POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE

Tarikh Nabi Muhammad SAW (ke-73) 5. Perang Qarqaratul Kudr/Perang Bani Sulaim

Posted by

Ahad, 30 Januari 2000/23 Syawwal 1420         Brosur no. : 1019/1059/SI
Tarikh Nabi Muhammad SAW (ke-73)


5. Perang Qarqaratul Kudr/Perang Bani Sulaim
Diriwayatkan, bahwa Nabi SAW memberangkatkan pasukan muslimin sebanyak 200 orang ke suatu qabilah banu Sulaim untuk memerangi qabilah tersebut yang menentang kaum muslimin. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Syawwal tahun kedua Hijrah (menurut Ibnu Hisyam, sedangkan menurut Al-Waqidi terjadi pada bulan Muharram tahun ketiga Hijrah).
Sebelum Nabi SAW berangkat, pimpinan di Madinah lebih dahulu diserahkan kepada Suba’ bin ‘Urfuthah Al-Ghifari (ada yang mengatakan kepada ‘Abdullah bin Ummi Maktum).
Pasukan muslimin dipimpin langsung oleh Nabi SAW, dan bendera Islam berwarna putih dipegang oleh shahabat ‘Ali RA. Beliau SAW berangkat dengan tentara muslimin menuju qabilah banu Sulaim. Setelah sampai di suatu sungai qabilah tersebut yang dikenal dengan nama Qarqaratul Kudr, maka beliau bersama tentaranya berhenti di tempat tersebut, kemudian melihat-lihat musuh, tetapi beliau tidak betemu dengan seorangpun juga. Sehingga beliau menyuruh sebagian dari tentara muslimin supaya naik keatas tebing-tebing, tetapi tidak menemukan seorangpun juga. Kemudian Nabi SAW bersama tentaranya menunggu sampai tiga hari tiga malam, tetapi tidak ketemu dengan musuh.
Menurut tarikh Munawwar Khalil disebutkan bahwa setelah tiga hari tiga malam Nabi SAW berada di tempat itu, tiba-tiba bertemu dengan seorang penggembala unta di lembah tersebut, dan unta yang digembalanya sebanyak 500 ekor. Beliau lalu bertanya kepada penggembala tersebut yang namanya Jasar, “Apakah kamu mengetahui pasukan kaum banu Sulaim ?”. Penggembala itu menjawab, “Tidak tahu”.
Kemudian unta yang digembalanya tadi diambil alih oleh pasukan muslimin dengan idzin Nabi SAW sebagai ghanimah, dan penggembalanya (Jasar) juga ditawan, kemudian kesemuanya dibawa ke Madinah. Akhirnya perang tidak terjadi, dan ketika perjalanan sampai di suatu dusun dekat Madinah yang bernama Sharar, unta tersebut dibagi. Lima ratus ekor unta tersebut, sesudah yang seratus ekor diambil oleh Nabi sebagai bagiannya, maka yang empat ratus ekor untuk tentara Muslimin yang berjumlah 200 orang tadi, sehingga masing-masing mendapatkan 2 ekor.
Dalam kitab-kitab tarikh Islam, perang Qarqaratul Kudr ini disebut pula dengan perang banu Sulaim. Meskipun peristiwa tersebut tidak terjadi perang antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin, tetapi lantaran keberangkatan Nabi SAW ke tempat tersebut dengan tujuan perang, maka disebut juga dengan kata “perang” untuk memerangi kaum banu Sulaim, yang sengaja akan menyerang kaum muslimin.
6. Perang Sawiq
Diriwayatkan, bahwa kaum musyrikin Quraisy semenjak menderita kekalahan di Badr, terutama dari ketua atau kepala mereka, tidak ada hentinya berusaha untuk membalas terhadap kaum muslimin, dan terutama terhadap Nabi SAW. Bahkan Abu Sufyan bernadzar dan bersumpah, “Tidak akan membasahi rambut kepalanya dalam mandi janabat sebelum menuntut balas atau memerangi Muhammad SAW dan para pengikutnya”.
Oleh sebab itu maka Abu Sufyan dan kawan-kawannya selalu berusaha mengumpulkan kekuatan dan mempersiapkan tentaranya untuk menetapi sumpah nadzarnya. Maka pada suatu hari Abu Sufyan dengan tentaranya sebanyak 200 orang yang telah dipilihnya berangkat menuju ke Madinah, dan semuanya berkendaraan, dengan menempuh jalan Najd. Tetapi sebelum sampai di Madinah, mereka lebih dulu singgah di suatu gunung yang dinamakan Tsaib, kira-kira berjarak 12 mil dari Madinah.
Kemudian pada malam hari angkatan tentara itu ditinggal oleh Abu Sufyan di tempat tersebut, dan ia berangkat sendiri masuk ke Madinah menuju perkampungan kaum Yahudi qabilah banu Nadlir, dia mendatangi rumah seorang ketua banu Nadlir, yaitu Huyaiy bin Akhthab. Tetapi Huyaiy bin Akhthab tidak sanggup menerima kedatangan Abu Sufyan, karena ia ingat akan perjanjian damai yang pernah diadakan olehnya dengan Nabi. Setelah itu Abu Sufyan terus menuju ke tempat kediaman Sallam bin Misykam, salah seorang terkemuka dari Yahudi banu Nadlir. Kedatangan Abu Sufyan kepada Sallam bin Misykam ini disambut dengan gembira, karena ia seorang yang sudah sementara waktu secara diam-diam memusuhi Nabi SAW. Sallam bin Misykam dengan tidak mempedulikan perjanjian damai yang pernah diadakan oleh banu Nadlir dengan Nabi, lalu dia menyampaikan berbagai macam cara dan jalan kepada Abu Sufyan yang kiranya akan berguna untuk menyerang Nabi dan pengikutnya di Madinah.
Dalam pertemuan itu, Abu Sufyan mengemukakan keinginannya, yaitu mengharapkan bantuan kepada Sallam bin Misykam, dan semua keinginan itu disanggupinya juga.
Menjelang pagi harinya Abu Sufyan kembali ke gunung Tsaib, kemudian ia bersama tentaranya berangkat melanjutkan perjalanannya menuju ke Madinah. Tetapi ketika perjalanan mereka sampai di bagian tepi kota Madinah, yaitu di dusun Al-’Uraidl, jarak 3 mil dari Madinah, mereka bertemu dengan dua orang petani dari kaum muslimin (kaum Anshar) yang sedang bekerja di ladangnya. Kemudian mereka membunuh dua orang petani itu, lalu membakar rumah-rumah dan kebun penduduknya, dan membakar pohon-pohon kurma mereka.
Setelah berita yang demikian itu terdengar oleh Nabi SAW, maka pasukan muslimin dibawah pimpinan beliau sendiri segera berangkat mengejar musuh yang kejam dan ganas itu. Dan pimpinan ummat Islam di Madinah diserahkan kepada Basyir bin ‘Abdul Mundzir.
Tentara muslimin dengan cepat menuju ke tempat yang baru saja diserbu oleh Abu Sufyan dan tentaranya itu, dan kebetulan mereka juga masih ada di sekitar tempat itu. Tetapi setelah mereka tahu bahwa ada pasukan yang mengejar mereka dari belakang, mereka segera bubar dengan cepat dan melarikan diri dan sangat takut apabila terkejar. Oleh karena tentara kaum musyrikin Quraisy dikala itu membawa gandum (sawiq) yang tidak sedikit, maka untuk meringankan muatan kendaraan mereka ketika lari akhirnya mereka membuang gandum-gandum itu di tengah jalan hingga ratusan karung banyaknya. Karena mereka terus lari, maka semua gandum itu terus diambil oleh kaum muslimin. Kemudian Nabi SAW bersama tentaranya kembali ke Madinah dengan selamat.
Dan karena banyaknya gandum-gandum yang dibuang kaum Quraisy tadi, maka kaum muslimin lalu menamakan perang tadi dengan Ghazwah Sawiq (perang gandum). Peristiwa itu terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun ke-2 Hijrah.
Dan setelah kembali di Madinah Nabi SAW lalu mengadakan shalat ‘Iedul Adlha (hari raya Qurban) bersama-sama kaum muslimin di suatu tempat tanah lapang di Madinah. Sesudah mengerjakan shalat ‘Ied ini, lalu Nabi SAW memotong seekor kambing (kibasy) untuk qurban, dan begitu juga orang-orang Islam yang lain yang mampu, ikut memotong qurban.
Menurut riwayat, bahwa shalat ‘Iedul Qurban dan sembelihan qurban tersebut adalah yang pertama kali dikerjakan oleh ummat Islam. Jadi pada tahun ke-2 Hijrah inilah shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha pertama kali dilakukan ummat Islam.
7. Perang Ghathafan/Dzu Amar dan Islamnya Da’tsur
Menurut riwayat, memasuki tahun ketiga hijrah, yaitu pada bulan Muharram, Nabi SAW menerima khabar bahwa qabilah banu Muharib dan banu Tsa’labah telah bersatu mengumpulkan kekuatan untuk menyerang kaum muslimin di Madinah. Maka Nabi SAW segera mengatur barisan tentara muslimin, dan menyerahkan pimpinan ummat Islam di Madinah kepada shahabat ‘Utsman bin ‘Affan RA.
Nabi SAW dan tentara muslimin sebanyak 450 orang segera berangkat menuju kedua qabilah tersebut. Setelah mereka mendengar khabar bahwa tentara muslimin telah berangkat dari Madinah dan dikepalai oleh Nabi SAW sendiri akan menyerang mereka, maka mereka ketakutan, lalu melarikan diri ke gunung-gunung.
Di dalam tarikh Munawwar Khalil disebutkan bahwa tentara muslimin dalam perjalanan bertemu dengan seorang dari banu Tsa’labah yang bernama Hibbab, sebelum ia dipanggil oleh Nabi SAW, ia menghadap lebih dulu kepada beliau seraya berkata, “Jika mereka tahu kedatangan tuan, niscaya mereka melarikan diri ke gunung-gunung dan tentu tidak akan berani bertempur dengan tuan. Adapun saya akan ikut menjadi barisan tuan, dan diri saya, saya serahkan kepada tuan”.
Dan ketika itu ia masuk Islam, dan oleh Nabi SAW dia dikumpulkan dengan shahabat Bilal RA, lalu ia disuruh menunjukkan jalan bagi perjalanan tentara muslimin.
Setelah perjalanan sampai di dusun yang bernama Dzu Amar, Nabi SAW beserta tentaranya berhenti, lalu beliau mengatur barisan tentaranya dengan serapi-rapinya. Dan ketika itu tiba-tiba turun hujan dengan lebatnya.
Tentara musuh setelah benar-benar tahu kedatangan tentara  muslimin yang dikepalai langsung oleh Nabi SAW, maka mereka lari ke gunung-gunung yang berdekaran dengan tempat tersebut. Dan karena adanya hujan lebat tadi, maka pakaian tentara muslimin basah kuyup. Namun setelah hujan reda, Nabi SAW dan tentaranya segera menjemur pakaian-pakaian mereka.
Setelah Nabi SAW menjemur pakaiannya, lalu beliau berbaring sendirian di bawah pohon untuk melepaskan lelah, sedangkan tentara muslimin sibuk menjemur pakaian mereka masing-masing.
Dari atas gunung tentara musyrikin mengetahui, bahwa tentara muslimin tengah sibuk menjemur pakaiannya, dan mereka tahu bahwa Nabi SAW seorag diri sedang berbaring di bawah pohon. Maka tentara musyrikin lalu meminta kepada Da’tsur (kepala mereka) supaya cepat-cepat mendatangi Nabi SAW dan membunuhnya. Setelah Da’tsur tahu bahwa Nabi SAW sedang berbaring di bawah pohon sendirian, lalu segera mendatangi dari belakang sambil menghunus pedangnya yang tajam. Setelah sampai di hadapan beliau, Da’tsur segera mengacungkan pedangnya yang sudah dicabut dari sarungnya ke atas kepala Nabi sambil berkata dengan sombong, “Siapakah yang menolongmu dariku, hai Muhammad”.
Nabi SAW menjawab dengan penuh keikhlashan, “Allah”. Setelah mendengar jawaban Nabi SAW yang demikian itu seketika itu juga Da’tsur terperanjat dan gemetar seluruh tubuhnya dan ketakutan. Dan dari gemetarnya hingga menyebabkan pedang yang dipegang di tangannya jatuh, dan Nabi SAW segera mengambilnya, lalu diacungkan kepada Da’tsur seraya ganti bertanya, “Siapakah yang melindungimu sekarang dari aku ?”. Da’tsur menjawab dengan gemetar, “Tidak ada seorangpun”.
Kemudian Nabi SAW memaafkannya. Dan seketika itu juga Da’tsur masuk Islam. Kemudian oleh Nabi SAW pedang yang tajam tadi dikembalikan kepada Da’tsur. Dan Da’tsur lalu kembali kepada tentaranya yang sedang berada di gunung, kemudian berseru kepada mereka supaya mengikut seruan Nabi (masuk agama Islam). Oleh sebab itu, perang itupun gagal. Kemudian Nabi SAW dan tentaranya kembali ke Madinah dengan selamat.
8. Perang Buhran
Di muka telah kami sebutkan tentang perang Nabi SAW di Qarqaratul Kudr (qabilah Banu Sulaim) yang tidak terjadi peperangan. Kemudian kaum qabilah Banu Sulaim pada bulan Jumadil Ula tahun ke-3 Hijrah berkumpul di suatu dusun yang bernama “Buhran”. Mereka berkumpul di situ hendak memerangi kaum muslimin di Madinah.
Setelah Nabi SAW mendengar kabar itu, maka segera Nabi SAW mengatur barisan Islam dan menyerahkan pimpinan umat di Madinah kepada shahabat ‘Abdullah bin Ummi Maktum.
Hari ke-6 Jumadil-Ula tahun ketiga Hijrah, berangkatlah Nabi SAW bersama tentara muslimin sebanyak 300 orang dan terus menuju ke dusun Buhran. Tetapi setelah sampai di dusun tersebut, tentara kaum Banu Sulaim telah bercerai-berai, maka peperangan itupun gagal, dan Nabi beserta tentaranya lalu kembali ke Madinah dengan selamat.
9. Pasukan tentara muslimin yang dikepalai oleh Zaid bin Haritsah
Kaum musyrikin Quraisy sejak mendapat kekalahan di Badr, maka makin hari makin khawatir dan merasa takut kepada Nabi dankaum muslimin, lebih-lebih sesudah mendengar khabar dari luar kota Makkah, bahwa sebagian besar kaum bangsa Arab yang tinggal di sekitar kota Madinah, telah menjadi pengikut Nabi SAW, maka mereka tidak berani lagi memberangkatkan angkatan dagangnya ke Syam sebagaimana biasa. Karena khawatir angkatan unta yang memuat perdagangan mendapat  gangguan dari pengikut Nabi SAW. Oleh sebab itu, pada suatu hari Shafwan bin Umayyah sebagai kepala kaum Quraisy di Makkah, mengumpulkan semua saudagar dan ketua-ketua Quraisy di Makkah.
Setelah mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Shafwan berkata, “Sesungguhnya Muhammad dan semua pengikutnya sekarang akan menjatuhkan perdagangan kita. Sekarang apa yang akan kita perbuat kepadanya dan kepada pengikutnya ? Kaum Arab yang berada di tepi-tepi kota Madinah sekarang ini sebagian besar sudah jadi pengikut Muhammad. Dan jika mereka tidak mengikut Muhammad, sudah tentu telah mempunyai perjanjian kokoh dengannya. Oleh sebab itu, kita tidak tahu jalan mana yang harus kita tempuh untuk perjalanan perdagangan kita ke negeri Syam. Kita hanya tinggal memakan dari harta yang telah ada sekarang, maka jika kita tidak berniaga dan berdagang lagi, niscaya harta kita akan habis. Dan kalau sudah habis, apalagi yang hendak kita makan ? Pendek kata, penghidupan kita di Makkah ini tidak lain tergantung dengan jalan kita untuk berdagang ke Syam dalam masa kemarau, dan ke Habsyi dalam masa dingin”.
Ketika itu ada seorang dari Kepala Quraisy yang bernama Aswad bin ‘Abdul Muththalib, mengemukakan pendapatnya, dia berkata, “Sekarang kita lebih baik mengambil jalan sebelah negeri Iraq, dan menyusuri ditepi-tepinya saja, dan kita menyuruh seseorang yang dapat menunjukkan jalan kesana, dan orang itu harus kita bayar secukupnya. Orang yang saya anggap dapat menunjukkan jalan ke sana itu, sekarang sudah berada di persidangan kita ini”. Dan Aswad kemudian menunjuk pada seorang yang bernama Furat bin Hayyan yang ketika itu ada dalam persidangan itu.
Furat yang ditunjuk oleh Aswad segera menjawab, “Baiklah ambil jalan ke sebelah Iraq saja, sebab di sebelah sana belum ada yang menjadi pengikut Muhammad, orang pelarian itu”.
Ketika itu pendapat Aswad lalu diterima dengan baik oleh rapat dan diputuskan juga, bahwa Furat bin Hayyan menjadi penunjuk jalan bagi angkatan perdagangan kaum Quraisy.
Kemudian pada suatu saat kaum Quraisy akan memberangkatkan angkatan perdagangan mereka ke negeri Syam. Dan kebetulan keputusan kaum Quraisy tersebut didengar oleh seorang dari Madinah bernama Nu’aim Al-Asyja’i. Maka ketika Nu’aim kembali ke Madinah dikabarkannya segala apa yang dirundingkan oleh kaum Quraisy itu kepada penduduk di Madinah, sehingga sampailah khabar ini kepada kaum muslimin dan Nabi SAW.
Terjadilah pada bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijrah angkatan perdagangan Quraisy berangkat dari Makkah dengan membawa perdagangan yang banyak berupa alat-alat dari emas dan perak yang seharga lebih dari 100.000 dirham dan dimuat pada berpuluh-puluh unta serta dikepalai oleh ketua-ketua saudagar kaum Quraisy yang di antaranya ialah Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyyah, Huwaithib bin Abdul ‘Uzza, ‘Abdullah bin Rabi’ah dan lain-lainnya.
Nabi SAW lalu memberangkatkan tentara muslimin sebanyak 100 orang dengan berkendaraan unta dan dikepalai oleh shahabat Zaid bin Haritsah. Pasukan ini diperintah oleh Nabi SAW supaya menempuh jalan yang akan dilalui angkatan perdagangan Quraisy itu.
Pasukan muslimin berangkat dari Madinah dan terus menuju ke suatu dusun Qardah. Qardah adalah nama suatu sungai di wilayah Najd, dan ketika tentara muslimin sampai di dusun itu, kebetulan angkatan perdagangan Quraisy sedang sampai di dusun ini juga. Oleh sebab itu lalu dikejar oleh tentara muslimin, dan akhirnya angkatan perdagangan mereka dapat ditangkap. Adapun orang-orangnya dapat melepaskan dan melarikan diri, kecuali Furat bin Hayyan (penunjuk jalan) yang ditangkap. Oleh sebab itu, angkatan perdagangan dan semua untanya serta Furat lalu dibawa ke Madinah. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun ke-3 Hijrah.

[Bersambung]


Demo Blog NJW V2 Updated at: September 19, 2019

0 komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah yang bijak