Ahad,
13 Mei 2001/19 Shafar 1422
Brosur no. : 1086/1126/IF
Tentang
IIaa’
Ilaa’
menurut bahasa ialah sumpah. Adapun menurut istilah syara’ ialah suami bersumpah
untuk tidak mencampuri istrinya. Kalau seorang suami bersumpah demikian, ia
diberi tempo selama empat bulan. Setelah usai empat bulan, ia supaya memilih
apakah akan meneruskan pernikahannya dengan membayar kaffarat, atau menthalaq
istrinya tersebut. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut
:
لِلَّذِيْنَ
يُؤْلُوْنَ مِنْ نّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍ، فَاِنْ فَآءُوْ
فَاِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ.(226) وَ اِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَاِنَّ اللهَ
سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ.(227) البقرة
Kepada
orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (226)
Dan
jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) thalaq, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (227)
[QS. Al-Baqarah]
عَنِ
الشَّعْبِيّ عَنْ مَسْرُوْقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: آلَى رَسُوْلُ اللهِ ص مِنْ
نِسَائِهِ وَ حَرَّمَ، فَجَعَلَ اْلحَرَامَ حَلاَلاً وَ جَعَلَ فِى اْليَمِيْنِ
اْلكَفَّارَةَ. ابن ماجه و الترمذى
Dari
Sya’biy, dari Masruq dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah bersumpah
ilaa’ terhadap sebagian istri-istrinya dan beliau pernah mengharamkan (sesuatu),
lalu yang beliau haramkan itu beliau jadikan halal dengan membayar kaffarat atas
sumpahnya”.
[HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi]
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: اِذَا مَضَتْ اَرْبَعَةُ اَشْهُرٍ يُوْقَفُ حَتَّى يُطَلّقَ،
وَ لاَ يَقَعُ عَلَيْهِ الطَّلاَقُ حَتَّى يُطَلّقَ، يَعْنِى اَلْمُوْلِى.
البخارى
Dari
Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Apabila telah lewat empat bulan, maka ditawaqqufkan
hingga (suami yang bersumpah ilaa’ itu) menthalaqnya, dan thalaq itu tidak jatuh
hingga ia (suami yang bersumpah ilaa’) itu menjatuhkan thalaqnya.
[HR. Bukhari]
قَالَ
اَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِى رِوَايَةِ اَبِى طَالِبٍ، قَالَ عُمَرُ وَ عُثْمَانُ وَ
عَلِيٌّ وَ ابْنُ عُمَرَ: يُوْقَفُ اْلمُوْلِى بَعْدَ اْلاَرْبَعَةِ فَاِمَّا اَنْ
يَفِيْءَ وَ اِمَّا اَنْ يُطَلّقَ. احمد فى نيل الاوطار 6:287
Ahmad
bin Hanbal berkata dalam riwayatnya Abu Thalib : ‘Umar, ‘Utsman, Ali dan Ibnu
‘Umar berkata, “Orang yang bersumpah ilaa’ itu ditawaqqufkan sesudah empat
bulan, maka mungkin ia kembali dan mungkin ia menthalaq”.
[HR. Ahmad. dalam Nailul Authar 6:287]
Keterangan
:
1. Menurut riwayat Muslim, Rasulullah SAW pernah
meng-ilaa’ istri-istri beliau (menjauhkan diri dari istri-istri beliau) selama 1
bulan (29 hari).
2. Perlu diketahui bahwa di jaman jahiliyah suami
kadang meng-ilaa’ istrinya sampai 1 atau 2 tahun, bahkan tidak terbatas. Maka
Allah Yang Maha Bijaksana mengijinkan (membatasi) ilaa’ itu hanya 4
bulan.
Tentang
Dhihar.
Dhihar
terambil dari kata dhahrun (punggung). Di jaman jahiliyah, apabila suami
mengatakan kepada istrinya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku”, maka yang
demikian itu sudah dianggap sama dengan menthalaq istrinya. Tentang hal ini
Allah SWT menurunkan firman-Nya sebagai berikut :
قَدْ
سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَ تَشْتَكِيْ اِلَى
اللهِ وَ اللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا، اِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ.
المجادلة:1
Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal
jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat
(1).
الَّذِيْنَ
يُظهِرُوْنَ مِنْكُمْ مّنْ نّسَآئِهِمْ مَّا هُنَّ اُمَّهتِهِمْ، اِنْ اُمَّهتُهُمْ
اِلاَّ الّئِيْ وَلَدْنَهُمْ، وَ اِنَّهُمْ لَيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًا مّنَ
اْلقَوْلِ وَزُوْرًا، وَ اِنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ. .
المجادلة:2
Orang-orang
yang mendzihar istrinya diantara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya,
padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun (2).
وَ
الَّذِيْنَ يُظهِرُوْنَ مِنْ نّسَآئِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مّنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَآسَّا، ذلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِه،
وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ. . المجادلة:3
Dan
orang-orang yang mendhihar istri-istri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (3)
فَمَنْ
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَآسَّا،
فَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا، ذلِكَ لِتُؤْمِنُوْا
بِاللهِ وَ رَسُوْلِه، وَ تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ، وَ لِلْكفِرِيْنَ عَذَابٌ
اَلِيْمٌ. المجادلة:4
Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah
atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir
ada siksa yang sangat pedih (4).
[QS. Al-Mujadalah]
Asbabun
Nuzul ayat ini sehubungan dengan persoalan seorang wanita yang bernama Khaulah
binti Tsa’labah yang telah didhihar suaminya (Aus bin Shamit), yaitu dengan
mengatakan kepada istrinya, “Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”.
Dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli istrinya, sebagaimana ia tidak
boleh menggauli ibunya. Menurut adat jahiliyah, kalimat dhihar seperti itu sudah
sama dengan menthalaq istrinya. Maka Khaulah mengadukan peristiwa yang
dialaminya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah dalam hal ini menjawab bahwa belum
ada keputusan dari Allah.
Dan
dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW mengatakan, “Engkau telah diharamkan
bersetubuh dengan dia”. Lalu Khaulah berkata, “Suamiku belum menyebut
kata-kata thalaq”. Kemudian Khaulah berulang-ulang mendesak kepada
Rasulullah supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga turunlah
ayat diatas.
عَنْ
عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِيَّ ص قَدْ ظَاهَرَ
مِنِ امْرَأَتِهِ، فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى
ظَاهَرْتُ امْرَأَتِى فَوَقَعْتُ عَلَيْهَا قَبْلَ اَنْ اُكَفِّرَ، فَقَالَ: مَا
حَمَلَكَ عَلَى ذلِكَ؟ يَرْحَمُكَ اللهُ. قَالَ: رَأَيْتُ خَلْخَالَهَا فِى ضَوْءِ
اْلقَمَرِ. قَالَ: فَلاَ تَقْرَبَهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا اَمَرَكَ اللهُ. الخمسة
الا احمد وصححه الترمذى
Dari
‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki datang
kepada Nabi SAW (menerangkan bahwa) ia telah mendhihar istrinya, lalu ia
mencampurinya. Kemudian ia bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah
mendhihar istriku, lalu aku mencampurinya sebelum aku membayar kafarat (maka
apakah yang harus aku lakukan) ?”. Nabi SAW bertanya, “Semoga Allah merahmatimu.
Apakah yang mendorongmu berbuat demikian itu ?”. Ia menjawab, “Aku melihat
gelang kakinya dalam sinar bulan”. Nabi SAW bersabda, “Hendaklah engkau tidak
mendekatinya sehingga engkau laksanakan apa yang diperintahkan Allah
kepadamu”.
[HR. Khamsah kecuali Ahmad dan dishahihkan oleh Tirmidzi]
عَنْ
اَبِى سَلَمَةَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اَعْطَاهُ مِكْتَلاً
فِيْهِ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا فَقَالَ: اَطْعِمْهُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا، وَ
ذلِكَ لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ. الدارقطنى و للترمذى معناه
Dari
Abu Salamah dari Salamah bin Shakhr, bahwa sesungguhnya Nabi SAW memberinya
seonggok (kurma) yang berisikan lima belas sha’, lalu ia bersabda, “Berikanlah
kepada enam puluh orang miskin dan untuk setiap orang satu mud”.
[HR. Daruquthni, dan Tirmidzi meriwayatkan yang semakna dengan
itu]
Tentang
Li’an
Li’an
menurut bahasa artinya saling melaknat. Adapun menurut syara’ adalah : Apabila
suami menuduh istri berbuat zina atau tidak mengakui anak yang dilahirkan itu
sebagai anaknya sedangkan dia tidak mempunyai empat orang saksi dalam tuduhannya
itu, maka masing-masing (suami-istri) harus bersumpah sebagaimana yang Allah
jelaskan dalam QS. An-Nuur ayat 6-9 sebagai berikut :
وَ
الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَآءُ اِلاَّ
اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهدتٍ بِاللهِ اِنَّه لَمِنَ
الصّدِقِيْنَ. وَ اْلخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَتَ اللهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ
اْلكذِبِيْنَ. النور:6-7
Dan
orang-orang yang menuduh isrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang
yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta.
[QS. An-Nuur : 6-7]
وَ
يَدْرَؤُا عَنْهَا اْلعَذَابَ اَنْ تَشْهَدَ اَرْبَعَ شَهدتٍ بِاللهِ اِنَّه لَمِنَ
اْلكذِبِيْنَ. وَ اْلخَامِسَةَ اَنَّ عَذَابَ اللهِ عَلَيْهَا اِنْ كَانَ مِنَ
الصّدِقِيْنَ. النور:8-9
Dan
istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah,
sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan
(sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika suaminya itu termasuk
orang-orang yang benar.
[QS. An-Nuur : 8-9]
عَنْ
نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَجُلاً لاَعَنَ امْرَأَتَهُ وَ انْتَفَى مِنْ
وَلَدِهَا، فَفَرَّقَ رَسُوْلُ اللهِ ص بَيْنَهُمَا وَ اَلْحَقَ اْلوَلَدَ
بِاْلمَرْأَةِ. الجماعة
Dari
Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya ada seorang laki-laki yang menuduh istrinya
berzina lalu berbuat li’an dan ia tidak mengakui anak yang dilahirkan istrinya,
kemudian Rasulullah SAW memisahkan antara keduanya dan menghubungkan anak
tersebut kepada ibunya.
[HR. Jamaah].
عَنْ
سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ اَنَّهُ قَالَ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ: يَا اَبَا
عَبْدِ الرَّحْمنِ، اْلمُتَلاَعِنَانِ اَ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: سُبْحَانَ
اللهِ، نَعَمْ. اِنَّ اَوَّلَ مَنْ سَأَلَ عَنْ ذلِكَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ. قَالَ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَرَأَيْتَ لَوْ وَجَدَ اَحَدُنَا امْرَأَتَهُ عَلَى فَاحِشَةٍ
كَيْفَ يَصْنَعُ؟ اِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِاَمْرٍ عَظِيْمٍ. وَ اِنْ سَكَتَ
سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذلِكَ. قَالَ: فَسَكَتَ النَّبِيُّ ص، فَلَمْ يُجِبْهُ،
فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذلِكَ اَتَاهُ فَقَالَ: اِنَّ الَّذِى سَأَلْتُكَ عَنْهُ
ابْتُلِيْتُ بِهِ. فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ هذِهِ اْلايتِ فِى سُوْرَةِ
النُّوْرِ { وَ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ} فَتَلاَهُنَّ عَلَيْهِ وَ
وَعَظَهُ وَ ذَكَّرَهُ وَ اَخْبَرَهُ اَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا اَهْوَنُ مِنْ
عَذَابِ اْلآخِرَةِ، فَقَالَ: لاَ، وَ الَّذِى بَعَثَكَ بِاْلحَقِّ نَبِيًّا مَا
كَذَبْتُ عَلَيْهَا.ثُمَّ دَعَاهَا وَ وَعَظَهَا وَ اَخْبَرَهَا اَنَّ عَذَابَ
الدُّنْيَا اَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ اْلآخِرَةِ. فَقَالَ لاَ، وَ الَّذِى بَعَثَكَ
بِاْلحَقِّ نَبِيًّا اِنَّهُ لَكَاذِبٌ.
فَبَدَأَ بِالرَّجُلِ، فَشَهِدَ اَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ. اِنَّهُ لَمِنَ
الصَّادِقِيْنَ. وَ اْلخَامِسَةَ اَنَّ لَعْنَةَ اللهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ
اْلكَاذِبِيْنَ. ثُمَّ ثَنَى بِاْلمَرْأَةِ فَشَهِدَتْ اَرْبَعَ شَهَادَاتٍ
بِاللهِ. اِنَّهُ لَمِنَ اْلكَاذِبِيْنَ وَ اْلخَامِسَةَ اَنَّ غَضَبَ اللهِ
عَلَيْهَا اِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ. ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا. احمد و
البخارى و مسلم
Dari
Sa’id bin Jubair, bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar, “Hai Abu
Abdurrahman, apakah suami istri yang telah berli’an itu harus diceraikan antara
keduanya ?”. Ia menjawab, “Subhaanallaah, ya !. Sesungguhnya pertama kali orang
yang bertanya tentang hal itu adalah Fulan bin Fulan”. Ia bertanya, “Ya
Rasulullah, bagaimana pendapatmu kalau salah seorang di antara kami ini
mendapati istrinya berbuat zina, apakah yang harus ia lakukan ? Jika ia
berbicara berarti berbicara tentang urusan besar dan jika ia diam berarti ia
mendiamkan perkara besar juga”. Ibnu Umar berkata, “Kemudian Nabi SAW diam,
tidak menjawabnya”. Kemudian ia datang lagi kepada Nabi SAW lalu berkata,
“Sesungguhnya yang kutanyakan kepadamu itu menimpa diriku sendiri”. Lalu Allah
‘Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat dalam surat An-Nuur “Dan orang-orang yang
menuduh istri-istrinya (berzina) ....”. Kemudian Nabi SAW membacakan ayat-ayat
tersebut kepadanya dan menasehatinya serta mengingatkannya dan memberitahu,
bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat. Lalu orang itu
berkata, “Tidak ! Demi Dzat yang mengutusmu sebagai Nabi dengan benar, aku tidak
berdusta atas istriku”. Kemudian Nabi SAW memanggil istri orang itu seraya
menasehatinya dan memberitahu, bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada
adzab di akhirat. Perempuan itu kemudian berkata, “Tidak ! Demi Dzat yang
mengutusmu sebagai Nabi dengan benar, suamiku itu dusta”. Lalu Nabi SAW memulai
dari si laki-laki. Laki-laki itu bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa
dia sungguh di pihak yang benar, dan ke limanya semoga laknat Allah akan menimpa
dirinya jika ia berdusta. Lalu RasulullahSAW beralih kepada si wanita, kemudian
wanita itu bersaksi dengan nama Allah empat kali bahwa sesungguhnya suaminya itu
berdusta, dan kelimanya semoga murka Allah ditimpakan kepadanya jika suaminya
itu benar. Lalu beliau menceraikan keduanya.
[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
Catatan
:
Tentang
dhihar dan li’an ini, di depan sudah kami kemukakan, namun di sini perlu kami
ungkap kembali secara ringkas karena ada hubungannya dengan masalah
thalaq.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak