Ahad, 27 September 1998/07
Jumadil Akhir 1419 Brosur No. :
850/890/IF
5.
Apa Saja yang Membawa Kepada yang Haram adalah Haram
Salah
satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah : Apabila Islam telah
mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada
perbuatan haram, hukumnya adalah haram.
Oleh
karena itu, jika Islam mengharamkan zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan
apasaja yang dapat membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga.
Misalnya, dengan berdua-duaan, pergaulan bebas, foto-foto telanjang dan lain
sebagainya.
Dari
sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah : Apasaja yang membawa
kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.
Kaidah
ini menunjukkan bahwa dosa perbuatan haram tidak hanya terbatas pada pribadi si
pelakunya itu saja, tetapi termasuk semua orang yang bersekutu/membantu dengan
dia, baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan
keterlibatannya. Misalnya tentang arak, Rasulullah SAW melaknat kepada yang
meminumnya, yang membuatnya, yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya
dan seterusnya.
Di
dalam hadits disebutkan :
لَعَنَ
النَّبِيُّ ص فِى اْلخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا وَ مُعْتَصِرَهَا وَ شَارِبَهَا
وَ حَامِلَهَا وَ اْلحَمُوْلَةَ اِلَيْهِ وَ سَاقِيَهَا وَ بَائِعَهَا وَ آكِلَ
ثَمَنِهَا وَ اْلمُشْتَرِيَ لَهَا وَ اْلمُشْتَرَاةَ لَهَا.
Nabi
SAW melaknat tentang arak, sepuluh golongan : yang memerasnya, yang minta
diperaskannya, yang meminumnya, yang membawanya, yang minta dihantarinya, yang
menuangkannya, yang menjualnya, yang makan harganya, yang membelinya, yang minta
dibelikannya.
[HR Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Begitu
juga dalam soal riba, dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya,
penulisnya dan saksi-saksinya.
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص آكِلَ الرِّبَا، وَ مُوْكِلَهُ وَ
كَاتِبَهُ وَ شَاهِدَيْهِ وَ قَالَ: هُمْ سَوَآءٌ. مسلم
Dari
Jabir, ia berkata : Rasulullah SAW telah melaknat orang yang makan riba, yang
memberi makannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau bersabda : "Mereka itu
sama".
[HR. Muslim]
Begitulah,
maka semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram
juga. Dan semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat haram, maka dia
akan terlibat dalam dosanya juga.
6.
Bersiasat Terhadap yang Haram Hukumnya adalah Haram.
Sebagaimana
Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada haram
dengan cara-cara yang nampak, maka begitu juga Islam mengharamkan semua siasat
untuk berbuat haram dengan cara-cara yang tidak jelas (tidak
nampak).
Rasulullah
SAW pernah mencela orang-orang Yahudi yang membuat suatu siasat untuk
menghalalkan perbuatan yang dilarang (haram). Maka sabda beliau
:
لاَ
تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ اْليَهُوْدُ وَ تَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ
بِاَدْنَى اْلحِيَلِ. ابو عبد الله بن بطة باسناد جيد يصحح مثله
الترمذى
Janganlah
kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan kamu menganggap halal terhadap
larangan-larangan Allah walaupun dengan siasat yang paling kecil.
[HR. Abu Abdillah bin Baththah dengan sanad yang baik, Tirmidzi menshahihkannya
seperti itu, Ighaatsatul lahfan I : 348]
Salah
satu contoh, misalnya, orang-orang Yahudi dilarang mencari ikan di hari Sabtu,
kemudian mereka bersiasat untuk melanggar larangan ini dengan memasang perangkap
pada hari Jum'at supaya hari Sabtunya ikan-ikan bisa masuk dalam perangkap
tersebut, dan akan diambilnya nanti pada hari Ahad.
Cara
seperti ini dipandang halal oleh orang-orang yang memang bersiasat untuk
melanggar larangan itu, tetapi sebetulnya adalah suatu perbuatan haram, karena
motifnya sama-sama mencari ikan, baik dengan jalan bersiasat maupun cara
langsung.
Termasuk
siasat (hilah), yaitu menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain, dan merubah
bentuk, padahal intinya (bahannya) itu juga.
Oleh
karena itu siapapun yang membuat nama baru dengan niat bersiasat supaya dapat
makan riba, atau dengan niat supaya dapat minum arak, maka dosa riba dan arak
tetap mengenainya.
Untuk
itulah maka dalam hadits Nabi SAW disebutkan :
قَالَ
النَّبِيُّ ص: يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ
اسْمِهَا. النسائى 8:312
Nabi
SAW telah bersabda : "Diantara manusia dari ummatku akan meminum khamr, dengan
menamakannya nama yang lain".
[HR. Nasai, juz 8, hal. 312]
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص: لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا
بِغَيْرِ اسْمِهَا. ابن ماجه 2:1333
Rasulullah
SAW telah bersabda : "Sesungguhnya diantara manusia dari ummatku akan meminum
khamr dengan menamakannya nama yang lain".
[HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1333]
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص: قَاتَلَ اللهُ اْليَهُوْدَ اِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ
عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهَا جَمَلُوْهُ ثُمَّ بَاعُوْهُ فَاَكَلُوْا ثَمَنَهُ. متفق
عليه
Rasulullah
SAW telah bersabda : "Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya
Allah ketika mengharamkan lemak binatang atas mereka, mereka itu meleburnya
(mencairkannya), kemudian menjualnya dan memakan harganya (uang hasil penjualan
itu)".
[HR. Muttafaq 'alaih]
7.
Niat Baik Tidak Dapat Melepaskan yang Haram.
Islam
memandang baik terhadap setiap hal yang dapat mendorong untuk berbuat baik,
tujuan yang mulia dan niat yang bagus. Untuk itulah maka Nabi Muhammad SAW
bersabda :
اِنَّمَا
اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ اِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
البخارى
Sesungguhnya
semua amal itu tergantung dengan niat (ikhlash karena Allah), dan setiap orang
dinilai menurut niatnya.
[HR. Bukhari]
Niat
yang baik dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk berbhakti dan
taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu siapa yang makan dengan niat untuk
menjaga kelangsungan hidupnya dan menguatkan tubuhnya supaya dapat melaksanakan
kewajibannya untuk berkhidmat kepada Allah dan ummatnya, maka makan dan minumnya
itu dapat dinilai sebagai amal qurbah.
Begitu
juga, barangsiapa yang melepaskan syahwatnya kepada istrinya dengan niat untuk
mendapatkan anak, atau karena menjaga diri dari perbuatan makshiyat, maka
pelepasan syahwat tersebut dapat dinilai sebagai sesuatu yang berhak mendapat
pahala. Untuk itu pula Rasulullah SAW telah bersabda :
فِى
بِضْعِ اَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوْا: اَيَأْتِى اَحَدُنَا شَهْوَتَهُ يَا
رَسُوْلَ اللهِ وَ يَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا اَجْرٌ؟ قَالَ: اَلَيْسَ اِنْ وَضَعَهَا
فِى حَرَامٍ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذلِكَ اِذَا وَضَعَهَا فِى حَلاَلٍ كَانَ
لَهُ اَجْرٌ. متفق عليه
"Pada
kemaluan seseorang diantara kamu ada shadaqah". Para shahabat bertanya : "Apakah
seseorang dari kami melepaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala, ya Rasulullah
?". Nabi SAW menjawab : "Bukankah apabila dia melepaskan pada yang haram, dia
juga berdosa ?". Maka begitu pula apabila dia meletakkannya pada yang halal,
maka dia mendapatkan pahala".
[HR. Muttafaq 'alaih]
مَنْ
طَلَبَ الدُّنْيَا حَلاَلاً تَعَفُّفًا عَنِ اْلمَسْأَلَةِ وَسَعْيًا عَلَى
عِيَالِهِ وَ تَعَطُّفًا عَلَى جَارِهِ لَقِيَ اللهَ وَ وَجْهُهُ كَاْلقَمَرِ
لَيْلَةَ اْلبَدْرِ. الطبرانى
Barangsiapa
mencari rezqi yang halal dengan niat untuk menjaga diri supaya tidak
meminta-minta, dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, serta supaya dapat ikut
berbelas kasih membantu tetangganya, maka kelak dia akan bertemu Allah (di
akhirat) sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama.
[HR. Thabrani]
Adapun
masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan
itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama tidak dibenarkan oleh Islam, maka
selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk mencapai tujuan yang
terpuji. Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun
harus suci juga. Jadi setiap tujuan baik, harus dicapai dengan cara yang baik
pula.
Maka
barangsiapa mengumpulkan uang yang diperoleh dengan jalan riba, mencuri
(menjarah/merampok), makshiyat, judi dan sebagainya yang dapat dikategorikan
haram, dengan maksud untuk mendirikan masjid atau untuk terlaksananya
rencana-rencana yang baik lainnya, maka tujuan baiknya tidak akan menjadi
penolong baginya, sehingga dosa haramnya itu dihapus.
Demikianlah
seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabda
beliau :
اِنَّ
اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ اِلاَّ طَيِّبًا. وَ اِنَّ اللهَ اَمَرَ
اْلمُؤْمِنِيْنَ بِمَا اَمَرَ بِهِ اْلمُرْسَلِيْنَ. فَقَالَ: يايُّهَا الرُّسُلُ
كُلُوْا مِنَ الطَّيّبتِ وَ اعْمَلُوْا صَالِحًا، اِنّى بِمَا تَعْمَلُوْنَ
عَلِيْمٌ (المؤمنون:51). وَ: يايُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيّبتِ
مَا رَزَقْـنَاكُمْ (البقرة:172). ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ
اَشْعَثَ اَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ اِلَى السَّمَآءِ يَا رَبُّ، يَا رَبُّ وَ
مَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَ مَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَ مَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَ غُذِّيَ
بِاْلحَرَامِ فَاَنَّى يُسْتَجَابُ لِذلِكَ؟ مسلم و الترمذى
Sesungguhnya
Allah itu baik, Dia tidak mau menerima kecuali yang baik pula. Allah pun
memerintahkan kepada orang mukmin seperti halnya memerintahkan kepada para
Rasul. Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat (yang artinya) : "Hai para Rasul,
makanlah dari yang baik-baik (halal) dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Aku Maha Mengetahui apasaja yang kamu perbuat". (Al-Mukminun : 51) dan "Hai
orang-orang yang beriman, makanlah dari barang-barang yang baik yang telah Kami
berikan kepadamu". (Al-Baqarah 172). Kemudian beliau menyebutkan, ada seorang
laki-laki yang datang dari tempat yang jauh, rambutnya tidak terurus, penuh
dengan debu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa (Ya Tuhanku,
Ya Tuhanku), padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan
diberi makan dengan barang yang haram pula, maka bagaimana mungkin doanya itu
dikabulkan ?".
[HR. Muslim dan Tirmidzi]
Dan
sabdanya pula :
مَنْ
جَمَعَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ اَجْرٌ
وَ كَانَ اِصْرُهُ عَلَيْهِ. ابن خزيمة و ابن حبان و الحاكم
Barangsiapa
mengumpulkan harta dari jalan yang haram kemudian dia sedekahkan harta itu, sama
sekali dia tidak akan beroleh pahala, dan dosanya tetap akan menimpa
dia.
[HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim]
Dan
sabdanya pula :
لاَ
يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالاً حَرَامًا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ فَيُقْبَلَ مِنْهُ، وَ لاَ
يُنْفِقُ مِنْهُ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيْهِ وَ لاَ يَتْرُكُهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ اِلاَّ
كَانَ زَادَهُ اِلَى النَّارِ. اِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَمْحُو السَّيِّءَ
بِالسَّيِّئِ وَ لكِنْ يَمْحُو السَّيِّءَ بِاْلحَسَنِ. اِنَّ اْلخَبِيْثَ لاَ
يَمْحُو اْلخَبِيْثَ. احمد و غيره
Tidak
seorang pun yang bekerja untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan haram, kemudian
ia sedekahkan, akan diterima sedekahnya itu, dan tidak pula dia menginfaqkannya
akan memperoleh barakah, dan tidak pula ia tinggalkan di belakang punggungnya
(sesudah ia meninggal), melainkan sebagai perbekalan ke neraka. Sesungguhnya
Allah tidak akan menghapus kejahatan dengan kejahatan, tetapi menghapus
kejahatan dengan kebaikan. Sesungguhnya kejelekan tidaklah dapat menghapuskan
kejelekan.
[HR. Ahmad dan lainnya]
8.
Menjauhkan Diri Dari Syubhat Karena Takut Terlibat Dalam Haram
Salah
satu daripada rahmat Allah terhadap manusia, yaitu : Dia tidak membiarkan
manusia dalam kegelapan terhadap masalah halal dan haram, sehingga yang halal
dijelaakan dan yang haram juga dijelaskan. Firman-Nya :
وَ
قَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ. الانعام : 119
Dan
sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia larang atas
kamu.
[Al-An'aam : 119]
Masalah
halal yang sudah jelas, boleh dikerjakan. Dan soal haram yang sudah jelas, tidak
boleh dikerjakan selama masih dalam keadaan normal, tidak dalam keadaan
dlarurat.
Tetapi
di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara yang halal dan yang haram.
Persoalan tersebut dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang
tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi,
mungkin karena tasyabbuh (samar-samar) dan mungkin karena tidak jelasnya
jalan untuk mengetrapkan nash (dalil) yang ada terhadap suatu
peristiwa.
Terhadap
persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut wara' (suatu
sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat itu seorang
muslim menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian
dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.
Cara
semacam ini termasuk menutup jalan berbuat makshiyat. Dasar pokok dari prinsip
ini ialah sabda Nabi SAW yang mengatakan :
َاْلحَلاَلُ
بَيِّنٌ وَ اْلحَرَامُ بَيِّنٌ وَ بَيْنَ ذلِكَ اُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَدْرِى
كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ اَمِنَ اْلحَلاَلِ هِيَ
اَمِ اْلحَرَامِ؟ فَمَنْ تَرَكَهَا اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ
فَقَدْ سَلِمَ. وَ مَنْ وَاقَعَ شَيْئًا مِنْهَا يُوْشِكُ اَنْ يُوَاقِعَ
اْلحَرَامَ. كَمَا اَنَّ مَنْ يَرْعَى حَوْلَ اْلحِمَى اَوْشَكَ اَنْ يُوَاقِعَهُ.
اَلاَ وَ اِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، اَلاَ وِ اِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ.
البخارى و مسلم و الترمذى و اللفظ له
Yang
halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, diantara keduanya itu ada
beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak tahu,
apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram. Maka barangsiapa yang
menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan
selamat. Dan barangsiapa mengerjakan sesuatu daripadanya hampir-hampir ia akan
jatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar
daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh padanya. Ingatlah, bahwa tiap-tiap
raja mempunyai daerah larangan. Ingatlah bahwa daerah larangan Allah itu ialah
semua yang diharamkan.
[HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi, dan ini adalah lafadh
Tirmidzi]
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak