Ahad,
24 Juni 2001/02 Rabiul akhir 1422
Brosur no. : 1092/1132/IF
Nafqah
dan tempat tinggal bagi wanita yang beriddah thalaq raja’i.
وَ
لِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِاْلمَعْرُوْفِ، حَقًّا عَلَى اْلمُتَّقِيْنَ.
البقرة:241
Kepada
wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut
yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang taqwa.
[QS. Al-Baqarah : 241]
اَسْكِنُوْهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مّنْ وُّجْدِكُمْ وَ لاَ تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيّقُوْا
عَلَيْهِنَّ، وَ اِنْ كُنَّ اُولاَتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ، فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ، وَ
أْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍ، وَ اِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَه
اُخْرَى.(6) لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مّنْ سَعَتِه، وَ مَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُه
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا اتيهُ اللهُ، لاَ يُكَلّفُ اللهُ نَفْسًا اِلاَّ مَا اتيهَا،
سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا.(7) الطلاق
Tempatkanlah
mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (istri-istri yang sudah dithalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafqahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
(6)
Hendaklah
orang yang mampu memberi nafqah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezqinya hendaklah memberikan nafqah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
(7)
[QS. Ath-Thalaaq]
Nafqah
dan tempat tinggal bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.
وَ
الَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا وَّصِيَّةً
ِّلاَزْوَاجِهِمْ مَّتَاعًا اِلَى اْلحَوْلِ غَيْرَ اِخْرَاجٍ، فَاِنْ خَرَجْنَ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْ مَا فَعَلْنَ فِيْ اَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَّعْرُوْفٍ،
وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ. البقرة:240
Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri,
hendaklah berwashiyat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafqah hingga setahun
lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka
pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[QS. Al-Baqarah : 240]
عَنْ
فُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ قَالَتْ: خَرَجَ زَوْجِى فِى طَلَبِ اَعْلاَجٍ لَهُ
فَاَدْرَكَهُمْ فِى طَرَفِ اْلقُدُوْمِ فَقَتَلُوْهُ، فَاَتَانِى نَعْيُهُ وَ اَنَا
فِى دَارٍ شَاسِعَةٍ مِنْ دُوْرِ اَهْلِى، فَاَتَيْتُ النَّبِيَّ ص فَذَكَرْتُ
ذلِكَ لَهُ، فَقُلْتُ: اِنَّ نَعْيَ زَوْجِى اَتَانِى فِى دَارٍ شَاسِعَةٍ مِنْ
دُوْرِ اَهْلِى، وَ لَمْ يَدَعْ نَفَقَةً، وَ لاَ مَالاً وَرِثْتُهُ، وَ لَيْسَ
اْلمَسْكَنُ لَهُ، فَلَوْ تَحَوَّلْتُ اِلَى اَهْلِى وَ اِخْوَتِى لَكَانَ اَرْفَقَ
لِى فِى بَعْضِ شَأْنِى، قَالَ: تَحَوَّلِى. فَلَمَّا خَرَجْتُ اِلَى اْلمَسْجِدِ
اَوْ اِلَى اْلحُجْرَةِ دَعَانِى اَوْ اَمَرَبِى فَدُعِيْتُ، فَقَالَ: اُمْكُثِى
فِى بَيْتِكِ الَّذِى اَتَاكِ فِيْهِ نَعْيُ زَوْجِكِ، حَتَّى يَبْلُغَ اْلكِتَابُ
اَجَلَهُ، قَالَتْ: فَاعْتَدَدْتُ فِيْهِ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. الخمسة و
صححه الترمذى
Dari
Furai’ah binti Malik, dia berkata : Suamiku keluar mencari budak-budaknya (yang
melarikan diri), kemudian dia menemukan mereka di Tharaful Qudum, lalu mereka
membunuh suamiku. Maka sampailah berita kematiannya kepadaku, sedang aku berada
di sebuah rumah yang jauh dari rumah-rumah keluargaku. Kemudian aku datang
kepada Nabi SAW dan aku ceritakan hal itu kepada beliau. Aku berkata,
“Sesungguhnya berita kematian suamiku sampai kepadaku sedang aku berada di
sebuah rumah yang jauh dari rumah-rumah keluargaku, dan dia tidak meninggalkan
nafqah, harta warisan dan rumah. Maka kalau aku pindah ke rumah keluargaku dan
saudara-saudaraku tentu lebih baik bagiku untuk sebagian urusanku”. Nabi SAW
bersabda, “Pindahlah !”. Kemudian ketika aku telah keluar ke masjid atau ke
kamar, Nabi SAW memanggilku atau menyuruh seseorang untuk memanggilku, lalu aku
dipanggil, kemudian beliau bersabda, “Tetaplah tinggal di rumah dimana kamu
menerima berita kematian suamimu, sehingga habis masa iddahmu”. Furai’ah
berkata, Lalu aku pun ber’iddah di situ selama empat bulan sepuluh
hari”.
[HR. Khamsah dan dishahihkan Tirmidzi]
عَنْ
عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِى قَوْلِهِ { وَ الَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ
مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا وَّصِيَّةً ِّلاَزْوَاجِهِمْ مَّتَاعًا اِلَى
اْلحَوْلِ غَيْرَ اِخْرَاجٍ } نُسِخَ ذلِكَ بِآيَةِ اْلمِيْرَاثِ بِمَا فَرَضَ
اللهُ لَهَا مِنَ الرُّبُعِ وَ الثُّمُنِ، وَ نُسِخَ اَجَلُ اْلحَوْلِ اَنْ جُعِلَ
اَجَلُهَا اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. النسائى و ابو داود
Dari
‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah “Dan orang-orang yang akan
meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwashiyat untuk
istri-istrinya (yaitu) diberi nafqah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh
pindah dari rumahnya”. (QS. Al-Baqarah : 240). Bahwa ketentuan ini dinasikh oleh
ayatul miraats, yaitu bahwa Allah menentukan bagian istri yang ditinggal mati
itu seperempat atau seperdelapan bagian (dari harta warisan suami) dan masa
setahun itu (juga) dinasikh, yaitu masanya dijadikan empat bulan sepuluh
hari”.
[HR. Nasai dan Abu Dawud]
Keterangan
:
Dalam
memahami surat Al-Baqarah : 240 ini ulama ada dua pendapat. Pendapat pertama,
memahami sebagaimana riwayat ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas tersebut diatas. (Ini
bagi yang berpaham ada nasikh dan mansukh dalam
Al-Qur’an).
Pendapat
kedua (yang berpaham tidak ada nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an), memahami
bahwa bagi istri yang ditinggal mati oleh suami, tetap mendapatkan haq waris,
namun pemberian nafqah hingga setahun itu sifatnya hanya anjuran (sunnah),
karena setelah turun ayat 240 surat Al-Baqarah tersebut, kemudian turun ayat 234
surat Al-Baqarah yang menyatakan bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal mati
suaminya hanya empat bulan sepuluh hari.
Tentang
nafqah dan tempat tinggal bagi istri yang dithalaq tiga
عَنِ
الشَّعْبِيّ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ عَنِ النَّبِيّ ص فِى اْلمُطَلَّقَةِ
ثَلاَثًا، قَالَ: لَيْسَ لَهَا سُكْنَى وَ لاَ نَفَقَةَ. احمد و مسلم
Dari
Sya’biy dari Fathimah binti Qais dari Nabi SAW, tentang wanita yangt dithalaq
tiga, beliau SAW bersabda, “Tidak ada (haq) baginya tempat tinggal dan tidak ada
nafqah.
[HR. Ahmad dan Muslim]
و
فى رواية عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ: طَلَّقَنِى زَوْجِى ثَلاَثًا
فَلَمْ يَجْعَلْ لِى رَسُوْلُ اللهِ ص سُكْنَى وَ لاَ نَفَقَةَ. الجامعة الا
البخاري
Dan
dalam riwayat lain dari Fathimah binti Qais, ia berkata, “Aku dithalaq oleh
suamiku thalaq tiga, kemudian Rasulullah SAW tidak memberi (haq) bagiku tempat
tinggal dan tidak juga nafqah”.
[HR. Jama’ah kecuali Bukhari]
و
فى رواية عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ اَيْضًا قَالَتْ: طَلَّقَنِى زَوْجِى
ثَلاَثًا فَاَذِنَ لِى رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ اَعْتَدَّ فِى اَهْلِى.
مسلم
Dan
dalam riwayat lain dari Fathimah binti Qais juga, ia berkata, “Suamiku
menthalaqku thalaq tiga, kemudian Rasulullah SAW memberi idzin kepadaku
ber’iddah di (rumah) keluargaku”.
[HR. Muslim]
Tentang
Ruju’
وَ
اْلمُطَلَّقتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلثَةَ قُرُوْءٍ، وَ لاَ يَحِلُّ
لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ
يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ، وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدّهِنَّ
فِيْ ذلِكَ اِنْ اَرَادُوْا اِصْلاَحًا. البقرة:228
Wanita-wanita
yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki
ishlah.
[QS. Al-Baqarah : 228]
الطَّلاَقُ
مَرَّتنِ فَاِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ.
البقرة:229
Thalaq
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
[QS. Al-Baqarah 229]
وَ
اِذَا طَلَّقْتُمُ النّسَآءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ
بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرّحُوْهُنَّ بِمَعْرُْوفٍ، وَ لاَ تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا
لّتَعْتَدُوْا. البقرة:231
Apabila
kamu menthalaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir ‘iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,
karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. [QS.
Al-Baqarah 231]
عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رض اَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلّقُ ثُمَّ
يُرَاجِعُ وَ لاَ يُشْهِدُ. فَقَالَ: اَشْهِدْ عَلَى طَلاَقِهَا وَ عَلَى
رَجْعَتِهَا. ابو داود هكذا موقوفا، و سنده صحيح
Dari
‘Imran bin Hushain RA, bahwasanya ia ditanya tentang laki-laki yang menthalaq
istrinya, kemudian merujukinya dengan tanpa saksi, ia berkata, “Hendaklah kamu
saksikan pada thalaqnya dan pada rujuknya”.
[Demikian diriwayatkan oleh Abu Dawud, mauquf dan sanadnya
shahih]
و
اخرجه البيهقى بلفظ: اَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رض سُئِلَ عَمَّنْ رَاجَعَ
امْرَأَتَهُ، وَ لَمْ يُشْهِدْ، فَقَالَ: فِى غَيْرِ سُنَّةٍ فَلْيُشْهِدِ اْلآنَ.
و زاد الطبرانى فى رواية: وَ يَسْتَغْفِرِ اللهَ.
Dan
Baihaqi meriwayatkan dengan lafadh : Bahwasanya ‘Imran bin Hushain RA ditanya
tentang laki-laki yang merujuki istrinya dengan tanpa saksi, ia berkata, “Ia
tidak menurut sunnah, maka sekarang ia harus bersaksi”. Dan dalam sebuah
riwayat, Thabrani menambahkan, “Dan hendaklah ia minta ampun kepada
Allah”.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّهُ لَمَّا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ قَالَ النَّبِيُّ ص لِعُرَ:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا. البخارى و مسلم
Dari
Ibnu ‘Umar RA bahwasanya ketika ia mencerai istrinya (dalam keadaan haidl), Nabi
SAW bersabda kepada ‘Umar, “Suruhlah ia agar merujuki istrinya”.
[HR. Bukhari dan Muslim]
عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ اَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلّقُ امْرَأَتَهُ ثُمَّ
يَقَعُ بِهَا وَ لَمْ يُشْهِدْ عَلَى طَلاَقِهَا وَ لاَ عَلَى رَجْعَتِهَا،
فَقَالَ: طَلَّقْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ وَ رَاجَعْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ، اِشْهَدْ
عَلَى طَلاَقِهَا وَ عَلَى رَجْعَتِهَا وَ لاَ تَعُدْ. ابو داود و ابن حبان و لم
يقل و لا تعد
Dari
‘Imran bin Hushain bahwa ia pernah ditanya tentang laki-laki yang menthalaq
istrinya kemudian ia tetap mencampurinya, sedang ia ketika menthalaq itu tidak
ada saksinya, demikian pula rujuknya. Kemudian ia menjawab, “Kamu menthalaq
tidak menurut sunnah (Nabi) dan merujuk (juga) tidak menurut sunnah. Adakanlah
saksi ketika menthalaq dan merujuk dan janganlah kamu ulangi (perbuatan seperti
itu).
[HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, sedang Ibnu Majah tidak berakata, “Jangan kamu
ulangi”.]
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ اْلقُرَظِيّ اِلَى النَّبِيّ ص
فَقَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ، فَطَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى، فَتَزَوَّجْتُ
بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَ اِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ هَدْبَةِ
الثَّوْبِ، فَقَالَ: اَتُرِيْدِيْنَ اَنْ تَرْجِعِى اِلَى رِفَاعَةَ؟ لاَ حَتَّى
تَذُوْقِى عُسَيْلَتَهُ وَ يَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ. الجماعة
Dari
‘Aisyah, ia berkata : Istri Rifa’ah Al-Quradhiy pernah datang kepada Nabi SAW,
lalu berkata, “Aku fulu menjadi istri Rifa’ah, kemudian ia menthalaqku thalaq
tiga, kemudian sesudah itu aku kawin dengan ‘Abdurrahman bin Zubair, sedang apa
yang ada padanya seperti ujung pakaian”. Kemudian Nabi SAW bertanya, “Apakah
kamu ingin kembali kepada Rifa’ah ? Tidak boleh, sehingga kamu merasakan madunya
dan dia merasakan madumu”.
[HR. Jama’ah]
عَنْ
عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَلْعُسَيْلَةُ هِيَ اْلجِمَاعُ. احمد و
النسائى
Dari
‘Aisyah bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Yang dimaksud madu itu ialah
jima’ “.
[HR. Ahmad dan Nasai]
Keterangan
:
1. Bekas istri yang boleh dirujuki adalah yang
baru dithalaq dua kali.
2. Bekas istri yang sudah dithalaq tiga kali
tidak boleh dirujuki, kecuali apabila bekas istri tadi sudah kawin dengan
laki-laki lain dan sudah dikumpuli, kemudian dithalaq oleh suami yang kedua
tersebut dan sesudah habis masa ‘iddahnya.
3. Adapun cara rujuk adalah dengan nikah lagi,
dengan alasan karena ikatan nikah yang dulu sudah putus karena thalaq. Namun
demikian ada pula ulama yang berpendapat apabila rujuknya itu masih di dalam
masa ‘iddah, tidak perlu dengan nikah lagi, dengan alasan “Dan suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah”. [Al-Baqarah : 228], Walloohu
a’lam.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak