Ahad,
17 Maret 2002/03 Muharram 1423
Brosur No. : 1122/1162/SI
Jalan
yang dilalui Nabi SAW pada perang banu Lihyan
Nabi
SAW bersama pasukan Islam berangkat dari Madinah melalui Ghurab, sebuah gunung
di dekat Madinah yang terletak di jalan menuju ke arah Syam, kemudian melalui
Mahish, kemudian Batra’, kemudian beliau membelok ke arah jalan sebelah kiri,
lalu keluar melalui jalan Biin, lalu Shukhairatil Yamam, kemudian berjalan lurus
menuju ke arah Makkah. Sesudah itu beliau berjalan dengan cepat, sehingga
sampailah di Ghuran. Di Ghuran ini beliau berhenti, karena di sinilah tempat
kediaman banu Lihyan, sebuah lembah antara Amaj dan ‘Usfan. [Ibnu Hisyam juz 4,
hal. 241]
Pasukan
Islam yang mengikuti beliau waktu itu selalu diam dan belum mengetahui kemana
mereka akan dibawa. Akhirnya mereka mengerti tujuan perjalanan beliau itu,
tetapi mereka tidak mau bertanya-tanya tentang itu. Mereka hanya thaat dan patuh
apa yang dikomandokan Nabi SAW, karena mereka mengerti
kewajibannya.
Setelah
Nabi SAW dan pasukan sampai di tempat yang dituju, tiba-tiba segenap penduduknya
(kaum banu Lihyan) tidak ada yang kelihatan, tempat mereka sudah kosong. Mereka
sudah lari bercerai-berai ke gunung-gunung, karena mereka telah mengetahui
kedatangan tentara Islam yang dipimpin oleh Nabi SAW
tersebut.
Dua
hari dua malam, Nabi SAW bersama tentaranya berdiam di kabilah banu Lihyan
tersebut dengan tujuan untuk mengetahui apakah mereka berani menyerang pasukan
beliau itu, ataukah tidak. Ternyata tak seorangpun dari pihak musuh yang berani
menampakkan dirinya. Kemudian Nabi SAW memerintahkan pasukannya supaya pindah ke
‘Usfan. Beliau bersabda, “Jika kita turun ke ‘Usfan, niscaya penduduk Makkah
melihat kita, bahwa kita telah datang ke Makkah”.
Segenap
tentara Islam sebanyak 200 orang itu serentak berangkat menuju ‘Usfan, lalu
singgah di situ.
Kemudian
Nabi SAW mengirim 2 orang berkuda untuk mengintai musuh kalau-kalau mereka
berada di tempat persembunyian. Dua orang berkuda ini lalu berangkat meniggalkan
‘Usfan. Dan dari ‘Usfan mereka berangkat sampai ke Kura’ul Ghamim (nama suatu
dusun yang terletak di sebelah selatan ‘Usfan, sekitar sebelas kilometer dari
‘Usfan). Di dusun ini pun keduanya tidak bertemu seorangpun dari musuh yang
sedang dicari, lalu mereka kembali.
Oleh
karena tidak bertemu seorangpun dari kaum banu Lihyan, maka Nabi SAW bersama
balatentara Islam lalu kembali ke Madinah.
Menurut
riwayat ketika Nabi SAW bersama pasukan Islam berdiam di ‘Usfan, banyak diantara
kaum musyrikin Quraisy yang mengetahui, tetapi mereka pura-pura tidak tahu.
Mereka bersikap diam, tidak berani mengganggu, karena merasa takut terhadap
balatentara Islam.
Diriwayatkan
bahwa Nabi SAW ketika akan kembali ke Madinah beliau berdoa
:
ايِبُوْنَ
تَائِبُوْنَ اِنْ شَاءَ اللهُ لِرَبّنَا حَامِدُوْنَ اَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَ كَابَةِ اْلمُنْقَلَبِ وَ سُوْءِ اْلمَنْظَرِ فِى اْلاَهْلِ
وَ اْلمَالِ.
Kami
kembali, kami bertaubat, insyaa Allah kepada Tuhan kami, kami memuji. Aku
berlindung kepada Allah dari kesulitan perjalanan dan tempat kembali yang tidak
menyenangkan, dan dari buruknya pandangan pada keluarga dan harta
benda.
[Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya, dari Jabir bin ‘Abdullah juz 4, hal.
242]
Akhirnya
Nabi SAW beserta pasukan Islam kembali ke Madinah dengan selamat, dan sejak dari
keberangkatannya sampai kembali memakan waktu empat belas
hari.
Menurut
riwayat peristiwa perang banu Lihyan itu terjadi pada bulan Rabi’ul awwal tahun
keenam Hijriyah. Dan meskipun dalam perang itu tidak terjadi pertempuran, tetapi
dalam kitab-kitab tarikh disebut dengan “Perang Banu
Lihyan”.
Perang
Dzii Qarad
Setelah
Nabi SAW kembali ke Madinah, dan baru beberapa hari beliau di Madinah, tiba-tiba
sampailah berita kepada Nabi SAW bahwa di dekat kota Madinah terjadi perampasan
dan perampokan yang dilakukan oleh kaum musyrikin dari banu Fazarah. Kejadian
tersebut demikian :
‘Uyainah
bin Hishnin Al-Fazariy (kepala banu Fazarah dari Ghathafan yang memimpin tentara
banu Fazarah dalam perang Khandaq) pada suatu hari dalam bulan Rabi’ul awwal
tahun keenam Hijriyah datang ke pinggir kota Madinah dengan pasukannya dari kaum
kabilahnya. Di tepi kota itu ia bersama tentaranya mendatangi ternak yang sedang
digembalakan oleh seorang penggembala dari banu Ghifar bersama istrinya. Padahal
ternak itu adalah unta-unta kepunyaan Nabi SAW, semuanya berjumlah dua puluh
ekor, dan sedang digembala di suatu dusun yang bernama Ghabah, di luar kota
Madinah. Kemudian unta itu mereka rampas lalu melarikan diri sambil menghalau
unta tersebut ke kabilah mereka, penggembalanya dibunuh dan istrinya
ditawan.
Kebetulan
pada pagi hari itu Salamah bin ‘Amr bin Al-Akwa’ Al-Aslamiy keluar ke Ghabah
untuk berburu dengan berselempang panah bersama seorang budak milik Thalhah bin
‘Ubaidillah. Dan budak itu kebetulan membawa kudanya Thalhah bin ‘Ubaidillah.
Ketika mereka itu berjalan naik ke Tsaniyyatil Wada’, suatu tempat yang agak
tinggi, Salamah melihat sebagian kuda-kuda mereka, kemudian dia naik lagi ke
tepi bukit Sal’in. Di tempat ini Salamah melihat pula sekawanan perampok itu
sedang berjalan sambil menghalau unta-unta ternak rampasan tersebut dan membawa
seorang tawanan perempuan.
Setelah
melihat dengan jelas keadaan mereka, Salamah lalu berteriak-teriak dengan suara
sekuat-kuatnya minta tolong, “Ada musuh datang ! Ada musuh datang ! Ada musuh
datang !”.
Demikianlah
selanjutnya ia berulang-ulang berteriak-teriak sambil melepas anak panahnya ke
kawanan perampok tersebut, dan tiap kali ia melepaskan anak panah, ia berkata
:
خُذْهَا
وَ اَنَا ابْنُ اْلاَكْوَعِ وَ اْليَوْمَ يَوْمُ الرُّضَّعِ
Ambillah
ia, saya anak lelaki Akwa’, hari ini adalah hari kebinasaan.
[Ibnu Hisyam juz 4, hal. 243]
Kawanan
perampok tersebut setelah mengetahui sikap Salamah yang demikian, maka diantara
mereka ada juga yang akan mengejarnya. Tetapi jika diantara mereka ada yang
hendak mengejarnya, maka Salamah segera melarikan diri dan dengan cepat
melepaskan anak panahnya pada tiap kesempatan.
Karena
teriakan Salamah tersebut sedemikian kerasnya, maka terdengar oleh Nabi SAW dan
ketika itu beliau berseru :
اَلْفَزَعَ
! اَلْفَزَعَ (Tolong
! Tolong ! )
Dengan
suara Nabi yang singkat itu segera berdatanganlah beberapa shahabat yang pandai
berkuda. Yang datang paling awal kepada Nabi SAW adalah Miqdad bin ‘Amr
(terkenal dengan nama Miqdad bin Aswad), kemudian ‘Abbad bin Bisyr, Sa’ad bin
Zaid, Usaid bin Dhuhairi, ‘Ukkasyah bin Mihshan, Muhriz bin Nadllah, Abu Qatadah
Al-Harits bin Rib’iy dan Abu ‘Ayyasy ‘Ubaid bin Zaid.
Setelah
mereka berkumpul di hadapan Nabi SAW, maka mereka segera diperintah supaya
berangkat mengejar kawanan perampok tersebut. Pimpinan tentara berkuda itu
diserahkan kepaa Sa’ad bin Zaid. [Ibnu Hisyam juz 4, hal.
244]
Kemudian
Nabi SAW juga mempersiapkan tentara Islam untuk diajak berangkat mengejar
kawanan perampok dari kabilah banu Fazarah tersebut karena dikhawatirkan kalau
mereka itu jumlahnya banyak dan akan melakukan serangan terhadap kaum muslimin.
Pimpinan ummat Madinah diserahkan kepada ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Tentara
Islam sejumlah tujuh ratus orang dikerahkan untuk berangkat keluar kota dengan
dipimpin langsung oleh Nabi SAW dan bersenjata lengkap.
Keadaan
kota Madinah seketika itu jadi gempar karena peristiwa tersebut. Delapan orang
berkuda diberangkatkan terlebih dahulu oleh Nabi untuk mengejar kawanan perampok
secepatnya, sedang tentara Islam sejumlah tujuh ratus orang dengan dipimpin
langsung oleh Nabi SAW menyusul keberangkatan delapan orang tersebut. Ketika
sampai di desa Dzii Qarad, pasukan yang dipimpin Nabi SAW ini berhenti dan
membuat perkemahan di situ.
Delapan
tentara berkuda itu akhirnya berhasil mengejar kawanan perampok, dan unta-unta
yang mereka rampok dapat direbut kembali oleh tentara Islam, dan wanita yang
ditawan itu dapat ditolong.
Dalam
peristiwa ini kawanan perampok yang dapat dibunuh oleh tentara muslimin ada tiga
orang, yaitu Habib bin ‘Uyainah bin Hishnin, Aubar dan ‘Amr bin Aubar. Habib
dibunuh oleh Abu Qatadah, Aubar dan anaknya (‘Amr bin Aubar) dibunuh oleh
‘Ukkasyah bin Mihshan.
Dari
pihak barisan berkuda tentara muslimin yang gugur hanya seorang, yaitu Muhriz
bin Nadllah.
Oleh
karena dari pihak kawanan perampok yang berjalan di depan tidak dapat dikejar
oleh barisan berkuda kaum muslimin, dan mereka sudah dapat masuk ke dalam
perkampungan kabilah mereka, maka ketika itu oleh seorang tentara muslimin
(Salamah bin ‘Amr bin Akwa’) usul kepada Nabi SAW supaya seratus orang dari
tentara Islam menyerbu ke perkampungan kawanan perampok untuk merebut kembali
unta-unta yang masih ada di tangan mereka dan untuk memenggal leher kawanan
perampok itu. Tetapi usul itu ditolak oleh Nabi SAW dengan alasan, bahwa mereka
itu telah masuk ke perkampungan mereka di Ghathafan.
Selanjutnya
setelah sehari semalam Nabi SAW bersama-sama tentara Islam berdiam di Dzii Qarad
sambil menunggu kalau-kalau pihak musuh itu mengadakan perlawanan, tetapi tidak
seorangpun yang kelihatan mengadakan perlawanan terhadap tentara Islam, maka
Nabi SAW lalu kembali ke Madinah bersama-sama pasukan
Islam.
Oleh
karena peristiwa itu terjadi di dekat sungai Dzii Qarad, maka di dalam
kitab-kitab tarikh disebut perang Dzii Qarad atau perang Ghabah. Dan peristiwa
itu terjadi dalam bulan Rabi’ul awwal tahun keenam
Hijriyah.
Tentara
Islam dikirim ke banu Asad
Diriwayatkan
bahwa Nabi SAW pada bulan Rabi’ul awwal tahun keenam Hijriyah menerima khabar
bahwa kaum banu Asad yaitusuatu kaum yang tinggal diantara Hijaz dan sungat
Furat di Iraq selalu berbuat yang tidak baik terhadap kaum muslimin. Diantaranya
mereka kerapkali menyakiti hati kaum muslimin yang sedang lewat di daerah
mereka.
Setelah
kabar yang demikian itu didengar oleh Nabi SAW, tidaklah dibiarkan begitu saja.
Beliau lalu memberangkatkan satu pasukan tentara Islam ke tempat tinggal mereka.
Pasukan yang dikirim oleh Nabi SAW berjumlah empat puluh tentara berkuda dan
dipimpin oleh ‘Ukkasyah bin Mihshan.
Setelah
mengetahui kedatangan tentara Islam yang berkuda itu kaum banu Asad melarikan
diri. Secara kebetulan tentara Islam melihat seorang dari penduduk mereka sedang
tidur dengan nyenyaknya. Orang ini lalu ditangkap, tetapi diberi perlindungan
dengan syarat, asal ia sanggup menunjukkan dimana tempat-tempat binatang ternak
mereka. Tawanan itu lalu menunjukkan dimana hewan ternak mereka berada. Akhirnya
tentara Islam memperoleh harta rampasan dari mereka berupa 100 ekor unta (dalam riwayat lain 200 ekor), lalu kembali
ke Madinah.
Tentara
Islam dikirim ke Dzul Qashshah
Diriwayatkan,
bahwa pada bulan Rabi’ul awwal tahun keenam Hijriyah Nabi SAW menerima khabar
bahwa penduduk yang berdiam di Dzul Qashshah (suatu dusun berjarak + 39
km dari Madinah menuju Rabadzah) akan merampas binatang-binatang ternak kaum
muslimin yang digembala di dusun Al-Haifa (suatu dusun dekat kota Madinah). Oleh
karena itu maka Nabi SAW segera mengirim pasukan Islam sejumlah 10 orang dengan
dipimpin oleh Muhammad bin Maslamah ke dusun tersebut untuk menghentikan
kejahatan yang akan diperbuat penduduk tersebut dan untuk menjaga keamanan haq
milik kaum muslimin yang berupa hewan ternak yang digembala di desa
Al-Haifa.
Pada
malam hari secara mendadak tentara Islam datang ke dusun tersebut. Setelah
mengetahui kedatangan tentara Islam, kaum musyrikin yang berdiam di dusun
tersebut segera bersembunyi.
Setelah tentara Islam tidak bertemu musuh, maka pada
malam itu karena kepayahan dan lelah, mereka tertidur di dusun tersebut hingga
pulas. Lalu kesempatan tersebut digunakan oleh pihak musuh untuk menyerang
pasukan Islam yang hanya sepuluh orang itu.
Tiba-tiba
sejumlah 100 orang penduduk dusun tersebut mengepung dan menghujani tentara
Islam dengan anak panah, hingga mereka bangun dan terperanjat telah dikepung
musuh. Akhirnya dalam sekejap pasukan Islam tersebut terbunuh semua, kecuali
Muhammad bin Maslamah yang ketika kena pedang ia berpura-pura mati, dan oleh
pihak musuh sudah disangka mati yang akhirnya ditinggal begitu
saja.
Sekalipun
menderita luka-luka pada tubuhnya, dengan pertolongan Allah Muhammad bin
Maslamah dapat meloloskan diri dari musuh hingga dapat kembali ke Madinah.
Setiba di Madinah ia langsung melaporkan segala yang dialaminya kepada Nabi
SAW.
Setelah
menerima laporan tersebut maka pada permulaan bulan Rabi’ul akhir Nabi SAW
memberangkatkan satu pasukan tentara yang bejumlah 40 orang dipimpin oleh
‘Ubaidah bin Al-Jarrah, untuk mengadakan serangan balasan kepada penduduk Dzul
Qashshah. Oleh karena tentara Islam yang datang itu dilihat oleh pihak musuh
lebih banyak daripada yang dulu, maka mereka melarikan diri ke atas
gunung-gunung yang terletak di kanan-kiri dusun tersebut untuk menghindari
serangan tentara Islam.
Hewan
ternak dan segala perkakas rumah tangga mereka yang tertinggal akhirnya dibawa
oleh tentara Islam sebagai harta rampasan. Selanjutnya tentara Islam kembali ke
Madinah dengan membawa harta rampasan tersebut. Setiba di Madinah harta rampasan
itu diserahkan kepada Nabi SAW, kemudian beliau bagi-bagikan kepada tentara
Islam sebagaimana biasa menurut yang telah ditentukan oleh Allah
SWT.
Tentara
Islam dikirim ke banu Sulaim
Menurut
riwayat, bahwa qaum qabilah banu Sulaim adakah suatu qaum dari suku besar yang
berdiam di sebelah timur kota Madinah (+ 120 km dari Madinah). Dan qaum
itu dalam perang Khandaq termasuk sekutu tentara Ahzab.
Pada
tahun kedua Hijriyah, sesudah selesai perang Badar, qaum banu Sulaim pernah
didatangi oleh pasukan Islam yang dikirim oleh Nabi SAW, tetapi antara mereka
dengan tentara Islam tidak terjadi pertempuran, karena mereka telah melarikan
diri dengan membawa binatang-binatang ternak mereka.
Kemudian
mereka ikut serta dalam perang Khandaq sebagai sekutu tentara Ahzab, maka
dapatlah dimengerti bahwa mereka itu masih tetap memusuhi atau dendam terhadap
qaum muslimin.
Maka
pada bulan Rabi’ul akhir tahun keenam Hijriyah Nabi SAW memberangkatkan satu
pasukan tentara Islam ke dusun Hamum, daerah banu Sulaim, dengan dipimpin oleh
Zaid bin Haritsah.
Ketika
tentara Islam sampai di dusun tersebut, segenap penduduknya telah melarikan diri
dengan bercerai-berai, karena mereka mengetahui bahwa yang datang itu tentara
Islam yang pasti akan menggempur mereka. Dan untuk menyulitkan tentara Islam
dalam mengejar mereka, mereka melarikan diri dengan
berpencar-pencar.
Dengan
tidak disangka-sangka, tentara Islam bertemu dengan seorang perempuan dari suku
Muzainah yang bernama Halimah, wanita tersebut bersedia menunjukkan rumah-rumah
qaum banu Sulaim dan tempat-tempat binatang ternak mereka. Dengan demikian, maka
tentara Islam lalu merampas binatang-binatang ternak mereka dan menawan seorang
lelaki suami dari wanita tersebut. Setelah itu, tentara Islam lalu kembali ke
Madinah dengan membawa barang-barang rampasan yang diperolehnya untuk diserahkan
kepada Nabi SAW.
Setiba
di Madinah suami istri tersebut diserahkan kepada Nabi SAW, lalu oleh beliau,
mereka berdua dimerdekakan.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak