Ahad, 18 Oktober 1998/27 Jumadil
Akhir 1419 Brosur No. :
953/993/IA
9.
Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang
Haram
dalam syariat Islam berlaku untuk semua orang. Oleh karena itu tidak ada sesuatu
yang diharamkan untuk selain orang Arab (ajam) tetapi halal untuk orang Arab.
Tidak ada sesuatu yang dilarang untuk orang kulit hitam, tetapi halal buat orang
kulit putih. Tidak ada sesuatu perlakuan khusus yang diberikan kepada suatu
tingkatan atau suatu golongan manusia, yang dengannya mereka bisa berbuat jahat
yang dikendalikan oleh hawa nafsunya. Bahkan tidak seorang muslim pun yang
mempunyai keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu hukum haram itu
untuk orang lain, tetapi halal buat dirinya sendiri.
Sekali-kali
tidak ! Allah adalah Tuhannya semua orang, syari'at-Nya pun untuk semua orang.
Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapan undang-undang-Nya, berarti halal
untuk segenap ummat manusia. Dan apasaja yang diharamkan, haram juga untuk
seluruh manusia. Hal ini berlaku sampai hari qiyamat. Misalnya; mencuri,
hukumnya adalah haram, baik se pelakunya itu seorang muslim ataupun bukan orang
Islam, baik yang dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang lain. Hukumnya
pun berlaku untuk setiap pencuri, betapapun keturunan dan kedudukannya.
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW dan yang
dikumandangkannya.
Pernah
terjadi suatu peristiwa, seorang wanita bangsawan suku Makhzum mencuri, sehingga
dikenai hukuman potong tangan. Kemudian keluarganya menemui Usamah bin Zaid
kecintaan Rasulullah SAW supaya memohon kepada Rasulullah SAW agar beliau SAW
membebaskan wanita pencuri itu dari hukuman potong tangan. Setelah Usamah
menyampaikan hal itu kepada beliau, maka dengan marah beliau bersabda
:
اَتَشْفَعُ
فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ؟ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ فَقَالَ: اَيُّهَا
النَّاسُ اِنَّمَا اَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ اَنَّهُمْ كَانُوْا اِذَا سَرَقَ
فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَ اِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ اَقَامُوْا
عَلَيْهِ اْلحَدَّ. وَ اَيْمُ اللهِ ! لَوْ اَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ
سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا. البخارى و مسلم
"Apakah
kamu hendak memintakan pembebasan dari hukum Allah ?". Kemudian beliau berdiri
dan berkhutbah, maka sabdanya : "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya yang
menghancurkan orang-orang sebelum kalian, bahwa mereka apabila ada orang yang
mencuri dari kalangan bangsawan, mereka tidak menghukumnya. Sedangkan jika yang
mencuri itu kaum bawahan, lalu hukum ditegakkan. Demi Allah, seandainya Fathimah
binti Muhammad mencuri, tentu aku potong tangannya".
[HR. Bukhari dan Muslim, dan lafadh ini bagi Muslim, juz 3, hal.
1315]
Dan
juga pernah terjadi suatu peristiwa pencurian yang dilakukan oleh seorang Islam.
Tetapi pada waktu itu belum jelas pencurinya, apakah orang Yahudi ataukah orang
Muslim. Kemudian salah satu keluarganya yang Islam melepaskan tuduhan kepada
seorang Yahudi dengan beberapa data yang dibuatnya dan berusaha untuk
mengelakkan tuduhan terhadap keluarganya yang beragama Islam itu, padahal dialah
pencurinya. Dan dia bermaksud untuk mengadukan hal tersebut kepada Nabi SAW
dengan suatu keyakinan, bahwa dia akan dapat bebas dari segala tuduhan dan
hukuman. Maka waktu itu turunlah ayat yang menyingkap kejahatan ini dan
membebaskan orang Yahudi tersebut dari segala tuduhan. Dan Rasulullah SAW
mencela orang Islam tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya. Wahyu
Allah tersebut sebagai berikut :
اِنَّآ
اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ اْلكِتبَ بِاْلحَقّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرـكَ
اللهُ، وَ لاَ تَكُنْ لِلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا. وَ اسْتَغْفِرِ اللهَ، اِنَّ
اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا. وَ لاَ تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ
اَنْفُسَهُمْ، اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا اَثِيْمًا.
يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَّاسِ وَ لاَ يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللهِ وَ هُوَ مَعَهُمْ
اِذْ يُـبَـيّـتُوْنَ مَا لاَ يَرْضى مِنَ اْلقَوْلِ وَ كَانَ اللهُ بِمَا
يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا. هاَنـْتُمْ هؤُلآَءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِى اْلحَيوةِ
الدُّنْيَا، فَمَنْ يُجَادِلُ اللهَ عَنْهُمْ يَوْمَ اْلقِيمَةِ اَمْ مَنْ
يَّكُوْنُ عَلَيْهِمْ وَكِيْلاً. النسآء:105-109
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepadamu Kitab dengan benar, supaya kamu menghukum
diantara manusia dengan (faham) yang Allah beritahukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat. Dan minta ampunlah kepada Allah,
karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu
membela orang-orang yang mengkhianati dirinya itu, karena sesungguhnya Allah
tidak suka kepada orang-orang yang berkhianat dan berbuat dosa. Mereka
bersembunyi dari manusia, tetapi tidak bersembunyi dari Allah, padahal Dia
selalu bersama mereka ketika mereka mengatur siasatnya itu di waktu malam, yaitu
sesuatu yang tidak diridlai dari perkataan itu, dan Allah Maha Meliputi semua
apa yang mereka perbuat. Beginilah kamu ! Kamu ini adalah orang-orang yang
membela mereka di dalam kehidupan dunia ini, maka siapakah yang akan membela
mereka dari hukuman Allah kelak di hari qiyamat ? Atau siapakah yang akan
melindungi mereka (terhadap siksa Allah ?".
[An-Nisaa' : 105-109]
Ayat-ayat
diatas diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia
menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui
perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu adalah orang
Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi SAW dan mereka
meminta agar Nabi SAW membela Thu'mah dan menghukum orang Yahudi, kendatipun
mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah. Nabi SAW sendiri
hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap si
Yahudi.
Demikianlah
bahwa agama Allah itu pada hakekatnya tidak membeda-bedakan antara suatu kaum
terhadap kaum lain dan melarang berbuat khianat melalui lidah setiap
Rasul-Nya.
Namun
sebagian orang-orang Yahudi berdusta atas nama Allah dengan menganggap bahwa
riba itu hanya haram untuk orang Yahudi jika berhutang kepada sesama Yahudi.
Tetapi jika berhutang kepada selain Yahudi tudaklah
terlarang.
Sifat
mereka yang seperti itu diceritakan juga oleh Al-Qur'an, dimana mereka
membolehkan berbuat khianat terhadap orang lain, dan hal semacam itu menurut
pandangan mereka tidak salah dan tidak berdosa. Al-Qur'an mengatakan
:
وَ
مِنْ اَهْلِ اْلكِتبِ مَنْ اِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُّؤَدّه اِلَيْكَ وَ
مِنْهُمْ مَّنْ اِنْ تَأْمَنْهُ بِدِيْنَارٍ لاَّ يُؤَدّه اِلَيْكَ اِلاَّ مَا
دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا، ذلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْا لَيْسَ عَلَيْنَا فِى
اْلاُمّـيّنَ سَبِيْلٌ، وَ يَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ اْلكَذِبَ وَ هُمْ
يَعْلَمُوْنَ. ال عمران:75
Diantara
Ahli Kitab ada orang yang apabila kamu mempercayakan kepadanya harta yang
banyak, dikembalikannya kepadamu, dan diantara mereka ada yang yang jika kamu
mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika
kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan : "Tidak
ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi". Mereka berkata dusta terhadap
Allah, padahal mereka mengetahui.
[Ali Imran : 75]
10.
Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang.
Islam
mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian soal haram itu diperkeras dan
tertutup semua jalan yang mungkin akan membawa kepada yang haram itu, baik
dengan terang-terangan maupun dengan
sembunyi-sembunyi. Maka setiap yang akan membawa kepada haram, hukumnya haram,
dan yang membantu untuk berbuat haram, hukumnya juga haram, dan setiap siasat
untuk berbuat haram, hukumnya haram. Begitulah seterusnya seperti yang telah
kami sebutkan terdahulu dalam penjelasan tentang hal ini.
Akan
tetapi Islam tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan
manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu seorang muslim
dalam keadaan yang sangat terpaksa diperkenankan terhadap yang haram karena
dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan.
Oleh
karena itu Allah mengatakan, sesudah menyebut satu persatu makanan yang
diharamkan, seperti : bangkai, darah dan babi :
فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّ لاَ عَادٍ فَلاَ اِثْمَ عَلَيْهِ، اِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ
رَّحِيْمٌ. البقرة:173
Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[Al-Baqarah 173]
Yang
semakna dengan ini diulang dalam empat surat ketika menyebut masalah
makanan-makanan yang haram.
Dari
ayat-ayat ini dan nash-nash lainnya, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip
yang sangat berharga sekali, yaitu : "Keadaan terpaksa membolehkan yang
terlarang".
Tetapi
ayat-ayat itupun tetap memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya (orang
yang disebut dalam keadaan terpaksa) itu, yaitu dengan kata-kata Ghaira
baaghin walaa 'aadin (tidak ingin dan tidak melewati
batas).
Ini
dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya : tidak
sengaja untuk mencari kelezatan. Dan perkataan tidak melewati batas itu
maksudnya : tidak melewati batas ketentuan hukum.
Dari
ikatan ini, para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula, yaitu :
(Dlarurat itu dikira-kirakan menurut ukurannya). Oleh karena itu, setiap manusia
sekalipun dia boleh tunduk kepada keadaan dlarurat, tetapi dia tidak boleh
menyerah begitu saja kepada keadaan tersebut dan tidak boleh menjatuhkan dirinya
kepada keadaan dharurat itu. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada
pangkal halal dengan terus berusaha mencarinya. Sehingga dengan demikian dia
tidak akan tersentuh dengan yang haram atau mempermudah
dharurat.
Islam,
dengan memberikan perkenan untuk melakukan yang dilarang ketika dlarurat itu,
hanyalah merupakan penyaluran jiwa keuniversalan Islam itu, dan kaidah-kaidahnya
yang bersifat menyeluruh. Dan ini adalah merupakan jiwa kemudahan Islam yang
tidak dicampuri oleh kesukaran seperti cara yang dilakukan oleh ummat-ummat
dahulu.
Oleh
karena itu benarlah apa yang dikatakan Allah dalam firman-Nya
:
يُرِيْدُ
اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَ لاَ يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ. البقرة:185
Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.
[Al-Baqarah : 185]
مَا
يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مّنْ حَرَجٍ وَّ لكِنْ يُّرِيْدُ
لِيُطَهّرَكُمْ وَلِـيُـتِمَّ نِعْمَتَه عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ.
المائدة:6
Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur.
يُرِيْدُ
اللهُ اَنْ يُّخَفّفَ عَنْكُمْ وَ خُلِقَ اْلاِنْسَانُ ضَعِيْفًا.
النسآء:28
Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah.
[An-Nisaa' : 28]
11.
Keadaan dlarurat dan pengecualiannya.
Friman
Allah :
وَ
قَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ.
الانعام:119
Dan
Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.
[Al-An'aam : 119]
Dan
di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan
sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan : "Barangsiapa terpaksa
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa
atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
[Al-Baqarah : 173]
Dlarurat
yang sudah disepakati oleh semua ulama yaitu dlarurat dalam masalah makanan,
karena ditahan oleh kelaparan. Jadi seorang yang dalam keadaan terpaksa sedang
dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu
itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan dlarurat itu dan guna
menjaga diri dari bahaya.
Perkataan
Ghaira baaghin maksudnya : Tidak mencari-cari alasan karena untuk
memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan walaa
'aadin, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya dengan tegas
:
فَمَنِ
اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ ِلاِثْمٍ فَاِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ
رَّحِيْمٌ. المائدة:3
Maka
barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[Al-Maidah : 3]
12 Perseorangan tidak boleh dianggap dlarurat
kalau dia berada dalam masyarakat yang di situ ada sesuatu yang dapat mengatasi
keterpak-saannya itu.
Tidak
termasuk dlarurat karena seseorang tidak mempunyai makanan, bahkan tidak
termasuk dlarurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila
di masyarakat itu ada orang, muslim yang masih mempunyai makanan yang kiranya
dapat untuk mengatasi keterpaksaannya itu. Karena prinsip masyarakat Islam
adalah harus ada perasaan saling bertanggung-jawab dan saling bantu-membantu dan
bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling
kuat-menguatkan.
Salah
satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap
masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm :
"Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan
bangkai atau babi, sedangkan dia masih bisa mendapatkan makanan dari kelebihan
kawannya yang muslim ataupun kafir dzimmi. Karena suatu kewajiban yang harus
ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut
kepada saudaranya yang sedang kelaparan.
Jika
betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh
makan bangkai dan babi. Dan apabila orang yang punya itu tidak mau menolongnya,
maka dia boleh memerangi dalam keadaan seperti itu. Jika dia terbunuh dalam
persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qishash, dan jika yang
menahan hartanya sampai terbunuh, maka dia akan mendapatkan laknat dari Allah,
karena dia menahan hak orang lain. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat
(orang-orang yang dhalim). Seperti firman Allah :
فَاِنْ
بَغَتْ اِحْدـهُمَا عَلَى اْلاُخْرى فَقَاتِلُوا الَّتِى تَبْغِى حَتّى تَفِيْءَ
اِلى اَمْرِ اللهِ.
Jika
salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,
maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga kembali kepada
perintah Allah.
[Al-Hujurat : 9]
Orang
yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang yang berbuat jahat kepada
saudaranya yang mempunyai hak. Oleh karena itu Abu Bakar Ash-Shiddiq memerangi
orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. [Al-Muhalla, Ibnu Hazm juz 6, hal
159]
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak