Ahad,
30 Januari 2000/23 Syawwal 1420
Brosur no. : 1019/1059/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-73)
Diriwayatkan,
bahwa Nabi SAW memberangkatkan pasukan muslimin sebanyak 200 orang ke suatu
qabilah banu Sulaim untuk memerangi qabilah tersebut yang menentang kaum
muslimin. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Syawwal tahun kedua Hijrah
(menurut Ibnu Hisyam, sedangkan menurut Al-Waqidi terjadi pada bulan Muharram
tahun ketiga Hijrah).
Sebelum
Nabi SAW berangkat, pimpinan di Madinah lebih dahulu diserahkan kepada Suba’ bin
‘Urfuthah Al-Ghifari (ada yang mengatakan kepada ‘Abdullah bin Ummi
Maktum).
Pasukan
muslimin dipimpin langsung oleh Nabi SAW, dan bendera Islam berwarna putih
dipegang oleh shahabat ‘Ali RA. Beliau SAW berangkat dengan tentara muslimin
menuju qabilah banu Sulaim. Setelah sampai di suatu sungai qabilah tersebut yang
dikenal dengan nama Qarqaratul Kudr, maka beliau bersama tentaranya berhenti di
tempat tersebut, kemudian melihat-lihat musuh, tetapi beliau tidak betemu dengan
seorangpun juga. Sehingga beliau menyuruh sebagian dari tentara muslimin supaya
naik keatas tebing-tebing, tetapi tidak menemukan seorangpun juga. Kemudian Nabi
SAW bersama tentaranya menunggu sampai tiga hari tiga malam, tetapi tidak ketemu
dengan musuh.
Menurut
tarikh Munawwar Khalil disebutkan bahwa setelah tiga hari tiga malam Nabi SAW
berada di tempat itu, tiba-tiba bertemu dengan seorang penggembala unta di
lembah tersebut, dan unta yang digembalanya sebanyak 500 ekor. Beliau lalu
bertanya kepada penggembala tersebut yang namanya Jasar, “Apakah kamu
mengetahui pasukan kaum banu Sulaim ?”. Penggembala itu menjawab, “Tidak
tahu”.
Kemudian
unta yang digembalanya tadi diambil alih oleh pasukan muslimin dengan idzin Nabi
SAW sebagai ghanimah, dan penggembalanya (Jasar) juga ditawan, kemudian
kesemuanya dibawa ke Madinah. Akhirnya perang tidak terjadi, dan ketika
perjalanan sampai di suatu dusun dekat Madinah yang bernama Sharar, unta
tersebut dibagi. Lima ratus ekor unta tersebut, sesudah yang seratus ekor
diambil oleh Nabi sebagai bagiannya, maka yang empat ratus ekor untuk tentara
Muslimin yang berjumlah 200 orang tadi, sehingga masing-masing mendapatkan 2
ekor.
Dalam
kitab-kitab tarikh Islam, perang Qarqaratul Kudr ini disebut pula dengan perang
banu Sulaim. Meskipun peristiwa tersebut tidak terjadi perang antara kaum
muslimin dengan kaum musyrikin, tetapi lantaran keberangkatan Nabi SAW ke tempat
tersebut dengan tujuan perang, maka disebut juga dengan kata “perang” untuk
memerangi kaum banu Sulaim, yang sengaja akan menyerang kaum
muslimin.
6.
Perang Sawiq
Diriwayatkan,
bahwa kaum musyrikin Quraisy semenjak menderita kekalahan di Badr, terutama dari
ketua atau kepala mereka, tidak ada hentinya berusaha untuk membalas terhadap
kaum muslimin, dan terutama terhadap Nabi SAW. Bahkan Abu Sufyan bernadzar dan
bersumpah, “Tidak akan membasahi rambut kepalanya dalam mandi janabat sebelum
menuntut balas atau memerangi Muhammad SAW dan para
pengikutnya”.
Oleh
sebab itu maka Abu Sufyan dan kawan-kawannya selalu berusaha mengumpulkan
kekuatan dan mempersiapkan tentaranya untuk menetapi sumpah nadzarnya. Maka pada
suatu hari Abu Sufyan dengan tentaranya sebanyak 200 orang yang telah dipilihnya
berangkat menuju ke Madinah, dan semuanya berkendaraan, dengan menempuh jalan
Najd. Tetapi sebelum sampai di Madinah, mereka lebih dulu singgah di suatu
gunung yang dinamakan Tsaib, kira-kira berjarak 12 mil dari
Madinah.
Kemudian
pada malam hari angkatan tentara itu ditinggal oleh Abu Sufyan di tempat
tersebut, dan ia berangkat sendiri masuk ke Madinah menuju perkampungan kaum
Yahudi qabilah banu Nadlir, dia mendatangi rumah seorang ketua banu Nadlir,
yaitu Huyaiy bin Akhthab. Tetapi Huyaiy bin Akhthab tidak sanggup menerima
kedatangan Abu Sufyan, karena ia ingat akan perjanjian damai yang pernah
diadakan olehnya dengan Nabi. Setelah itu Abu Sufyan terus menuju ke tempat
kediaman Sallam bin Misykam, salah seorang terkemuka dari Yahudi banu Nadlir.
Kedatangan Abu Sufyan kepada Sallam bin Misykam ini disambut dengan gembira,
karena ia seorang yang sudah sementara waktu secara diam-diam memusuhi Nabi SAW.
Sallam bin Misykam dengan tidak mempedulikan perjanjian damai yang pernah
diadakan oleh banu Nadlir dengan Nabi, lalu dia menyampaikan berbagai macam cara
dan jalan kepada Abu Sufyan yang kiranya akan berguna untuk menyerang Nabi dan
pengikutnya di Madinah.
Dalam
pertemuan itu, Abu Sufyan mengemukakan keinginannya, yaitu mengharapkan bantuan
kepada Sallam bin Misykam, dan semua keinginan itu disanggupinya
juga.
Menjelang
pagi harinya Abu Sufyan kembali ke gunung Tsaib, kemudian ia bersama tentaranya
berangkat melanjutkan perjalanannya menuju ke Madinah. Tetapi ketika perjalanan
mereka sampai di bagian tepi kota Madinah, yaitu di dusun Al-’Uraidl, jarak 3
mil dari Madinah, mereka bertemu dengan dua orang petani dari kaum muslimin
(kaum Anshar) yang sedang bekerja di ladangnya. Kemudian mereka membunuh dua
orang petani itu, lalu membakar rumah-rumah dan kebun penduduknya, dan membakar
pohon-pohon kurma mereka.
Setelah
berita yang demikian itu terdengar oleh Nabi SAW, maka pasukan muslimin dibawah
pimpinan beliau sendiri segera berangkat mengejar musuh yang kejam dan ganas
itu. Dan pimpinan ummat Islam di Madinah diserahkan kepada Basyir bin ‘Abdul
Mundzir.
Tentara
muslimin dengan cepat menuju ke tempat yang baru saja diserbu oleh Abu Sufyan
dan tentaranya itu, dan kebetulan mereka juga masih ada di sekitar tempat itu.
Tetapi setelah mereka tahu bahwa ada pasukan yang mengejar mereka dari belakang,
mereka segera bubar dengan cepat dan melarikan diri dan sangat takut apabila
terkejar. Oleh karena tentara kaum musyrikin Quraisy dikala itu membawa gandum
(sawiq) yang tidak sedikit, maka untuk meringankan muatan kendaraan mereka
ketika lari akhirnya mereka membuang gandum-gandum itu di tengah jalan hingga
ratusan karung banyaknya. Karena mereka terus lari, maka semua gandum itu terus
diambil oleh kaum muslimin. Kemudian Nabi SAW bersama tentaranya kembali ke
Madinah dengan selamat.
Dan
karena banyaknya gandum-gandum yang dibuang kaum Quraisy tadi, maka kaum
muslimin lalu menamakan perang tadi dengan Ghazwah Sawiq (perang gandum).
Peristiwa itu terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun ke-2
Hijrah.
Dan
setelah kembali di Madinah Nabi SAW lalu mengadakan shalat ‘Iedul Adlha (hari
raya Qurban) bersama-sama kaum muslimin di suatu tempat tanah lapang di Madinah.
Sesudah mengerjakan shalat ‘Ied ini, lalu Nabi SAW memotong seekor kambing
(kibasy) untuk qurban, dan begitu juga orang-orang Islam yang lain yang mampu,
ikut memotong qurban.
Menurut
riwayat, bahwa shalat ‘Iedul Qurban dan sembelihan qurban tersebut adalah yang
pertama kali dikerjakan oleh ummat Islam. Jadi pada tahun ke-2 Hijrah inilah
shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha pertama kali dilakukan ummat
Islam.
7.
Perang Ghathafan/Dzu Amar dan Islamnya Da’tsur
Menurut
riwayat, memasuki tahun ketiga hijrah, yaitu pada bulan Muharram, Nabi SAW
menerima khabar bahwa qabilah banu Muharib dan banu Tsa’labah telah bersatu
mengumpulkan kekuatan untuk menyerang kaum muslimin di Madinah. Maka Nabi SAW
segera mengatur barisan tentara muslimin, dan menyerahkan pimpinan ummat Islam
di Madinah kepada shahabat ‘Utsman bin ‘Affan RA.
Nabi
SAW dan tentara muslimin sebanyak 450 orang segera berangkat menuju kedua
qabilah tersebut. Setelah mereka mendengar khabar bahwa tentara muslimin telah
berangkat dari Madinah dan dikepalai oleh Nabi SAW sendiri akan menyerang
mereka, maka mereka ketakutan, lalu melarikan diri ke
gunung-gunung.
Di
dalam tarikh Munawwar Khalil disebutkan bahwa tentara muslimin dalam perjalanan
bertemu dengan seorang dari banu Tsa’labah yang bernama Hibbab, sebelum ia
dipanggil oleh Nabi SAW, ia menghadap lebih dulu kepada beliau seraya berkata,
“Jika mereka tahu kedatangan tuan, niscaya mereka melarikan diri ke
gunung-gunung dan tentu tidak akan berani bertempur dengan tuan. Adapun saya
akan ikut menjadi barisan tuan, dan diri saya, saya serahkan kepada
tuan”.
Dan
ketika itu ia masuk Islam, dan oleh Nabi SAW dia dikumpulkan dengan shahabat
Bilal RA, lalu ia disuruh menunjukkan jalan bagi perjalanan tentara
muslimin.
Setelah
perjalanan sampai di dusun yang bernama Dzu Amar, Nabi SAW beserta tentaranya
berhenti, lalu beliau mengatur barisan tentaranya dengan serapi-rapinya. Dan
ketika itu tiba-tiba turun hujan dengan lebatnya.
Tentara
musuh setelah benar-benar tahu kedatangan tentara muslimin yang dikepalai langsung oleh Nabi
SAW, maka mereka lari ke gunung-gunung yang berdekaran dengan tempat tersebut.
Dan karena adanya hujan lebat tadi, maka pakaian tentara muslimin basah kuyup.
Namun setelah hujan reda, Nabi SAW dan tentaranya segera menjemur
pakaian-pakaian mereka.
Setelah
Nabi SAW menjemur pakaiannya, lalu beliau berbaring sendirian di bawah pohon
untuk melepaskan lelah, sedangkan tentara muslimin sibuk menjemur pakaian mereka
masing-masing.
Dari
atas gunung tentara musyrikin mengetahui, bahwa tentara muslimin tengah sibuk
menjemur pakaiannya, dan mereka tahu bahwa Nabi SAW seorag diri sedang berbaring
di bawah pohon. Maka tentara musyrikin lalu meminta kepada Da’tsur (kepala
mereka) supaya cepat-cepat mendatangi Nabi SAW dan membunuhnya. Setelah Da’tsur
tahu bahwa Nabi SAW sedang berbaring di bawah pohon sendirian, lalu segera
mendatangi dari belakang sambil menghunus pedangnya yang tajam. Setelah sampai
di hadapan beliau, Da’tsur segera mengacungkan pedangnya yang sudah dicabut dari
sarungnya ke atas kepala Nabi sambil berkata dengan sombong, “Siapakah yang
menolongmu dariku, hai Muhammad”.
Nabi
SAW menjawab dengan penuh keikhlashan, “Allah”. Setelah mendengar jawaban
Nabi SAW yang demikian itu seketika itu juga Da’tsur terperanjat dan gemetar
seluruh tubuhnya dan ketakutan. Dan dari gemetarnya hingga menyebabkan pedang
yang dipegang di tangannya jatuh, dan Nabi SAW segera mengambilnya, lalu
diacungkan kepada Da’tsur seraya ganti bertanya, “Siapakah yang melindungimu
sekarang dari aku ?”. Da’tsur menjawab dengan gemetar, “Tidak ada
seorangpun”.
Kemudian
Nabi SAW memaafkannya. Dan seketika itu juga Da’tsur masuk Islam. Kemudian oleh
Nabi SAW pedang yang tajam tadi dikembalikan kepada Da’tsur. Dan Da’tsur lalu
kembali kepada tentaranya yang sedang berada di gunung, kemudian berseru kepada
mereka supaya mengikut seruan Nabi (masuk agama Islam). Oleh sebab itu, perang
itupun gagal. Kemudian Nabi SAW dan tentaranya kembali ke Madinah dengan
selamat.
8.
Perang Buhran
Di
muka telah kami sebutkan tentang perang Nabi SAW di Qarqaratul Kudr (qabilah
Banu Sulaim) yang tidak terjadi peperangan. Kemudian kaum qabilah Banu Sulaim
pada bulan Jumadil Ula tahun ke-3 Hijrah berkumpul di suatu dusun yang bernama
“Buhran”. Mereka berkumpul di situ hendak memerangi kaum muslimin di
Madinah.
Setelah
Nabi SAW mendengar kabar itu, maka segera Nabi SAW mengatur barisan Islam dan
menyerahkan pimpinan umat di Madinah kepada shahabat ‘Abdullah bin Ummi
Maktum.
Hari
ke-6 Jumadil-Ula tahun ketiga Hijrah, berangkatlah Nabi SAW bersama tentara
muslimin sebanyak 300 orang dan terus menuju ke dusun Buhran. Tetapi setelah
sampai di dusun tersebut, tentara kaum Banu Sulaim telah bercerai-berai, maka
peperangan itupun gagal, dan Nabi beserta tentaranya lalu kembali ke Madinah
dengan selamat.
9.
Pasukan tentara muslimin yang dikepalai oleh Zaid bin
Haritsah
Kaum
musyrikin Quraisy sejak mendapat kekalahan di Badr, maka makin hari makin
khawatir dan merasa takut kepada Nabi dankaum muslimin, lebih-lebih sesudah
mendengar khabar dari luar kota Makkah, bahwa sebagian besar kaum bangsa Arab
yang tinggal di sekitar kota Madinah, telah menjadi pengikut Nabi SAW, maka
mereka tidak berani lagi memberangkatkan angkatan dagangnya ke Syam sebagaimana
biasa. Karena khawatir angkatan unta yang memuat perdagangan mendapat gangguan dari pengikut Nabi SAW. Oleh sebab
itu, pada suatu hari Shafwan bin Umayyah sebagai kepala kaum Quraisy di Makkah,
mengumpulkan semua saudagar dan ketua-ketua Quraisy di
Makkah.
Setelah
mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Shafwan berkata, “Sesungguhnya
Muhammad dan semua pengikutnya sekarang akan menjatuhkan perdagangan kita.
Sekarang apa yang akan kita perbuat kepadanya dan kepada pengikutnya ? Kaum Arab
yang berada di tepi-tepi kota Madinah sekarang ini sebagian besar sudah jadi
pengikut Muhammad. Dan jika mereka tidak mengikut Muhammad, sudah tentu telah
mempunyai perjanjian kokoh dengannya. Oleh sebab itu, kita tidak tahu jalan mana
yang harus kita tempuh untuk perjalanan perdagangan kita ke negeri Syam. Kita
hanya tinggal memakan dari harta yang telah ada sekarang, maka jika kita tidak
berniaga dan berdagang lagi, niscaya harta kita akan habis. Dan kalau sudah
habis, apalagi yang hendak kita makan ? Pendek kata, penghidupan kita di Makkah
ini tidak lain tergantung dengan jalan kita untuk berdagang ke Syam dalam masa
kemarau, dan ke Habsyi dalam masa dingin”.
Ketika
itu ada seorang dari Kepala Quraisy yang bernama Aswad bin ‘Abdul Muththalib,
mengemukakan pendapatnya, dia berkata, “Sekarang kita lebih baik mengambil
jalan sebelah negeri Iraq, dan menyusuri ditepi-tepinya saja, dan kita menyuruh
seseorang yang dapat menunjukkan jalan kesana, dan orang itu harus kita bayar
secukupnya. Orang yang saya anggap dapat menunjukkan jalan ke sana itu, sekarang
sudah berada di persidangan kita ini”. Dan Aswad kemudian menunjuk pada
seorang yang bernama Furat bin Hayyan yang ketika itu ada dalam persidangan
itu.
Furat
yang ditunjuk oleh Aswad segera menjawab, “Baiklah ambil jalan ke sebelah
Iraq saja, sebab di sebelah sana belum ada yang menjadi pengikut Muhammad, orang
pelarian itu”.
Ketika
itu pendapat Aswad lalu diterima dengan baik oleh rapat dan diputuskan juga,
bahwa Furat bin Hayyan menjadi penunjuk jalan bagi angkatan perdagangan kaum
Quraisy.
Kemudian
pada suatu saat kaum Quraisy akan memberangkatkan angkatan perdagangan mereka ke
negeri Syam. Dan kebetulan keputusan kaum Quraisy tersebut didengar oleh seorang
dari Madinah bernama Nu’aim Al-Asyja’i. Maka ketika Nu’aim kembali ke Madinah
dikabarkannya segala apa yang dirundingkan oleh kaum Quraisy itu kepada penduduk
di Madinah, sehingga sampailah khabar ini kepada kaum muslimin dan Nabi
SAW.
Terjadilah
pada bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijrah angkatan perdagangan Quraisy
berangkat dari Makkah dengan membawa perdagangan yang banyak berupa alat-alat
dari emas dan perak yang seharga lebih dari 100.000 dirham dan dimuat pada
berpuluh-puluh unta serta dikepalai oleh ketua-ketua saudagar kaum Quraisy yang
di antaranya ialah Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyyah, Huwaithib bin
Abdul ‘Uzza, ‘Abdullah bin Rabi’ah dan lain-lainnya.
Nabi
SAW lalu memberangkatkan tentara muslimin sebanyak 100 orang dengan berkendaraan
unta dan dikepalai oleh shahabat Zaid bin Haritsah. Pasukan ini diperintah oleh
Nabi SAW supaya menempuh jalan yang akan dilalui angkatan perdagangan Quraisy
itu.
Pasukan
muslimin berangkat dari Madinah dan terus menuju ke suatu dusun Qardah. Qardah
adalah nama suatu sungai di wilayah Najd, dan ketika tentara muslimin sampai di
dusun itu, kebetulan angkatan perdagangan Quraisy sedang sampai di dusun ini
juga. Oleh sebab itu lalu dikejar oleh tentara muslimin, dan akhirnya angkatan
perdagangan mereka dapat ditangkap. Adapun orang-orangnya dapat melepaskan dan
melarikan diri, kecuali Furat bin Hayyan (penunjuk jalan) yang ditangkap. Oleh
sebab itu, angkatan perdagangan dan semua untanya serta Furat lalu dibawa ke
Madinah. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun ke-3
Hijrah.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak