thalib bertanya lagi : "Sungguhkah perkataanmu itu ? Tidak berdustakah engkau
kepadaku ?"
Nabi
SAW menjawab : "Ya, demi Allah ! Sungguh dapat
dibuktikan".
Lalu
pada suatu hari Abu Thalib mengajak sebagian orang dan keluarga bani Hasyim dan
bani Muththalib yang gagah berani mendatangi kepala-kepala dan pembesar-pembesar
bangsa Quraisy di Masjid.
Setelah
Abu Thalib datang, mereka menyangka bahwa kedatangannya itu akan menyerahkan
Muhammad untuk dibunuh. Karena mereka mengetahui bahwa Abu Thalib dan orang-oang
yang ikut diboikot telah sama menderita kelaparan dan menanggung kesengsaraan
dalam hidupnya masing-masing.
Kemudian
Abu Thalib meyatakan maksud kedatangannya kepada mereka itu sebagai berikut :
"Demi Allah ! kami keluar dari Syi'ib kemari ini bukanlah untuk menyerahkan
keponakan saya (Muhammad), dan bukanlah kami akan minta ampun kepadamu semua,
tetapi kami akan memberitahukan kepada kalian akan suatu hal yang amat penting,
yang barangkali dapat mendatangkan perdamaian antara kami dan kamu semua. Yakni
: Muhammad telah menyampaikan suatu berita kepadaku, dan perkataannya itu
disertai sumpah didepanku dan aku percaya, bahwa dia tidak akan berdusta
kepadaku. Memang dia sejak kecil adalah seorang yang tidak pernah berdusta,
sebagaimana kamu semua telah maklum. Adapun perkataannya demikian : "Tuhan telah
menyuruh anai-anai (rayap) ke dalam Ka'bah, supaya memakan kertas yang berisi
naskah undang-undang pemboikotan kalian terhadap kami. Lantaran itu sekarang
surat (naskah) undang-undang pemboikotan itu telah rusak dan hancur dimakan
anai-anai, kecuali kertas yang tertulis lafadh yang berbunyi : "Bismika
Alloohumma !" Demikianlah kata Muhammad. Oleh sebab itu, marilah sekarang
kita lihat naskah undang-undang itu untuk membuktikan perkataan Muhammad itu !
Jikalau perkataan Muhammad itu tidak benar, maka kami rela menyerahkan Muhammad
kepada kamu semua, dan perbuatlah sekehendakmu kepadanya. Tetapi, jikalau
perkataan Muhammad itu terbukti, maka hal itu benar-benar menunjukkan, bahwa
undang-undang pemboikotan itu tidak diperkenankan oleh Tuhan sekalian alam,
bahkan boleh jadi orang-orang yang membuatnya terkutuk dan
dimurkai-Nya".
Setelah
pembesar-pembesar dan ketua-ketua bangsa Quraisy mendengar perkataan Abu Thalib
yang demikian itu, maka mereka ingin membuktikan kebenaran hal yang
dikatakannya. Mereka lalu masuk ke dalam Ka'bah. Akhirnya mereka masing-masing
melihat dengan mata kepala, bahwa naskah undang-undang pemboikotan itu
benar-benar telah rusak, kecuali kertas yang bertuliskan "Bismika Alloohumma
!" yang tidak dimakan rayap.
Oleh
sebab itu Abu Thalib lalu berkata kepada mereka : "Mengapa kamu semua senang
mengepung dan memboikot kami ? Sedangkan perbuatan kamu yang demikian itu
nyata-nyata menganiaya dan menyiksa kami yang akhirnya dapat pula memutuskan
persaudaraan antara kami dan kamu semua ?".
Salah
seorang dari mereka menjawab : "Abu Thalib ! Hal ini adalah karena sihir
keponakanmu semata, dan tidak akan terjadi kalau tidak karena sihir
itu".
Mendengar
jawaban mereka semacam itu, Abu Thalib tersenyum. Kemudian bersama-sama dengan
orang-orang yang mengiringkannya memohon kepada Allah : "Ya Allah ! Berilah
kami pertolongan ~untuk mengalahkan~ orang-orang yang telah menganiaya kami dan
memutuskan kasih sayang kami, dan yang telah menghalalkan barang yang diharamkan
atas kami".
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak