Ahad,
16 Juli 2000/14 Rabi’ul akhir 1421
Brosur no. : 1043/1083/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-81)
Nabi
SAW bersama tentara muslimin sampai di Madinah dari Uhud pada hari Sabtu malam
tanggal 16 Syawal tahun 3 H. Kemudian pada malam itu juga beliau SAW mendengar
khabar bahwa perjalanan tentara Quraisy sedang sampai di Ar-Rauhaa’, dan tengah
berunding akan kembali menuju Madinah untuk menghancurkan kaum
muslimin.
Sebagaimana
telah diketahui bahwa peperangan Uhud dihentikan oleh pihak musyrikin. Kemudian
setelah mereka menguburkan para korban lalu pulang ke Makkah. Dan pada waktu itu
rupanya mereka telah merasa puas, karena telah dapat menghindarkan dari
kekalahan mereka. Tetapi setelah perjalanan mereka agak jauh dari Uhud, dan
ketika mereka sedang beristirahat di Ar- Rauhaa’, terpikirlah oleh Abu Sufyan
dan sebagian para kawannya, bahwa mereka tidak memperoleh kemenangan dalam
peperangan itu sebagaimana yang diharapkan. Buktinya Muhammad dan pengikutnya
belum dapat dibinasakan, dan mereka tidak membawa tawanan dari tentara Islam
seorangpun. Oleh sebab itu, di tempat tersebut mereka lalu mengadakan
perundingan.
Abu
Sufyan selaku panglima mereka berpendapat : Lebih baik kembali menyerbu dan
menyerang kota Madinah serta menghancur-binasakan kaum muslimin. Karena jika
tidak dihancurkan tentu di lain waktu Muhammad dan para pengikutnya akan melawan
kaum Quraisy lagi dengan perlawanan yang lebih hebat. Maka sebelum Muhammad dan
pengikutnya mempunyai kekuatan yang lebih besar lagi, lebih baik harus
dihancurkan terlebih dahulu.
Demikianlah
pendapat Abu Sufyan, dan pendapat ini oleh sebagian kaum Quraisy ditolak dengan
keras, yang dipelopori oleh Shafwan bin Umayyah, seorang yang termasuk tokoh
mereka.
Sekalipun
demikian, namun Abu Sufyan bersikeras mempertahankan pendapatnya, dan mendapat
dukungan dari para perempuan mereka. Mereka bersikeras untuk kembali ke utara
menggempur kota Madinah dan menghancurkan Nabi Muhammad beserta para
pengikutnya.
Pendapat
Abu Sufyan pada mulanya memang berpengaruh, tetapi akhirnya tidak banyak yang
menyetujuinya, sehingga perundingan pada malam itu belum dapat diambil suatu
keputusan.
Pada
keesokan harinya, yaitu hari Ahad 16 Syawal, sehabis Nabi SAW mengerjakan shalat
Shubuh, beliau memerintah shahabat Bilal supaya berseru memanggil orang-orang
yang kemarin baru saja datang dari Uhud agar segera bersiap-siap unruk mengejar
musuh. Adapun orang-orang yang kemarin tidak ikut ke Uhud, tidak diperkenankan
berangkat.
Diriwayatkan,
bahwa pada pagi itu juga datanglah seorang shahabat yang bernama Abdullah bin
‘Amir Al-Maziniy menghadap Nabi SAW dengan terburu-buru untuk menyampaikan
berita. Karena dia baru saja datang dari keluarganya yang berada di luar
Madinah, tetapi masih dekat kota Madinah. Dan di tempat itulah tentara Quraisy
bermalam. Dia dapat mengetahui perundingan mereka pada malam itu. Selanjutnya
dia memberitakan pula segala yang dibicarakan kaum Quraisy pada malam itu, dan
disampaikan pula berita perdebatan yang terjadi antara Abu Sufyan dan Shafwan
bin Umayyah.
Setelah
mendengar suara panggilan dari shahabat Bilal, seketika itu kaum muslimin datang
berduyun-duyun dengan bersenjata ke masjid dan di muka rumah Nabi SAW, lalu
masing-masing menghadap kepada beliau untuk menunggu komando. Mereka itu adalah
para shahabat yang turut dalam perang Uhud, kecuali seorang shahabat yang
bernama Jabir bin Abdillah yang pada waktu perang Uhud tidak dapat ikut karena
harus mengurus saudara perempuannya sebanyak 7 orang, karena ayahnya (‘Abdullah
bin ‘Amr bin Haram) ikut berangkat perang, dan akhirnya menemui syahid di Uhud.
Sehingga pada kesempatan ini dia minta ijin kepada Nabi SAW untuk ikut
berperang, maka beliau mengabulkannya.
Kemudian
Nabi SAW menyerahkan pimpinan ummat kepada shahabat Abdullah bin Ummi Maktum.
Waktu itu Abdullah bin Ubay bin Salul datang mengajukan dirinya untuk ikut
berangkat, tetapi beliau SAW menolak dengan keras, yang akhirnya ia tidak berani
ikut. Nabi menolak Abdullah bin Ubay itu karena beliau mengerti, bahwa ia pasti
akan membuat kekacauan lagi.
Kemudian
Nabi SAW bersiap-siap, berpakaian perang dan berkuda, dan bendera Islam
diserahkan kepada shahabat Ali bin Abu Thalib. Angkatan tentara muslimin
tersebut berjalan kaki, dan sebagian di antara mereka masih menderita luka-luka,
namun semuanya berangkat dengan riang gembira, penuh thaat kepada Nabi SAW. Maka
berangkatlah tentara Islam bersama-sama keluar dari kota Madinah untuk mengejar
musuh. Setelah sampai di Hamraul-Asad, berhentilah kaum muslimin di tempat
tersebut dengan semangat iman yang tetap kokoh-kuat.
Pada
waktu itu tidak seorangpun tentara muslimin yang baru saja datang dari Uhud yang
tidak mematuhi seruan Nabi SAW, meskipun mereka masih dalam keadaan sangat lelah
dan payah, bahkan ada pula yang masih menderita luka-luka.
2.
Tentara kaum muslimin menunggu musuh di Hamraul-Asad
Nabi
SAW beserta tentara muslimin setelah tiba di Hamraul-Asad pada malam harinya
menyalakan api dimana cahayanya menerangi tempat-tempat sekelilingnya, sehingga
terlihat dari tempat yang jauh, bahwa tentara muslimin lebih banyak jumlahnya
dari pada yang sudah. Kemudian, datanglah seorang dari suku Khuza’ah bernama
Ma’bad yang akan bepergian ke Makkah. Dan ketika itu ia menyatakan mengikut
Islam. Kemudian setelah diuji benar-benar oleh Nabi SAW, lalu ia melanjutkan
perjalanannya ke Makkah, maka ia diperintah Nabi SAW supaya menemui Abu
Sufyan.
Nabi
SAW beserta tentara muslimin menunggu di Hamraul-Asad. Sedang tentara musyrikin
ketika itu sudah sampai di Ar-Rauhaa’, sebuah tempat jarak + 36 mil dari
Madinah. Setelah tiba di Ar-Rauhaa’ Ma’bad Al-Khuza’y bertemu dengan rombongan
Abu Sufyan, dan Abu Sufyan setelah mengetahui kedatangan Ma’bad, maka ia berkata
kepada para kawannya, “Inilah Ma’bad. Baiklah kita bertanya kepadanya, apa yang
ada dan terjadi di belakang”. Abu Sufyan belum mengerti bahwa Ma’bad telah
mengikut Islam, maka ia bertanya kepadanya, “Hai Ma’bad, apa yang terjadi di
belakangmu ?”.
Ma’bad
lalu bercerita kepada Abu Sufyan, antara lain ia berkata, “Di belakang saya ada
Muhammad beserta bala tentaranya yang tidak sedikit jumlahnya, yang selama ini
belum pernah saya ketahui bahwa ia mengerahkan bala tentaranya yang begitu
banyak. Saya mendengar, bahwa Muhammad beserta tentaranya akan mengejarmu dan
tentaramu. Pengikut Muhammad yang ketika bertempur di Uhud belum ikut berangkat,
sekarang rupa-rupanya telah dikumpulkan dan dikerahkan olehnya, dan semuanya
akan mengejarmu. Keberangkatan mereka dari Madinah dengan beresenjata lengkap,
dan saya belum pernah melihat senjata-senjata yang menyerupai senjata mereka
sekarang ini, dan engkau sekarang ini belum mempunyai senjata-senjata dan
alat-alat yang serupa itu. Sepanjang yang saya dengar, mereka itu sangat marah
dan akan menuntut balas kepadamu”.
Abu
Sufyan menjawab, “Celaka kamu, apa katamu !”.
Ma’bad
menyahut, “Kalau kamu tidak percaya kepada saya, nyatakanlah sendiri atau
tunggulah kedatangan mereka, tentu tentaramu akan hancur
lebur”.
Kata
Abu Sufyan, “Sekarang bagaimana menurut pendapatmu ?”.
Kata
Ma’bad, “Pendapat saya lebih baik engkau lekas meninggalkan tempat ini. Kalau
tidak, tentu barisan tentara Muhammad akan segera menyerbu
kemari”.
Abu
Sufyan ketika itu tetap sombong, dan berkata lagi, “Demi Allah, kalau begitu
baiklah kami mengumpulkan lagi kekuatan kami, supaya dapat menghancur-binasakan
mereka”.
Kata
Ma’bad, “Jangan begitu. Jangan sekali-kali engkau berbuat seperti itu. Saya ini
hanya menasihatimu”.
Kata
Abu Sufyan, “Kami telah sepakat memutuskan untuk kembali ke Madinah untuk
menggempur dan menghancurkan mereka”.
Ma’bad
menyahut, “Jangan kamu kembali. Saya khawatir, demi Allah, kalau engkau sampai
kembali bersama tentaramu yang hanya sekian itu, niscaya dalam waktu yang
singkat sudah dapat dihancurkan oleh tentara Muhammad”.
Mendengar
anjuran Ma’bad yang demikian, seketika itu berubahlah sikap Abu Sufyan, tetapi
dia tetap menyembunyikan kelemahannya, padahal sebenarnya sudah merasa
takut.
Tatkala
Abu Sufyan bersama-sama berangkat dari Ar-Rauhaa’ hendak melanjutkan perjalanan
pulang ke Makkah, ia bertemu dengan satu rombongan bangsa Arab dari suku
Abdul-Qais yang akan berangkat ke Madinah. Abu Sufyan masih juga menunjukkan
kesombongannya. Dikala itu ia berpesan kepada rombongan itu supaya menyampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW, bahwa kaum Quraisy sudah mengumpulkan kekuatan bala
tentaranya akan kembali ke Madinah, dan sebentar lagi tentu datang ke Madinah
untuk menyerang dan mengikis habis para pengikut Muhammad. Pesan Abu Sufyan ini
oleh mereka disampaikan kepada Nabi SAW di Hamraul-Asad.
Nabi
SAW setelah menerima berita yang sedemikian itu hanya menjawab dengan ucapan
:
حَسْبُنَا
اللهُ وَ نِعْمَ اْلوَكِيْلُ
“Cukuplah
Allah bagi kami, dan Dia sebaik-baik yang diserahi”.
Setelah
mendengar berita itu, Nabi SAW tidak percaya, karena kebiasaan mereka jika akan
mengadakan serangan terhadap musuh tidak memberitahukan lebih dulu dan tidak
berbuat yang seperti itu. Nabi SAW bersama tentaranya tetap tidak akan menyerang
mereka, tetapi hanya akan mempertahankan saja dan terus siap sedia untuk
menghadapi segala kemungkinan di Hamraul-Asad. Tiga hari tiga malam Nabi SAW
berada di Hamraul-Asad, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu. Adapun Ma’bad dikala
itu lalu menyuruh seorang dari penduduknya yang berjalan bersama dia supaya
segera ke Hamraul-Asad untuk memberitahukan kepada Nabi SAW bahwa Abu Sufyan
beserta tentaranya telah meneruskan perjalanan pulang ke
Makkah.
Abu
Sufyan terus ke Makkah, karena sudah mendapat berita-berita yang menyatakan
bahwa Nabi beserta tentaranya terus-menerus menanti kedatangan mereka, dan
timbul ketakutan kalau-kalau Nabi meneruskan pengejarannya kepada mereka, karena
berita yang disampaikan oleh Ma’bad sudah sangat menakutkan baginya. Rupanya Abu
Sufyan yakin, bahwa Muhammad benar-benar keluar dari Madinah dengan membawa bala
bantuan yang baru dan barisan tentara yang tidak sedikit jumlahnya, yang tentu
saja amat sukar dikalahkan, bahkan mungkin mereka dapat mengalahkan bala tentara
Quraisy.
3.
Nabi SAW beserta tentara muslimin kembali ke Madinah
Setelah
tiga hari tiga malam Nabi SAW beserta tentara muslimin berada di Hamraul-Asad,
sedang fihak musuh yang dinanti-nanti tidak pula datang, bahkan sudah kembali ke
Makkah, maka waktu itu beliau memerintahkan supaya tentaranya bersiap-siap untuk
kembali ke Madinah.
Menurut
riwayat, sebelum tentara muslimin kembali ke Madinah, maka pada hari itu
tertangkaplah di Hamraul-Asad seorang pemuka Quraisy, yaitu Abu ’Izzah, yang
sengaja disuruh oleh kaum Quraisy untuk menyelidiki keadaan tentara kaum
muslimin.
Abu
‘Izzah (Amr bin Abdullah), pernah ditawan oleh tentara muslimin di Badr.
Akhirnya dengan permintaannya sendiri kepada Nabi SAW lantaran tidak dapat
membayar uang tebusan atas dirinya, ia berjanji tidak akan mengulangi
perbuatannya, tidak akan memusuhi Islam dan kaum muslimin, maka dia diampuni dan
dilepaskan oleh Nabi tanpa tebusan. Kemudian ia kembali ke Makkah. Tetapi
sesampainya di Makkah, ia mengulangi perbuatan kejinya, ia memperolok-olok dan
mengejek Islam dengan syi’ir-syi’irnya yang tajam. Tentang kelakuan yang keji
dan jahat itu Nabi SAW telah mengetahui semuanya. Maka setelah ia ditangkap oleh
salah seorang tentara Islam di Hamraul-Asad (menurut riwayat oleh ‘Ashim bin
Tsabit) dan telah dihadapkan pada Nabi, maka beliau memutuskan untuk dihukum
bunuh”.
Setelah
dia mendengar keputusan yang demikian, ia lalu mohon ampun dan menangis di
hadapan Nabi SAW dan berkata lagi seperti yang sudah-sudah, yaitu tidak akan
memusuhi Islam. Tetapi semua permohonannya beliau tolak, dengan sabdanya
:
لاَ،
وَ اللهِ، لاَ تَمْسَحْ عَارِضَيْكَ بِمَكَّةَ تَقُوْلُ: خَدَعْتُ مُحَمَّدًا
(سَحَرْتُ مُحَمَّدًا) مَرَّتَيْنِ. لاَ يُلْدَغُ اْلمُؤْمِنُ مِنْ حُجْرٍ
مَرَّتَيْنِ. اِضْرِبْ عُنُقَهُ يَا عَاصِمُ.
“Tidak,
demi Allah, jangan sampai kamu mengusap kedua jambangmu di Makkah”. Kamu
berkata, “Aku telah menipu Muhammad (mensihir Muhammad) hingga dua kali. Seorang
yang beriman tidaklah akan terjerembab dalam suatu lobang sampai dua
kali”.
Lalu Nabi SAW bersabda, “Penggallah lehernya, hai
‘Ashim”.
Dengan
perintah tersebut, seketika itu leher Abu ‘Izzah dipenggal oleh ’Ashim bin
Tsabit, dan matilah ia.
Dan
juga ketika itu diantara tentara muslimin dapat menangkap seorang pemuda
Quraisy, bernama Mu’awiyah bin Mughirah, seorang yang terkenal perintang dan
penentang Islam. Dikala itu oleh Nabi SAW ia diputuskan juga supaya dibunuh.
Tetapi karena ia masih keluarga dekat dengan shahabat Utsman bin ‘Affan, maka ia dimintakan keamanan kepada Nabi SAW dan oleh beliau permintaan
shahabat ‘Utsman itu dikabulkan, dengan syarat tidak boleh melarikan diri. Kalau
ia melarikan diri dan dapat ditangkap kembali, pasti
dibunuh.
Pada
hari keempat, ketika Nabi SAW dan tentaraa muslimin kembali ke Madinah,
Mu’awiyah bin Mughirah melarikan diri, maka seketika itu beliau memerintahkan
dua orang shahabat yaitu Zaid bin Haritsah dan ‘Ammar bin Yasir supaya
mengejarnya sampai dapat tertangkap. Ketika itu beliau berpesan kepada dua
shahabat tersebut, supaya mengejarnya di tempat ini dan ini. Kalau sudah dapat
ditangkap supaya dipenggal lehernya.
Tatkala
dua orang shahabat Nabi itu mendengar bahwa Mu’awiyah berada di tempat
sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Nabi, dan terbukti bahwa ia berada di
dusun tersebut, seketika itu ia dapat dikejar dan akhirnya dipanah. Dengan
demikian matilah Mu’awiyah bin Mughirah.
Nabi
SAW dan tentaranya setelah mengetahui, bahwa kaum musyrikin Quraisy yang dikejar
sudah kembali ke Makkah, maka Nabi SAW dan kaum muslimin akhirnya kembali ke
Madinah. Dan sekalipun pertempuran dengan fihak musuh tidak terjadi, tetapi
peristiwa tersebut dalam sejarah Islam disebut perang
Hamraul-Asad.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak