Ahad,
24 Januari 1999/06 Syawwal 1419 Brosur No. :
966/1006/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-56)
7. Kedatangan para utusan kaum Nashrani Najran (Yaman) ke Madinah dan perdebatan mereka dengan Nabi SAW.
Pada
waktu kaum Yahudi di Madinah sedang ramai membicarakan tentang kemajuan dakwah
agama yang dibawa Nabi SAW dan perselisihan antara Nabi SAW dengan para pendeta
mereka, tiba-tiba datanglah utusan kaum Nashrani Najran (Yaman) yang terdiri
dari 60 orang berkendaraan dan dengan keadaan yang serba mewah. Diantara 60
orang tersebut ada 14 orang dari golongan bangsawan mereka, dan diantara 14
orang itu ada 3 orang yang terkemuka. Adapun nama-nama 14 bangsawan dan pemuka
mereka itu ialah : 1. Al-'Aaqib (Abdul Masih), 2. As-Sayyid (Al-Aiham), 3. Abu
Haritsah bin 'Alqamah, 4. Aus, 5. Al-Haarits, 6. Zaid, 7. Qais, 8. Yazid, 9.
Nubaih, 10. Khuwailid, 11. 'Amr, 12. Khalid, 13. Abdullah dan, 14.
Yuhannas.
Al-'Aaqib
sebagai kepala rombongan dan penasehat mereka yang tertinggi, mereka tidak
mengemukakan suatu urusan dan memutuskan suatu perkara melainkan dari
nasehatnya. Sedang As-Sayyid sebagai pemimpin mereka yang bertanggungjawab
mengenai kesulitan-kesulitan mereka. Dan Abu Haritsah sebagai pembesar pendeta
atau ulama mereka yang tertinggi dan yang berhak memberikan pengajaran agama
kepada mereka. Para raja Rum yang beragama Kristen dikala itu sangat menghormati
dan memuliakan kepadanya dan mendirikan gereja-gereja
untuknya.
Diriwayatkan,
bahwa kedatangan mereka ke kota Madinah itu dengan berkendaraan. Mereka lalu
masuk ke masjid Nabi SAW dan masing-masing dengan memakai pakaian negeri Yaman
yang indah, memakai jubah dan ridak (selendang) dari sutera, serta memakai
cincin emas di tangan mereka. Kemudian mereka mengerjakan shalat di dalam
masjid. Ketika itu ada diantara shahabat Nabi SAW yang berkata, "Kami belum
pernah melihat rombongan yang seperti mereka itu". Lalu Nabi SAW bersabda,
"Biarkanlah mereka itu mengerjakan shalat cara mereka". Dan mereka itu
shalat menghadap ke arah timur. Sehabis shalat, mereka menghadap kepada Nabi
SAW.
Diriwayatkan,
setelah mereka berhadapan dengan Nabi SAW, lalu pendeta mereka berbicara dan
bertanya-jawab dengan Nabi SAW tentang soal ketuhanan Nabi 'Isa, atau Nabi 'Isa
dianggap putera Tuhan, atau tentang tiga Tuhan. Mereka mengemukakan
alasan-alasan guna menguatkan kepercayaan mereka kepada tiga Tuhan, tetapi satu
demi satu, alasan mereka dijawab oleh Nabi SAW dengan jelas. Karena Nabi SAW
dikala itu diberi wahyu oleh Allah yang mengandung beberapa puluh ayat (ada
ulama tarikh yang berpendapat dari ayat 1 s/d 80 surat Ali Imran diturunkan
berkenaan dengan kaum Nashrani Najran tersebut). Diantaranya, firman Allah SWT
:
اِنَّ مَثَلَ عِيْسى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ ادَمَ، خَلَقَه مِنْ تُرَابٍ
ثُمَّ قَالَ لَه كُنْ فَيَكُوْنُ. َاْلحَقُّ مِنْ رَّبّكَ فَلاَ تَكُنْ مّنَ
اْلمُمْتَرِيْنَ. ال عمران:59-60
Sesungguhnya
perumpamaan (penciptaan) "Isa pada sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam,
Dia menciptakan Adam dari tanah, kemudian Dia berfirman kepadanya, "Jadilah
(seorang manusia)", maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu),
itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk
orang-orang yang ragu-ragu.
[QS. Ali Imran : 59-60]
8. Ajakan Nabi SAW kepada mereka untuk
bermubahalah.
Diriwayatkan,
bahwa Nabi SAW ketika itu sudah memberikan keterangan kepada para utusan kaum
Nashrani Najran tersebut dengan jelas, baik mengenai kepercayaan mereka yang
sesat itu, maupun mengenai urusan kenabian dan kerasulan beliau. Dan pada
hakikatnya, mereka itu sudah kehabisan alasan untuk menguatkan kepercayaan
mereka, dan untuk menolak beliau SAW sebagai Nabi dan Rasul Allah, tetapi mereka
tetap juga keras kepala mendustakan kebenaran Nabi SAW dan tidak mau menerima
kebenaran yang telah diterangkan oleh beliau. Mereka itu tetap mempertahankan
kepercayaan mereka, bahwa 'Isa itu putera Tuhan dan Tuhan itu tiga bertunggal
atau tiga Tuhan.
Sehubungan
dengan peristiwa itu, maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi SAW sebagai
berikut :
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيْهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَآءَكَ مِنَ اْلعِلْمِ فَقُلْ
تَعَالَوْا نَدْعُ اَبْنَآءَنَا وَ اَبْنَآءَكُمْ وَ نِسَآءَنَا وَ نِسَآءَكُمْ وَ
اَنْفُسَنَا وَ اَنْفُسَكُمْ، ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَّعْنَتَ اللهِ عَلَى
اْلكذِبِيْنَ. اِنَّ هذَا لَهُوَ اْلقَصَصُ اْلحَقُّ، وَ مَا مِنْ اِلهٍ اِلاَّ
اللهُ، وَ اِنَّ اللهَ لَهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ. فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ
اللهَ عَلِيْمٌ بِاْلمُفْسِدِيْنَ. ال عمران:61-63
Maka
barangsiapa membantah kamu tentang kisah 'Isa sesudah datang ilmu pengetahuan
kepadamu, maka katakanlah (kepada mereka), "Marilah kita panggil anak-anak kami
dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri
kamu, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya
laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta". Sesungguhnya ini adalah
kisah yang benar, dan tak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Allah Dialah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kemudian jika ia berpaling (dari
kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat
kerusakan.
[QS. Ali Imran 61-63]
Diriwayatkan,
bahwa Nabi SAW dikala itu lalu mengajak kepada ketua dan pemuka mereka, yaitu
Al-'Aaqib dan As-Sayyid. Beliau bersabda, "Marilah kita bermubahalah saja,
mudah-mudahan laknat Allah dijatuhkan kepada siapa yang berdusta". Ajakan
Nabi SAW yang demikian itu adalah menurut perintah Allah. [Mubahalah ialah
masing-masing pihak yang berselisih mendoa kepada Allah dengan
bersungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang
berdusta].
Dengan
demikian maka akan dapat diketahui oleh orang banyak, siapa yang berdusta dan
siapa yang benar. Karena jika hanya dengan perdebatan saja tidak akan ada
selesainya dan tidak pula ada habisnya.
Pada
mulanya mereka bersedia untuk bermubahalah dengan Nabi SAW, tetapi mereka
meminta diberi tempo untuk berunding dulu dengan penasehat mereka. Kata mereka
kepada Nabi SAW, "Ya Abal Qasim, biarkanlah kami berfikir lebih dulu tentang
urusan kami, kemudian kami nanti akan datang lagi kepadamu dengan apa yang kami
kehendaki, bahwa kami akan mengerjakan apa yang kamu kehendaki kepada kami".
Demikianlah kata mereka, dan permintaan mereka itu diperkenankan juga oleh Nabi
SAW.
Dan
di lain riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW keluar bersama Ali, Fathimah,
Hasan dan Husein untuk bermubahalah dengan kaum Nashrani Najran sebagaimana yang
telah mereka sanggupi, namun mereka akhirnya enggan, tidak memenuhi janjinya,
dan memilih membayar jizyah.
9. Utusan kaum Nashrani Najran menolak
bermubahalah.
Diriwayatkan,
bahwa tatkala mereka telah berpaling dari hadapan Nabi SAW, mereka lalu kembali
menghadap kepada Al-'Aaqib, penasehat mereka yang tertinggi, lalu mereka meminta
pendapat dan persetujuannya. Kata mereka, "Bagaimana pendapatmu tentang
bermubahalah dengan Muhammad, ya 'Abdal Masih ?".
Kata
Al-'Aaqib, "Demi Allah, wahai orang-orang Nashrani, sesungguhnya kamu telah
mengetahui bahwa Muhammad itu seorang Nabi yang diutus, dan sesungguhnya telah
datang kepada kamu keterangan yang jelas dari teman-temanmu. Sesungguhnya tidak
ada suatu kaum yang saling melaknat (bermubahalah) dengan seorang Nabi,
melainkan mereka pasti hancur binasa, tidak akan ada yang tertinggal dan tidak
ada keturunan mereka, dan sungguh kamu tidak akan menang selama-lamanya jika
kamu mengerjakan mubahalah dengan dia. Maka jika kamu menolak bermubahalah,
lantaran kecintaan kepada agamamu dan pada temanmu, maka hendaklah kamu meminta
diri meninggalkan orang itu (Nabi SAW), kemudian kembalilah kamu ke
negerimu". Demikianlah nasehat dan peringatan Al-'Aaqib kepada segenap
pengikutnya.
Kemudian
mereka datang lagi menghadap Nabi SAW, lalu berkata, "Ya Abal Qasim,
sesungguhnya kami berpendapat dan memutuskan, bahwa kami jangan sampai
bermubahalah dengan kamu, dan kami akan meninggalkan kamu atas agamamu, dan kami
akan kembali mengikut agama kami sebagaimana biasa. Sekalipun demikian, namun
kami memohon kepadamu sudilah kiranya kamu mengutus seseorang dari shahabatmu
yang kamu ridlai dan kamu percaya untuk kami angkat menjadi hakim di qabilah
kami dalam segala urusan mengenai harta yang kami perselisihkan dan kami
pertengkarkan dan yang sering terjadi dalam kalangan kami. Karena sesungguhnya
bagi kami, kamu adalah suatu kepuasan". [Dari riwayat ini menunjukkan,
bahwa kaum Nashrani Najran tidak berani menghadapi tantangan bermubahalah dari
Nabi SAW. Dengan demikian, jelaslah mereka itu mengerti akan kebenaran dakwah
Nabi dan menginsyafi akan kedustaan mereka sendiri. Sekalipun demikian, mereka
telah insyaf dan tertarik pula oleh dasar-dasar keadilan hukum-hukum yang dibawa
oleh Nabi SAW, sehingga mereka mengajukan permohonan kepada beliau, supaya
beliau mengirim seorang dari shahabat yang dipercayainya untuk diangkat menjadi
hakim di qabilah mereka untuk memberi keputusan mengenai harta benda yang mereka
perselisihkan].
Permohonan
mereka itu diperkenankan oleh Nabi SAW, kemudian pada keesokan harinya Nabi SAW
memutuskan Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah supaya berangkat bersama-sama kaum
Nashrani Najran ke qabilah mereka untuk menjadi hakim di sana. Nabi SAW bersabda
:
اُخْرُجْ مَعَهُمْ فَاقْضِ بَيْنَهُمْ بِاْلحَقِّ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا
فِيْهِ
Berangkatlah
kamu bersama mereka, maka hukumliah antara mereka itu dengan kebenaran tentang
segala sesuatu yang diperselisihkan oleh mereka.
Abu
'Ubaidah lalu berangkat bersama-sama mereka. [Riwayat yang tersebut ini
menurut sebagaimana yang termaktub dalam sirah Ibnu Hisyam. Dan riwayat
mubahalah sebagai yang tersebut itu diriwayatkan juga oleh para imam ahli
haditts, antara lain oleh Bukhari, dan Muslim, tetapi dengan rangkaian kata yang
berbeda, dan diantara para ulama ahli tafsir yang meriwayatkannya, ialah Ibnu
Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya].
Diriwayatkan,
bahwa Abu Haritsah bin 'Alqamah, salah seorang pendeta dan ulama Nashrani
Najran, yang selalu dimuliakan oleh kaum pengikutnya, tatkala datang untuk
menghadap Nabi SAW ia duduk diatas bighalnya sambil menghadapkan mukanya kepada
Nabi SAW, sedang di sampingnya duduklah salah seorang sudaranya yang bernama
Kuuz bin 'Alqamah. Dikala itu tergelincirlah bighal yang sedang dikendarainya,
lalu berkatalah Kuuz, "Celakalah yang lebih jauh !". (Yang dikehendaki
dengan perkataan yang sedemikian itu ialah Nabi SAW). Maka Abu Haritsah berkata
kepada saudaranya tadi, "Bahkan kamulah yang celaka
!".
Kuuz
bertanya, "Mengapa demikian, wahai saudaraku ?".
Jawab
Abu Haritsah, "Demi Allah, sesungguhnya dia itu Nabi yang kita nanti-nantikan
kedatangannya".
Lalu
Kuuz berkata, "Kalau demikian, apa yang merintangi kamu mempercayai dan
mengikut kepadanya, padahal kamu telah mengerti yang demikian itu
?".
Abu
Haritsah berkata, "Yang merintangi saya mempercayai kepadanya, ialah
kehormatan dan kebesaran yang telah diberikan oleh kaum pengikut saya kepada
saya selama ini, mereka itu enggan dan tidak mau mengikut kepada Nabi itu. Oleh
sebab itu, jika saya mengikut dia, tentulah segala kehormatan dan kebesaran saya
sebagaimana yang telah kamu ketahui dari mereka akan mereka
cabut".
Dari
riwayat ini jelaslah bahwa pendeta Nashrani dari Najran yang senantiasa
dihormati dan dimuliakan oleh para pengikutnya bahkan yang berpangkat raja
sekalipun, dikala itu sudah mengerti bahwa Nabi SAW itu benar-benar seorang Nabi
yang diutus oleh Allah. Adapun yang menyebabkan ia tidak mau percaya dan tidak
bersedia untuk membenarkan kebenaran Nabi SAW itu dengan tegas telah dinyatakan
sendiri, karena kedudukan dan kebesaran yang telah diperolehnya dari kaum
pengikutnya, selama ia menjabat selaku pendeta mereka.
10. Perdebatan antara pendeta-pendeta Yahudi dan
pendeta-pendeta Nashrani Najran dihadapan Nabi SAW.
Diriwayatkan,
bahwa para pendeta Nashrani Najran sebelum kembali ke qabilahnya, pada suatu
hari berkumpul dihadapan Nabi SAW bersama para pendeta kaum Yahudi yang ada di
kota Madinah. Dikala itu, terjadilah perselisihan dan perdebatan ramai antara
mereka dihadapan beliau SAW, dan yang diperdebatkan ialah tentang agama Nabi
Ibrahim dan tentang ketuhanan mereka masing-masing. Riwayatnya secara singkat
demikian :
Para
pendeta Yahudi berkata, "Nabi Ibrahim itu adalah seorang
Yahudi".
Para
pendeta Nashrani Najran berkata, "Nabi Ibrahim itu adalah seorang
Nashrani".
Demikianlah,
mereka bertengkar dan berdebat. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi SAW
untuk menengahi perdebatan mereka :
ياَهْلَ اْلكِتبِ لِمَ تُحَآجُّوْنَ فِيْ اِبْرهِيْمَ وَ مَآ اُنْزِلَتِ
التَّوْرـةُ وَ اْلاِنْجِيْلُ اِلاَّ مِنْ بَعْدِه، اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ. هانْتُمْ
هؤُلآءِ حَاجَجْتُمْ فِيْمَا لَكُمْ بِه عِلْمٌ فَلِمَ تُحَآجُّوْنَ فِيْمَا لَيْسَ
لَكُمْ به عِلْمٌ، وَ اللهُ يَعْلَمُ وَ اَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ. مَا كَانَ
اِبْرهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّ لاَ نَصْرَانِيًّا وَّ لكِنْ كَانَ حَنِيْفًا
مُّسْلِمًا، وَّ مَا كَانَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ اَوْلَى النَّاسِ
بِاِبْرهِيْمَ لَلَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ وَ هذَا النَّبِيُّ وَ الَّذِيْنَ
امَنُوْا، وَ اللهُ وَلِيُّ اْلمُؤْمِنِيْنَ . ال عمران:65-68
Hai
Ahli Kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat
dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim, apakah kamu tidak berpikir
?" Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah membantah tentang hal yang kamu
ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui
?. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Ibrahim itu bukan seorang
Yahudi dan bukan (pula) seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang
lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada
Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta
orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua
orang-orang yang beriman.
[QS. Ali Imran : 65-68]
Demikianlah
wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW yang dengan tegas menjelaskan
kesalahan-kesalahan mereka (kedua belah pihak) yang saling berbantah-bantahan
tentang Nabi Ibrahim.
Selanjutnya
dikala itu perbantahan mereka mengenai ketuhanan, dijelaskan dan diselesaikan
pula oleh wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW. Dengan demikian, maka
merupakan satu kesempatan bagi Nabi SAW untuk mengajak kepada kedua belah pihak
supaya kembali kepada tauhid yang benar dan beribadah kepada Allah Yang Maha
Esa, karena tidak ada Tuhan melainkan Allah.
Kaum
Yahudi mempercayai dan menganggap bahwa 'Uzair itu putera Allah, dan kaum
Nashrani mempercayai dan menganggap bahwa 'Isa itu putera Allah, tetapi Nabi
Muhammad SAW dengan tegas menyatakan kepada mereka (Yahudi dan Nashrani), bahwa
kepercayaan yang demikian itu tidak benar. Dan beliau menyeru kepada mereka
dengan wahyu yang telah diterima :
قُلْ ياَهْلَ اْلكِتبِ تَعَالَوْا اِلى كَلِمَةٍ سَوَآءٍ بَيْنَنَا وَ
بَيْنَكُمْ اَلاَّ نَعْبُدَ اِلاَّ اللهَ وَ لاَ نُشْرِكَ بِه شَيْئًا وَّ لاَ
يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مّنْ دُوْنِ اللهِ، فَاِنْ تَوَلَّوْا
فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ. ال عمران:64
Katakanlah,
"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling
maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)".
[QS. Ali Imran : 64]
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak