Ahad,
20 Pebruari 2000/15 Dzulqa’dah 1420
Brosur no. : 1022/1062/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-74)
Ka’ab
bin Al-Asraaf adalah seorang pemuka kaum
Yahudi yang sudah lama berbuat jahat terhadap agama yang dibawa oleh Nabi SAW
dan amat benci terhadap beliau. Di waktu kaum Muslimin memperoleh kemenangan
pada perang Badr, setelah ia mendengar berita kemenangan itu, maka dengan
sombongnya ia berkata, “Mereka (orang-orang Quraisy) itu adalah orang-orang
Arab yang terhormat dan raja-raja manusia, tidak mungkin kalau mereka sampai
dikalahkan oleh Muhammad”. Kemudian ia berkata :
وَ
اللهِ لَئِنْ كَانَ مُحَمَّدٌ اَصَابَ هؤُلآءِ اْلقَوْمَ لَبَطْنُ اْلاَرْضِ خَيْرٌ
مِنْ ظَهْرِهَا
“Demi
Allah, jika benar-benar Muhammad berhasil mengalahkan mereka, maka perut bumi
lebih baik daripada punggungnya”.
Kemudian
ia pergi ke Mekkah untuk bertemu dengan kepala-kepala dan ketua-ketua Quraisy
yang masih hidup, dan untuk meratapi kepala-kepala Quraisy yang terbunuh di
Badr, serta untuk menghina dan mencaci Nabi SAW di muka mereka. Berbulan-bulan
ia berada di Makkah, sampai puas mencaci Nabi dan kaum muslimin. Kemudian
setelah ia kembali pulang ke Madinah, terus menerus berbuat bermacam-macam
penghinaan dan cercaan kepada kaum Muslimin dan Nabi SAW, serta menghasut kaum
musyrikin supaya menentang dan memusuhi Nabi dan kaum
muslimin.
Kemudian
pada suatu hari seorang sahabat Anshar yang bernama Muhammad bin Maslamah datang
kepada Nabi SAW untuk mohon izin membunuh Ka’ab bin Asyraaf, dan beliau
mengizinkannya.
Setelah
kembali dari hadapan Nabi SAW, lalu Muhammad bin Maslamah dengan empat orang
yang semuanya dari golongan Anshar, yaitu : 1. Silkan bin Salamah, 2. ‘Abbad bin
Bisyr, 3. Al-Harits bin Aus, dan 4. Abu ‘Absin bin Jabr, pada waktu yang telah
ditentukan mereka berlima berangkat ke
rumah Ka’ab.
Setelah
tiba di rumah Ka’ab, mereka lalu bercakap-cakap dengan Ka’ab sampai jauh malam.
Dan akhirnya Ka’ab diajak keluar rumah dan diajak berjalan-jalan, karena malam
itu kebetulan terang bulan.
Setelah
berjalan bersama-sama, dan sudah jauh dari rumah Ka’ab, dan sudah menjelang
fajar, maka barulah Ka’ab bin Asyraaf dibunuh dengan pedang, dan ketika itu ia
berteriak sekeras-kerasnya, dan melayanglah jiwanya.
Kejadian
ini terjadi pada malam 14 Rabi’ul Awwal
tahun ketiga Hijrah.
Menurut
riwayat yang lain tentang terbunuhnya Ka’ab bin Asyraaf itu demikian : Muhammad
bin Maslamah setelah mendapat perkenan dari Nabi SAW lalu datang menemui Ka’ab
bin Asyraaf, untuk berusaha mencari cara agar dapat membunuhnya. Setelah
Muhammad bin Maslamah datang ke rumah Ka’ab lalu bercakap-cakap, dan antara lain
membicarakan tentang keadaan pribadi Nabi SAW. Muhammad bin Maslamah pura-pura
mencaci-maki Nabi dan menjelek-jelekannya (hal ini telah diizinkan oleh Nabi
SAW). Dengan demikian, maka Ka’ab merasa senang dan penuh percaya kepadanya,
lebih-lebih mengingat bahwa yang datang (Muhammad bin Maslamah) itu seorang yang
pernah bergaul rapat dengan orang yang sangat dibenci olehnya. Kemudian Muhammad
bin Maslamah meminta bantuan kepada Ka’ab supaya mau meminjami uang sekedar
untuk mencukupi kebutuhan para kawannya
yang sefaham dan sependirian dengannya. Sebagai tanggungan ia dan para kawannya
akan menyerahkan baju besi mereka masing-masing, atau lainnya yang kiranya dapat
diterima oleh Ka’ab. Di kala itu Ka’ab tidak merasa curiga dan bersedia akan
meminjamkan uangnya berapa saja yang mereka butuhkan. Kemudian pada suatu malam
yang telah ditentukan datanglah Muhammad bin Maslamah dan Abu Nailah (Silkan bin
Salamah) ke rumah Ka’ab. padahal Ka’ab baru saja menjadi pengantin baru.
Kecurigaan bagi Ka’ab sedikitpun tidak ada, karena yang datang itu adalah
orang-orang yang masih dekat kefamilian dengannya. Abu Nailah masih saudara
sesusu dan Muhammad bin Maslamah adalah anak saudaranya perempuan. Kedatangan
dua orang ini tentu saja diterima dengan baik serta gembira oleh Ka’ab. Iapun
turun dan keluar untuk menerima kedatangan mereka itu. Sedangkan istrinya yang
masih baru dikala itu sudah ada rasa kecurigaan, lalu menghalang-halanginya
keluar pada tengah malam itu. Tetapi Ka’ab tidak mempedulikan peringatan
istrinya. Ia tetap keluar dan menuruti apa yang diinginkan oleh kedua orang yang dipandang sefaham dan sependirian
itu. Kemudian ia keluar dari rumahnya bersama dua orang tadi lalu berjalan-jalan
sambil bercakap-cakap membicarakan tentang keadaan pribadi Nabi dengan penuh
kegembiraan. Akhirnya setelah berjalan jauh dari rumah Ka’ab, maka ia dibunuh
oleh dua orang sahabat Nabi tersebut.
Dalam
Kitab Muslim Juz III hal. 1425, tentang terbunuhnya Ka’ab bin ‘Asyraaf
diantaranya disebutkan demikian :
Bersumber
dari ‘Amr, dia berkata : Aku pernah mendengar Jabir berkata : Rasulullah SAW
bertanya kepada para shahabatnya, ”Siapa yang bersedia membunuh Ka’ab bin
Al-Asyraaf ? Karena dia benar-benar telah berani menyakiti Allah dan Rasul-Nya”.
Maka berkatalah Muhammad bin Maslamah, “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka
apabila aku yang akan membunuhnya ?”. Rasulullah SAW menjawab, “Ya”. Muhammad
bin Maslamah berkata, “Tetapi izinkan aku mengatakan sesuatu kepadanya tentang
diriku dan dirimu yang kuanggap baik dilakukan ?”. Rasulullah SAW bersabda,
“Silakan”.
Pada
suatu hari dia menemui Ka’ab dan berkata, “Aku ingin kamu memberikan suatu
pinjaman padaku”. Ka’ab bertanya, “Lalu apa yang hendak kamu gadaikan
kepadaku?”. Muhammad bin Maslamah menjawab, “Apa yang kamu inginkan ?” Ka’ab
mengatakan, “Aku ingin kamu menggadaikan kepadaku perempuan-perempuanmu”.
Muhammad bin Maslamah berkata, “Kamu adalah orang Arab yang terkenal paling
ganteng. Apakah pantas kami menggadaikan perempuan-perempuan kami kepadamu ?”.
Ka’ab berkata kepada Muhammad bin Maslamah, “Kalau begitu kamu gadaikan saja
anak-anakmu kepadaku”. Muhammad bin Maslamah berkata, “Itu tidak mungkin kami
lakukan. Begini saja, kami akan menggadaikan senjata kami kepadamu”. Ka’ab
berkata, “Baiklah aku setuju”.
Muhammad
bin Maslamah lalu berjanji kepada Ka’ab bahwa dia akan datang kepadanya dengan
ditemani Al-Harits, Abu ‘Absin bin Jabr dan ‘Abbad bin Bisyr. Mereka berempat
mendatangi Ka’ab pada waktu malam. Lalu mereka memanggilnya. Isteri Ka’ab
berkata kepada suaminya, “Sesungguhnya aku mendengar seperti suara orang
penumpah darah (pembunuh)”. Mendengar ucapan isterinya itu Ka’ab berkata,
“Tidak. Sesungguhnya mereka ini hanya Muhammad bin Maslamah dan saudara
sepesusuannya, Abu Nailah (Silkan bin Salamah). Sebagai orang yang baik meskipun
malam-malam begini kalau ada tamu, akupun harus
menemuinya”.
Muhammad
bin Maslamah berkata kepada rekannya, “Nanti apabila dia keluar akan kutarik
kepalanya, lalu bagian kamu semua untuk membunuhnya”. Maka begitu Ka’ab keluar
dengan berselempang pedang, mereka berkata, “Kami mencium bau harum padamu”.
Ka’ab menjawab, “Ya memang, sebab isteriku Fulanah adalah wanita Arab yang
paling pesolek”. Muhammad bin Maslamah berkata, “Ijinkan aku untuk mencium bau
harum yang ada padamu itu”. Ka’ab berkata, “Silakan”. Maka Muhammad bin Maslamah
pun menciumnya. Kemudian dia berkata lagi, “Kalau boleh aku mengulangi sekali
lagi”. Ka’ab rupanya tidak keberatan. Kembali dia menyorongkan kepalanya kepada
Muhammad bin Maslamah. Pada saat itulah Muhammad bin Maslamah mengomando
kawan-kawannya dan merekapun membunuh Ka’ab.
Terbunuhnya
Abu Rafi’ bin Huqaiq tokoh Yahudi
Ibnu
Ishak meriwayatkan dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik,bahwa kedua golongan orang
Anshar dari Aus dan Anshar dari Khazraj selalu berlomba dalam setiap kebaikan
demi Islam. Ketika kaum Aus dapat membunuh Ka’ab bin Asyraaf, maka kaum Khazraj
berkata, “Kaum Aus dapat membunuh Ka’ab sehingga mereka dapat kemulyaan di sisi
Nabi”. Setelah itu mereka meminta izin kepada Nabi untuk membunuh musuh Islam
yang terbesar yang bernama Abu Rafi’ bin Abu Huqaiq. Setelah mereka diizinkan
oleh beliau untuk membunuhnya maka ada lima shahabat terkemuka dari Khazraj
yaitu Abdullah bin ‘Atiik, Mas’ud bin Sinan, Abdullah bin Unais, Abu Qatadah
(Al-Harits bin Rib’iy) dan Khuza’iy bin Aswad.
Untuk
menjalankan tugas suci ini, Nabi memilih sebagai pimpinan adalah Abdullah bin
‘Atiik.
Setelah
sampai di Khaibar, mereka langsung menuju ke rumah Abu Rafi’. Abu Rafi’ tinggal
di rumah yang bertingkat tinggi dan terpisah dari tetangganya. Ketika mereka
sampai di hadapan pintu Abu Rafi’, mereka minta izin untuk masuk. Isteri Abu
Rafi’ membukakan pintu dan menyilakan mereka masuk, lalu mereka menutup pintu
dari dalam agar tidak diketahui orang luar setelah itu mereka membunuh Abu Rafi’
yang sedang terbaring di tempat tidur.
‘Abdullah
bin ‘Unais menikam dengan pedangnya pada lambungnya sehingga mati. Setelah itu
mereka turun dan keluar meninggalkan tempat, namun sayang, Abdullah bin ‘Atiik
terjatuh dari atas, sehingga kakinya retak. Kemudian para tetangga Abu Rafi’
mengadakan pengejaran terhadap kaum Muslimin itu, namun mereka telah terlambat.
Sedangkan kelima orang itu bersembunyi untuk meyakinkan, apakah Abu Rafi’
benar-benar telah tewas ?.
Ketika
itu, Abdullah bin ‘Atiik menyelidiki
dengan jalan menyelinap ke dalam sampai tahu benar, bahwa Abu Rafi’ telah
meninggal.
Kemudian
mereka datang kepada Nabi dan memberitahukan tentang kematian Abu Rafi’ dan
mereka masing-masing mengaku dialah yang membunuhnya. Jawab Nabi SAW, “Tunjukkan
pedangmu masing-masing !”.
Setelah
semua pedang itu ditunjukkan pada Nabi, beliau bersabda, “Pedang inilah yang
menyebabkan kematian musuh Allah itu”, sambil menunjuk pada pedang Abdullah bin
Unais.
Terbunuhnya
Ibnu Sunainah
Sehubungan
dengan perbuatan-perbuatan sebagian dari para ketua dan pemuka Yahudi yang
sengaja menunjukkan sikap permusuhan kepada Islam dan Nabi Muhammad SAW dan
mereka pada umumnya sudah tidak memperdulikan perjanjian yang pernah diadakan
dengan Nabi, maka Nabi SAW di kala itu senantiasa mengawasi gerak-gerik
mereka.
Pada
suatu ketika Nabi SAW bersabda, “Siapa saja dari orang laki-laki Yahudi yang
kamu jumpai, maka bunuhlah dia”.
Di
kala itu di antara orang yang mendengar sabda Nabi SAW yang sedemikian itu ialah
seorang sahabat yang bernama Muhayyishah bin Mas’ud.
Muhayyishah
setelah mendengar sabda Nabi SAW yang sedemikian itu lalu keluar dan menjumpai
seorang Yahudi yang bernama Ibnu Sunainah, seorang pedagang besar dari bangsa
Yahudi. Ia segera menjumpai Ibnu Sunainah karena Muhayyishah telah mengetahui
kejahatan dan rencana Ibnu Sunainah yang bertujuan akan menghancurkan Islam. Dan
ketika itu juga ia berhasil membunuh Ibnu Sunainah.
Setelah
tindakan Muhayyishah ini didengar oleh kakaknya yang bernama Huwayyishah, yang
ketika itu belum mengikut Islam, maka Huwayyishah datang kepadanya dan menegor
perbuatannya. Kata Huwayyishah, “Betulkah kamu membunuh Ibnu Sunainah ? Apakah
kamu tidak ingat akan budi baiknya kepadamu ?”.
Muhayyishah
menjawab, “Saya membunuh Ibnu Sunainah, karena menurut perintah Nabi SAW supaya
membunuhnya. Demi Allah, jika sekiranya orang yang memerintahkan saya untuk
membunuhnya itu memerintahkan agar saya membunuhmu, tentu saya penggal lehermu
juga”.
Mendengar
jawaban Muhayyishah yang sedemikian itu Huwaiyyishah bertanya lagi, “Jadi
andaikata Muhammad memerintahkan kamu supaya kamu membunuhku, kamu membunuhku
juga ?”.
Jawab
Muhayyishah, “Ya, demi Allah, jika sekiranya Muhammad memerintah saya supaya
saya memenggal lehermu, niscaya saya enggal lehermu juga”.
Mendengar
jawaban yang demikian tegasnya ini, terharulah hati Huwayyishah, lalu ia
berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah agama yang sebenarnya”. Kemudian
ia datang kepada Nabi SAW menyatakan masuk Islam.
Nabi
SAW menikahkan Ummi Kultsum dengan ‘Utsman bin ‘Affan
Diriwayatkan,
bahwa ketika bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga Hijrah, Nabi SAW menikahkan
seorang puterinya yang bernama Ummi Kultsum dengan shahabat ‘Utsman bin ‘Affan
RA. Ummi Kultsum seorang putri Nabi yang ketiga, dan yang pernah dinikahkan
dengan anak Abu Lahab yang bernama ‘Utaibah.
Shahabat
‘Utsman RA setelah ditinggal wafat oleh isterinya (Ruqayyah), lalu diminta oleh
Nabi SAW supaya menikah dengan Ummi Kultsum (adik Ruqayyah). Oleh sebab itu,
terjadilah shahabat ‘Utsman RA menikah dengan Ummi
Kultsum.
Menurut
riwayat, Ruqayyah adalah putri Nabi SAW
yang kedua, setelah dewasa dikawinkan dengan seorang pemuda bangsa
Quraisy anak Abu Lahab yang bernama ‘Utbah. Karena memang sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul Pesuruh Allah.
Hubungan beliau dengan Abu Lahab sangat
baik, disebabkan Abu Lahab adalah seorang dari paman beliau. Maka kedua putri
Nabi SAW yang bernama Ruqayyah dan Ummi Kultsum dikawinkan dengan kedua anak Abu
Lahab, yang satu bernama ‘Utbah dan satunya lagi bernama ‘Utaibah. ‘Utbah
menjadi suami Ruqayyah dan ’Utaibah menjadi suami Ummi Kultsum. Akan tetapi
setelah Nabi Muhammad SAW menjadi rasul, sedangkan keadaan Abu Lahab
terus-menerus menjadi musuh Islam yang terkenal, maka kedua putri beliau lalu
diminta supaya diceraikan.
Kemudian
Ruqayyah dikawinkan dengan shahabat ‘Utsman bin ‘Affan RA. Ketika shahabat
‘Utsman berangkat hijrah ke Habsyi, ia juga ikut berhijrah sehingga dua kali
beliau (Ruqayyah) ikut hijrah ke Habsyi karena mengikuti suaminya yang amat
setia kepada Islam itu. Dan akhirnya ketika shahabat ‘Utsman berangkat hijrah ke
Madinah, ia juga ikut dengan setia.
Kemudian
ketika Nabi SAW berangkat ke Badar, Ruqayyah sedang menderita sakit, hingga
menyebabkan suaminya ‘Utsman tidak dapat ikut ke Badr, karena merawat sakitnya.
Kemudian sewaktu Nabi SAW beserta tentara Islam kembali dari Badr, Ruqayyah
sudah wafat, dan dikubur ketika suruhan Nabi yang membawa khabar kemenangan
sampai di Madinah. Jadi Nabi SAW ketika tiba di Madinah Ruqayyah telah dikubur.
Dengan
demikian, ‘Utsman bin ‘Affan adalah shahabat Nabi SAW yang menjadi menantu
beliau dua kali, yaitu menjadi suami Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Dan sebelum Nabi
SAW menikahkan Ummu Kultsum dengan ‘Utsman bin ‘Affan tersebut, beliau juga
telah menikahkan putri beliau Fathimah dengan shahabat ‘Ali RA, yaitu pada bulan
Dzulhijjah tahun kedua Hijrah. Ketika itu Fathimah berusia kira-kira 15 tahun,
sedangkan ‘Ali RA berusia kira-kira 21 tahun.
Perkawinan
Nabi SAW dengan Siti Hafshah
Diriwayatkan,
ketika bulan Sya’ban tahun ketiga Hijrah, Nabi SAW menikah dengan Hafshah putri
shahabat ‘Umar bin Khaththab RA.
Hafshah
sebelumnya adalah isteri seorang shahabat bernama Khunais bin Hudzaifah
As-Sahmiy. Shahabat Khunais ketika terjadi perang di Badr juga ikut menjadi
tentara Muslimin. Namun sekembali dari Badr setelah sampai di Madinah, Khunais
meninggal dunia.
Kemudian
Hafshah dinikah oleh Nabi SAW. Jadi waktu itu Nabi SAW mempunyai isteri tiga
orang, yaitu ‘Aisyah, Saudah, dan Hafshah. Dengan demikian pada saat itu empat
orang shahabat Nabi yang terbesar telah terikat oleh tali persatuan yang amat
kokohnya, yakni : shahabat Abu Bakar RA dan shahabat Umar RA kedua-duanya telah
menjadi mertua Nabi SAW,sedangkan ‘Utsman bin ‘Affan RA dan shahabat ‘Ali RA
kedua-duanya telah menjadi menantu Nabi SAW.
Fathimah
melahirkan seorang putera laki-laki
Diriwayatkan,
bahwa ketika pertengahan bulan Ramadlan tahun ketiga Hijrah, Fathimah puteri
Nabi SAW (isteri shahabat ‘Ali RA) melahirkan seorang putra yang kemudian diberi
nama “Hasan” oleh Nabi SAW.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak