Ahad, 23 Agustus 1998/01 Jumadil
Awwal 1419 Brosur No. :
945/985/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-49)
Sebelum
Nabi SAW berhijrah ke Madinah, Allah telah memerintahkan kepada beliau dan
ummatnya supaya mengerjakan shalat sehari semalam lima kali, pada waktu yang
telah ditetapkan, sebagaimana telah kami uraikan dalam bab Isra' dan Mi'raj yang
lalu. Maka shalat itu selain untuk menuntun kaum muslimin selalu ingat akan
kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya, juga untuk membimbing kaum muslimin supaya
menjadi ummat yang bersatu, seia-sekata. Oleh sebab itu maka Nabi SAW memberi
pimpinan kepada para pengikutnya supaya mereka mengerjakan shalat itu
bersama-sama (berjama'ah). Yang demikian itu agar persatuan dan rasa
persaudaraan kaum muslimin makin meresap dan mendalam, satu sama lain dapat
mengetahui hajat mereka masing-masing, dan berkeyakinan bahwa yang mereka tuju
itu tunggal, tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, dan masing-masing
mengaku menjadi hamba Allah Yang Maha Esa.
Setelah
Nabi SAW hijrah ke Madinah, karena jumlah kaum muslimin sudah banyak, maka sukar
dan susah bagi Nabi SAW untuk mengumpulkan mereka pada tiap-tiap datang waktu
shalat. Lalu Nabi SAW bermusyawarah dengan para shahabat untuk merundingkan
bagaimana cara yang termudah dan teringan untuk mengumpulkan kaum muslimin di
masjid pada setiap datang waktu shalat.
Maka
pada waktu itu ada beberapa pendapat dan usulan. Ada yang berpendapat bahwa
untuk tanda telah tiba waktu shalat cukup dengan menaikkan atau mengibarkan
bendera. Seorang lainnya berpendapat dengan menyalakan api. Seorang yang lainnya
lagi berpendapat dengan meniup terompet. Ada pula yang berpendapat dengan
memukul lonceng. Kemudian ada pula yang berpendapat bahwa untuk memanggil shalat
cukup dengan menetapkan seseorang untuk berseru dengan kalimah : "Ash-shalaah
!". Kemudian Nabi SAW menyetujui pendapat terakhir ini yaitu
pendapatnya 'Umar bin Khaththab RA. Kemudian Nabi SAW bersabda kepada Bilal
:
يَا
بِلاَلُ، قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
"Hai
Bilal, bangunlah, maka panggillah dengan kalimah Ash-Shalaah !".
Oleh
sebab itu bila tiba waktu shalat shahabat Bilal berseru :
اَلصَّلاَةُ
جَامِعَةٌ ! اَلصَّلاَةُ جَامِعَةٌ !
Shalat
bersama-sama ! Shalat bersama-sama !
Kemudian
pada suatu malam, shahabat 'Abdullah bin Zaid dalam keadaan diantara tidur dan
jaga, tiba-tiba terlihat olehnya ada seorang laki-laki memakai dua pakaian hijau
sambil mengelilinginya dan tangannya membawa sebuah lonceng. Shahabat 'Abdullah bertanya kepada
oang itu : "Hai hamba Allah, apakah engkau akan menjual lonceng itu ?".
Orang itu menjawab : "Apa yang akan kau perbuat dengannya ?". Shahabat
'Abdullah menjawab : "Akan kami pergunakan untuk memanggil shalat". Orang
itu berkata : "Maukah engkau saya perlihatkan kepadamu yang lebih baik
daripada itu ?". Shahabat 'Abdullah menjawab : "Ya, mau. Cobalah
tunjukkan !". Orang itu berkata : Berserulah engkau dengan ucapan
:
اَللهُ
اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ، اَشْهَدُ اَنْ لاَ
اِلهَ اِلاَّ اللهُ، اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، اَشْهَدُ اَنَّ
مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، حَيَّ
عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى اْلفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى
اْلفَلاَحِ، اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ، لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ.
Kemudian
orang itu mundur ke tempat yang tidak seberapa jauh dari tempat semula, lalu ia
berkata kepada shahabat 'Abdullah bin Zaid : "Bila engkau hendak berdiri
shalat, maka ucapkanlah :
اَللهُ
اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ، اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، اَشْهَدُ اَنَّ
مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى اْلفَلاَحِ، قَدْ
قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ،
لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ.
Keesokan
harinya shahabat 'Abdullah bin Zaid menghadap kepada Nabi SAW dan mengabarkan
kepada beliau tentang mimpinya itu. Setelah Nabi SAW mendengar segala apa yang
dikatakan oleh shahabat 'Abdullah bin Zaid, beliau bersabda :
اِنَّ
هذَا الرُّؤْيَا حَقُّ اِنْ شَاءَ اللهُ
Sesungguhnya
mimpi ini benar, Insya Allah.
فَـقُمْ
مَعَ بِلاَلٍ، فَاِنَّهُ اَنْدَى وَ اَمَدُّ صَوْتًا مِنْكَ فَاَلْقِ عَلَيْهِ مَا
قِيْلَ لَكَ وَ لْيُنَادِ بِذلِكَ.
Maka
berdirilah (pergilah) kamu kepada Bilal, karena dia itu suaranya lebih tinggi
dan lebih panjang daripada kamu, lalu ajarilah Bilal akan segala apa yang telah
diucapkan orang itu kepadamu. Dan hendaklah Bilal memanggil orang untuk shalat
dengan yang sedemikian itu.
Shahabat
'Abdullah bin Zaid lalu menemui shahabat Bilal dan mengajarkan kepadanya adzan
dan qamat tersebut.
Kemudian
setelah datang waktu shalat, shahabat Bilal memanggil orang untuk shalat dengan
mengucapkan adzan dan qamat tersebut. Ketika mendengar suara adzan shahabat
Bilal itu, shahabat 'Umar yang pada waktu itu sedang berada di rumah lalu datang
kepada Rasulullah SAW dengan menyeret selendangnya. Kemudian 'Umar berkata
:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ وَ الَّذِيْ بَعَثَكَ بِاْلحَقِّ، لَقَدْ رَأَيـْتُ مِثْلَ الَّذِيْ
قَالَ
Ya
Rasulullah, demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan benar, sungguh semalam
saya bermimpi sebagaimana yang diucapkan Bilal.
Nabi
SAW bersabda :
فَلِلّهِ
اْلحَمْدُ فَذلِكَ اَثْـبَتُ
Segala
puji bagi Allah, maka demikianlah yang lebih tetap.
Demikianlah
singkatnya riwayat asal mulanya adzan dan qamat di dalam Islam, yang hingga kini
masih tetap dikerjakan oleh seluruh ummat Islam di seluruh
dunia.
Kemudian
ada diriwayatkan dalam kitab-kitab tarikh dan kitab-kitab hadits bahwa setelah
berlaku setiap tiba waktu shalat, shahabat Bilal berdiri mengucapkan adzan dan
qamat, beberapa hari kemudian pada adzan Shubuh shahabat Bilal menambahkan
ucapan :
اَلصَّلاَةُ
خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
Mendengar
ucapan Bilal itu Nabi SAW lalu
menetapkan kebaikannya. Hal ini pun hingga kini masih tetap dikerjakan oleh kaum
muslimin umumnya.
10.
Kemajuan Islam dan Kaum Muslimin di Madinah.
Setelah
Nabi SAW mempersaudarakan antara para shahabat Muhajirin dan Anshar, persatuan
dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar itu makin hari semakin erat,
bertambah lama kian kokoh. Demikianlah tiap seorang Muhajir bersaudara dengan
seorang Anshar.
Tiap
seorang Anshar mengajak saudaranya seorang Muhajir supaya bertempat tinggal di
rumahnya, dia menyerahkan separuh dari halaman rumahnya, separuh barang-barang
kepunyaannya, separuh dari binatang-binatang ternaknya serta separuh harta
bendanya kepada saudaranya Muhajir itu. Dan bahkan ada pula seorang shahbat
Anshar yang mempunyai istri lebih dari seorang, merelakan salah seorang istrinya
untuk dicerainya, dan sesudah habis masa iddahnya disuruh menikah dengan
saudaranya seorang Muhajir. Persaudaraan semacam ini makin hari kian kokoh,
sehingga mengalahkan atau melebihi persaudaraan antara orang-orang yang
seibu-sebapak. Sebagai bukti, pada waktu itu apabila seorang Anshar meninggal
dunia, maka segala barang dan harta peninggalannya tidaklah diwarisi oleh para
anggota keluarganya, melainkan diwarisi oleh saudaranya yang seagama dan
sependirian. Hal demikian itu berjalan selama bertahun-tahun, hingga akhirnya
Allah menurunkan wahyu yang merubahnya.
Dan
juga tentang diri orang-orang dari golongan Aus dan Khajraj, yang telah
berabad-abad lamanya selalu bermusuhan, sesudah mereka memeluk Islam lenyaplah
semua rasa permusuhan itu dari dada mereka masing-masing. Pendek kata,
persaudaraan muslimin pada masa itu sangat hebat. Dan dengan adanya persatuan
dan persaudaraan yang begitu hebat dan mengagumkan itu maka tampaklah kemajuan
Islam, berseri-serilah kota Madinah. Hal ini yang dituju dan dimaksudkan oleh
ayat firman Allah yang bunyinya :
وَ
اَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ. لَوْ اَنْفَقْتَ مَا فِى اْلاَرْضِ جَمِيْعًا مَّا
اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَ لكِنَّ اللهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْ، اِنَّه
عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ. الانفال:63
Dan
Dia (Allah) lah yang menghimpunkan antara hati mereka itu, seandainya engkau
(Muhammad) membelanjakan (mengurbankan) segala apa yang ada di bumi seluruhnya,
tidaklah engkau dapat menghimpunkan antara hati mereka. Tetapi Allah yang
menghimpunkan antara hati mereka itu. Sesungguhnya Dia Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
[Al-Anfaal : 63]
Oleh
para ahli tafsir diterangkan bahwa turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan
persaudaraan dan persatuan antara kaum Aus dan Khajraj dan berkenaan dengan
adanya persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Jadi ayat itu berarti
bahwa yang menghimpun atau mempersatukan hati mereka itu adalah Allah sendiri,
disebabkan oleh tauhid dan iman mereka kepada Allah. Dan andaikata Nabi SAW
mengurbankan seluruh harta-benda yang terdapat di muka bumi ini untuk menghimpun
dan mempersatukan mereka itu, selama mereka belum bertauhid dan beriman
sungguh-sungguh kepada Allah, selama itu pula mereka tidak akan dapat bersatu
dan hati mereka tidak akan terhimpun seerat-eratnya. Dengan adanya tauhid dan
iman mereka kepada Allah itu dengan sendirinya mereka menjadi bersatu dan hati
mereka terhimpun. Artinya, Allah lah yang mempersatukan mereka
itu.
Maka
dengan riwayat ini cukuplah menjadi petunjuk bagi kita ummat Islam bahwa dengan
tauhid dan imanlah persatuan bangsa dan ummat akan lekas terwujud, dan dengan
adanya persatuan yang suci dan tulus ikhlash maka golongan yang hendak memusuhi
Islam akan merasa cemas dan lemah. Sebab dengan persatuan yang suci dan tulus
ikhlash itu dapat menimbulkan keyakinan pada diri masing-masing bahwa mereka
adalah hamba Allah semata-mata, mereka mempunyai kewajiban yang sama. Maka
dengan adanya persatuan semacam itulah Islam pada waktu itu memperoleh kemajuan
yang pesat.
11. Nabi SAW Mengadakan Perjanjian Dengan Kaum
Yahudi di Madinah.
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa di Madinah sebelum Nabi SAW berhijarh ke sana, waktu ruh
Islam belum masuk ke sana, ada dua golongan bangsa 'Arab yang terbesar yang
telah lama ada di bawah pengaruh kaum Yahudi yang diam di sana. Kedua golongan
itu ialah golongan Aus dan Khajraj yang telah lama bermusuhan. Adapun kaum
Yahudi yang ada di Madinah pada masa itu terdiri dari tiga golongan, yaitu Banu
Quraidhah, Banu Nadlir dan Banu Qainuqa'. Setelah ketiga golongan kaum Yahudi
itu melihat bahwa kedua golongan bangsa 'Arab yang terbesar yang telah lama
bermusuhan itu sudah mendapat pimpinan Islam lalu bersatu, dan persatuan mereka
mengakibatkan lebih tersiarnya Islam, lebih-lebih persatuan mereka dengan kaum
Muslimin dari Makkah yang mengakibatkan kemajuan Islam di segenap penjuru kota
Madinah sudah sukar sekali dihalang-halangi, maka mereka kaum Yahudi itu
mendirikan persatuan sendiri, dengan tujuan merintangi kemajuan
Islam.
Waktu
itu Nabi SAW telah mengetahui bahwa ketiga golongan kaum Yahudi itu dan
golongan-golongan lainnya sama berupaya untuk menghalang-halangi kemajuan Islam
dan kaum Muslimin, oleh sebab itu beliau mengajak mereka berdamai, agar mereka
jangan terus-menerus mendengki dan membenci Islam dan orang-orang yang menjadi
pengikutnya, dan jangan pula mereka merintangi dakwah Islam yang sedang
disiar-siarkan oleh kaum Muslimin. Maka beliau mengirimkan kepada mereka sepucuk
surat yang berisi perjanjian, yang pokok-pokok isinya adalah sebagai berikut
:
1. Janganlah kaum Yahudi mendengki kaum muslimin
dan sebaliknya janganlah kaum muslimin mendengki mereka.
2. Janganlah kaum Yahudi membenci kaum muslimin
dan sebaliknya janganlah kaum muslimin membenci mereka.
3. Bahwa hendaknya kaum Yahudi dan kaum muslimin
hidup bersama-sama sebagai satu bangsa.
4. Bahwa kaum Yahudi dan kaum muslimin
masing-masing merdeka mengerjakan agamanya dan masing-masing jangan
ganggu-mengganggu.
5. Bahwa jikalau kaum Yahudi diserang oleh musuh
dari luar, wajiblah bagi kaum muslimin membantu mereka, dan sebaliknya jikalau
kaum muslimin diserang oleh musuh dari luar, wajiblah bagi kaum Yahudi membantu
mereka.
6. Bahwa jikalau kota Madinah diserang oleh musuh
dari luar, maka kaum Yahudi dan kaum muslimin harus mempertahankannya
bersama-sama.
Demikianlah
singkatnya surat perjanjian Nabi SAW dengan kaum Yahudi. Kemudian pada bagian
terakhir dari perjanjian itu Nabi SAW mengatakan : "Bahwa jika diantara kaum
Yahudi dan kaum muslimin timbul suatu perselisihan maka Nabi SAW lah yang akan
menjadi hakim untuk perkara itu".
Surat
perjanjian yang mengandung arti sedemikian tadi, adalah perjanjian pershahabatan
dan perdamaian dengan kaum Yahudi yang berdiam di kota Madinah dan di
sekelilingnya. Dalam surat perjanjian itu jelas ditetapkan dan diakui hak
kemerdekaan tiap-tiap golongan memeluk dan mengerjakan agamanya masing-masing,
dan dalam pada itu mereka masing-masing bertanggungjawab atas keamanan kota
Madinah dan tempat-tempat di sekelilingnya.
Inilah
salah satu perjanjian perdamaian yang mengandung siasat (politik), dimana
pribadi Nabi SAW di kala itu memperlihatkan kebijaksanaannya sebagai seorang
ahli siasat yang cerdik. Tindakan yang seperti itu belum pernah dikerjakan oleh
para Nabi dan Rasul Allah yang terdahulu, baik Nabi Musa maupun Nabi 'Isa dan
lain-lainnya.
Tarikh Nabi Muhammad SAW (ke-48)
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak