Ahad, 18 Agustus 1996/3 Rabiul Akhir 1417 Brosur No. : 842/882/AS
Wajib
Tha'at Kepada Allah dan Rasul-Nya (ke-19)
Al-Ijma'
Dasar Hukum yang Ketiga Dalam Islam
Ijma'
menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju atau sependapat, sedang
menurut istilah, ialah :
اِتِّـفَاقُ
مُجْتَهِدِى اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ص بَعْدَ وَفَاتِهِ فِى عَصْرٍ مِنَ اْلأَعْصَارِ
عَلَى أَمْرٍ مِنَ اْلأُمُوْرِ.
Kebulatan
pendapat semua ahli ijtihad ummat Muhammad, sesudah wafatnya pada suatu masa,
tentang suatu perkara (hukum).
2.
Dari Segi Masanya,
Dari
segi masanya, maka Ijma' dapat dibagi menjadi dua :
1.
Zaman Khalifah yang empat, dan
2.
Zaman sesudahnya.
(1) Ijma' shahabat (yang dimaksud ialah zaman
Khalifah Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan Ali). Ijma' mereka ini jelas dapat
dijadikan hujjah tanpa diperselisihkan orang lagi, sebab NabiSAW. sendiri
memerintahkan sebagaimana sabdanya:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ اْلخُـلَـفَاءِ الرَّاشِدِيْـنَ. ابو داود وغيره.
Hendaklah
kamu berpegang kepada cara-caraku dan cara-cara khulafaur
Rasyidin.
[Abu Dawud dan lain-lain]
(2) Ijma' ulama pada zaman sesudah Khulafaur
Rasyidin, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para fuqaha shahabat banyak
pindah ke negeri Islam yang baru dan telah timbul fuqaha tabi'in yang tidak
sedikit, ditambah lagi dengan pertentangan politik. Maka pada zaman inilah sukar
dibayangkan dapat terjadinya ijma'.
Kalau
sampai zaman tabi'in saja, sudah sukar akan terjadi ijma', maka lebih-lebih
zaman sekarang dimana para ulama telah tersebar luas ke seluruh pelosok. Sedang
sahnya ijma' ialah : "Kebulatan pendapat semua ahli
ijtihad".
Oleh
sebab itu ijma' yang diakui dan dibenarkan oleh para ulama, ialah ijma' para
shahabat Nabi; dan selain dari itu tidaklah mungkin, bahkan mustahil terjadi. Di
antara para ulama mujtahidin besar yang mengingkari (tidak membenarkan) adanya
ijma' di masa sesudah para shahabat Nabi, ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pemuka
madzhab Hanbali) yang hidup di antara pertengahan abad kedua dan pertengahan
abad ketiga Hijrah. Antara lain beliau berkata :
مَنِ
ادَّعَى اْلإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ.
لَعَلَّ النَّاسَ قَدِ اخْتَـلَـفُوْا، وَلكِنْ يَـقُوْلُ: لاَ نَعْلَمُ النَّاسَ
اِخْتَـلَـفُوْا. اِذْ لَمْ
يَـبْلُغْهُ.
Barangsiapa
yang mendakwakan ijma', maka ia berdusta. Barangkali manusia telah berselisih,
tetapi - cukuplah ia berkata: Kami tidak mengetahui orang-orang yang mereka itu
berselisih, karena belum sampai -berita- kepadanya.
Jelasnya
: Barangsiapa yang mendakwakan (menganggap) telah terjadi ijma' sesudah para
shahabat, maka ia berdusta. Mungkin orang-orang berselisih, tetapi ia tidak
mengetahui adanya perselisihan itu, karena beritanya belum sampai kepadanya.
Oleh sebab itu, maka hendaklah ia berkata: "Aku tidak mengetahui ada orang
yang menyalahi dan menyelisihi tentang pendapat ini".
Imam
Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa kemungkinan ada terjadi ijma' sesudah masa
para shahabat itu adalah mustahil, karena para ulama Islam telah bertebaran ke
seluruh pelosok. Mengihimpunkan mereka untuk mengadakan ijma' di satu kota bukan
perkara yang mudah dan ringan, tetapi boleh dikatakan mustahil. Dan memang
selama ini belum pernah terdengar berita atau riwayat yang menyatakan, bahwa
para 'ulama Islam di masa sesudah para shahabat seluruhnya pernah berkumpul di
satu kota untuk mengadakan ijma' (kata sepakat) terhadap suatu hukum atas suatu
masalah.
Imam
Al-Ashfahani berkata :
وَالْمُنْصِفُ
يَعْلَمُ اَنـَّهُ لاَ خَبَرَ لَهُ مِنَ
اْلإِجْمَاعِ اِلاَّ مَا يَجـِدُ
مَكْـتُوْبــًا فِى الْكُـتُبِ. وَ مِنَ اْلبَـيِّنِ اَنـَّهُ لاَ يَحْصُلُ
اْلاِطْلاَعُ عَلَيْهِ اِلاَّ بِالسِّمَاعِ مِنْهُمْ اَوْ بِنَقْلِ اَهْلِ
الـتَّـوَاتُـرِ اِلَـيْنَـا. وَلاَ سِبِـيْلَ اِلَى ذلِكَ اِلاَّ فِىْ عَصْرِ
الصَّحَابَةِ وَاَمَّا بَـعْـدَهُمْ
فَلاَ.
Dan
orang yang insaf tentu mengerti, bahwa sesungguhnya tidak ada berita padanya
daripada ~berita~ ijma', melainkan apa yang ia dapati tertulis di kitab-kitab
~saja~. Padahal jelas, bahwa tidak akan berhasil mengetahui atas ijma' itu,
melainkan dengan pendengaran daripada mereka (para ulama) atau dengan berita
riwayat yang mutawatir sampainya kepada kita. Dan tidak ada jalan kepada yang
demikian itu melainkan di masa shahabat; adapun sesudah mereka itu, maka tidak
akan ada.
Jelasnya
: Tentang ijma' itu tidak akan dapat dihasilkan (diperoleh dengan sempurna),
melainkan dengan pendengaran dari para 'ulama ahli ijtihad atau dengan berita
mutawatir yang sampai kepada kita. Hal tersebut tidak mungkin terjadi, melainkan
pada masa shahabat. Dan juga Imam Al-Ashfahani menyatakan : "Amat sukar kita
mengetahui ada terjadi ijma', selain daripada ijma' shahabat yang masih sedikit
jumlah orang yang dipandang ahli ijma'. Keadaan yang demikian itu yang
memungkinkan mereka berkumpul guna memberikan persetujuan kepada suatu pendapat
orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat
(tempat-tempat yang berdekatan)".
Selanjutnya
beliau menyatakan : "Adapun sekarang sesudah tersiar Islam di seluruh pelosok
dan sesudah banyak bilangan 'ulama, tidaklah mungkin lagi diyakini akan
terjadinya ijma' diantara mereka itu".
Imam
Ar-Razi, seorang ulama ahli ushul dan ahli tafsir yang terkenal berkata
:
وَاْلاِنْصَافُ
اَنــَّهُ لاَ طَرِيْقَ لَنَا اِلَى مَعْرِفَتِهِ اِلاَّ فِى زَمَانِ
الصَّحَابَةِ.
Dan
sebenarnya, bahwasanya tidak ada jalan bagi kita kepada mengetahuinya (ijma'),
melainkan di masa shahabat.
Jelas
kiranya, bahwa kemungkinan ada ijma' sesudah masa para shahabat Nabi itu
tidak ada dan tidak pernah terjadi. Oleh sebab itu, ijma' yang
mu'tabar, ijma' yang tidak diperselisihkan lagi adanya, dan yang dapat
dipergunakan sebagai hujjah (alasan) dalam agama, ialah ijma' para
shahabat.
Dan
dengan ini tepatlah apa yang pernah dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan
para ulama lainnya yang tidak membenarkan adanya ijma' dimasa sesudah masa
para shahabat Nabi.
3.
Kehujjahan Ijma'.
Para
ulama menetapkan bahwa ijma' itu hujjah dan sebagai dasar hukum syari'at dalam
Islam. Tetapi ijma' itu berkedudukan di bawah Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta
tidak boleh menyalahi nash yang qath'i (keterangan yang tegas-jelas) dari
Al-Qur'an dan Sunnah Rasul yang masyhur.
Imam
Asy-Syafi'i dalam menjelaskan tentang "ijma'" dalam kitabnya Ar-Risalah
menetapkan, bahwa ijma' itu hujjah; dan beliau memandangnya sebagai hujjah
dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati nash dari Kitab dan Sunnah.
Selanjutnya beliau menetapkan pula, bahwa tidak akan menjadi ijma', melainkan
yang telah disepakati oleh segenap 'ulama Islam.
Adapun
alasan-alasan yang dipergunakan untuk menetapkan, adanya ijma' oleh para 'ulama
yang menetapkan bahwa ijma' itu hujjah yang ditaati dan sebagai dasar syari'at,
di antaranya sebagai berikut :
يـاَ
يُّـهَا الَّذِيْـنَ امَنُوْا اَطِيْعُوا اللهَ وَ اَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ
اُولى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ
اِلَى اللهِ وَ الرَّسُوْلِ اِنْ كُـنْـتُمْ تُـؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
وَاْلـيَوْمِ اْلآخِرِ، ذلِكَ خَيْرٌ وَّ اَحْسَنُ تَـأْوِيْلاً.
النساء:59
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (Qur'an dan Sunnahnya) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
[An-Nisa' : 59]
Yang
dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para
ulama.
اِنَّ
اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمـَّتِى عَلَى ضَلاَلــَةٍ. وَيـَدُ اللهِ مَعَ اْلجَمَاعَةِ.
الترمذى
1.
Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpunkan ummatku atas kesesatan, dan
tangan Allah beserta jama'ah. [HR. Tirmidzi]
اِنَّ
اُمـَّتِى لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلــَةٍ.ابـن ماجه
2.
Sesungguhnya ummatku tidak akan berkumpul atas
kesesatan.
[HR.
Ibnu Majah].
Dengan
hadits tersebut, mereka mengambil pengertian bahwa oleh karena ummat Nabi
Muhammad (ummat Islam) tidak akan berkumpul (berhimpun) menjadi satu di dalam
kesalahan atau kesesatan, maka sudah barang tentu apabila mereka telah berijma'
mengadakan keputusan adalah didalam kebenaran. Maka keputusan ummat Islam yang
dengan ijma' itu pasti di dalam kebenaran. Dan tiap-tiap kebenaran itu harus
diturut.
Adapun hal-hal yang boleh
diijma'kan adalah hal-hal yang bersifat keduniaan, bukan masalah ibadah, karena
urusan ibadah itu harus menurut contoh yang pernah dikerjakan oleh Nabi SAW dan
telah cukup sempurna.
Demikianlah
penjelasan tentang ijma'.
1.
Qiyas Menurut Lughat (Bahasa)
Kata
: Qiyas itu asalnya dari :
قَاسَ
- يَـقِـيْسُ قَيْسًا وَ قِيَاسًا. (Mengukur atau ukuran)
Jadi
kata "qiyas" itu artinya "ukuran", "sukatan",
"timbangan" dan lainnya lagi yang searti dengan itu. Misalnya dikatakan
:
قَاسَ
الشَّيْءَ بِغَيْرِهِ اَوْ عَلَى غَيْرِهِ.
Ia
telah mengukur sesuatu dengan lainnya atau atas lainnya.
Dan
dapat juga diartikan membandingkan, seperti :
فُلاَنٌ لاَ
يُقَاسُ بِفُلاَنٍ.
Si
fulan tidak boleh dibandingkan dengan si fulan yang lain.
2.
Qiyas Menurut Ta'rif Ahli Ushul
Para
'ulama ahliushul fiqih dalam memberikan ta'rif (definisi) tentang
"qiyas", bermacam-macam, antara lain adalah sebagai berikut
:
اِسْتِخْرَاجُ مِثْلِ حُكْمِ اْلمَذْكُـوْرِ لـِمَا لَمْ يُذْكَرْ بِجَامِعٍ بَـيْنَهُمَا.
Mengeluarkan
misal hukum yang telah disebutkan kepada suatu hal yang tidak disebutkan
hukumnya dengan cara menghimpun antara keduanya.
اَلــْقَيَاسُ:
مُسَاوَاةُ اْلمَسْكُوْتِ لِلْمَنْصُوْصِ فِى عِلَّةِ اْلحُكْمِ.
Qiyas
itu ialah membandingkan yang didiamkan kepada yang dinash-kan (diterangkan) pada
'illat hukum.
تَحْصِيْلُ
الْحُكْمِ اْلأَصْلِ فِى اْلـفَرْعِ لاِشْتِـبَاهِهِمَا فِى عِلَّةِ
الْحُكْمِ.
Menghasilkan
hukum pokok pada cabang karena bersamaan keduanya pada 'illat
hukum.
Penjelasan
:
Kesimpulan
yang telah diberikan oleh para 'ulama ahli ushul tentang Qiyas ini adalah
sebagai berikut :
Menghubungkan
suatu pekerjaan dengan pekerjaan yang lain tentang hukumnya,
karena kedua pekerjaan itu bersatu pada 'illat, yang menyebabkan bersatu pula
pada hukumnya. Atau Menetapkan satu hukum syara' yang sudah tetap pada
satu benda atau urusan, kepada satu benda atau urusan lain yang dipandang sama
sebab-sebabnya atau sama sifat-sifatnya.
Misalnya
tentang khamr, Allah telah melarang khamr sebagaimana telah dinyatakan dalam
firman-Nya. Khamr yang dilarang itu ialah air anggur yang telah dibikin menjadi
minuman keras (arak). Setelah diperiksa, diselidiki dan difikirkan sebabnya
dilarang, terdapatlah bahwa khamr itu adalah memabukkan bagi orang yang
meminumnya, yang juga mengakibatkan merusak badan, fikiran serta pergaulannya.
Maka sifat memabukkan itu dipandang sebagai sebab bagi haramnya. Dengan demikian
dapat di-qiyas-kan, bahwa : tiap-tiap minuman yang memabukkan itu dihukumi haram
(terlarang) juga, walaupun asalnya bukan dari anggur. Inilah sebagai misal hukum
dengan qiyas.
Dan
dengan misal yang ringkas ini, mengertilah kita bahwa hukum qiyas itu dilakukan
dengan akal fikiran orang yang mengerti, setelah diselidiki dengan seksama, dan
dibandingkan dengan nash hukum yang telah tertulis di dalam Al-Qur'an atau di
dalam As-Sunnah.
[Bersambung].
Rukun
Qiyas ...........
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak