Ahad, 8 September 1996/28 Rabi'ul Akhir 1417 Brosur No. : 845/885/AS
Wajib
Tha'at Kepada Allah dan Rasul-Nya (ke-20)
Untuk
mendatangkan atau menjalankan "qiyas" orang harus mengerti dan memegangi rukun-rukunnya
dan syarat-syaratnya, yang jika tidak, tentu tidak akan mungkin ia
menjalankannya. Demikianlah menurut keterangan para ulama ahli
ushul.
Rukun
qiyas, ada empat :
1.
Ashal (Pokok)
2.
Fara' (Cabang)
3.
Illah (Sebab-Karena), dan
4.
Hukum.
Ashal,
ialah tempat mengqiyaskan, seperti minuman arak.
Fara',
ialah yang diqiyaskan, seperti segala macam minuman yang
memabukkan.
Illah,
ialah sifat-sifat yang ada pada ashal dan fara' yang diqiyaskan, seperti
memabukkan.
Hukum,
ialah hukum haram, misalnya.
Adapun
syarat-syarat qiyas, sepanjang keterangan para ahli ushul, antara lain sebagai
berikut :
1. Ashal dan hukumnya hendaklah ada dari
keterangan syara', yaitu yang telah tersebut dalam Al-Qur'an dan
Sunnah.
2. Hendaklah ashal itu satu perkara yang termasuk
perkara-perkara yang dapat difikirkan oleh akal akan
sebab-sebabnya.
3. Hendaklah sebab-sebab yang ada pada ashal itu
ada pula pada fara' (cabang)
4. Janganlah cabang itu sudah mempunyai hukum
sendiri, sebelum diberi hukum dengan qiyas.
5. Sesudah diberi hukum dengan qiyas, janganlah
cabang itu bertentangan dengan hukum yang lain.
Inilah
antara lain syarat-syarat qiyas.
Sepanjang
riwayat yang sampai kepada kita bahwa qiyas itu diberikan (diakui) oleh Nabi
SAW. Oleh sebab itu, maka di antara para shahabat Nabi, ada yang mempergunakan
hukum qiyas.
Selanjutnya
di masa sesudah para shahabat Nabi, bagi para ulama mujtahidin berselisih
pendapat tentang hukum dan dalil tentang qiyas. Yakni : Sebagian ada yang suka
mempergunakannya; dan sebagian ada yang
tidak suka mempergunakannya (menolaknya).
Di
antara hadits Nabi yang menunjukkan bahwa Nabi SAW membenarkan hukum secara
qiyas, ialah riwayat dari shahabat Mu'adz ketika diutus oleh Nabi SAW ke negeri
Yaman, yang dikala itu Mu'adz menjawab pertanyaan-pertanyaan Nabi SAW tentang
cara memberi hukum apabila tidak terdapat keterangannya di dalam Al-Qur'an dan
di dalam Sunnah Rasul : "Saya berijtihad dengan fikiran saya". Jawaban
demikian dibenarkan oleh Nabi SAW.
Dari
hadits itu jelas bahwa apabila tidak didapati pada kitab Allah dan sunnah
Rasulullah, maka dipergunakan ijtihad ra'yu (kemampuan berfikir), sedangkan
qiyas pun termasuk ijtihad ra'yu juga.
Dan
pada satu hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, bahwa ia pernah
bertanya kepada Nabi SAW, katanya : "Ya Rasulullah, jika datang satu urusan
kami, yang padanya belum diturunkan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan belum pernah
kami dengar sunnah dari engkau satupun, maka bagaimanakah engkau perintahkan
kepada kami ?".
Nabi
SAW bersabda :
اَجْمِعُوْا
لَهُ اْلعَالِمِيْنَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاجْعَلُوْهُ شُوْرَى بَيْنَكُمْ وَلاَ
تَقْضُوْا فِيْهِ بِرَأْيٍ وَاحِدٍ. ابن عبد البر.
"Hendaklah
kalian kumpulkan orang-orang yang mengerti di antara orang-orang yang beriman,
dan adakanlah permusyawaratan di antara kamu sekalian, dan janganlah kalian
memutuskannya dengan fikiran sendiri".
[HR.
Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami'u Bayanil Ilmi].
Dilain
riwayat, Ali RA berkata : "Ya Rasulullah, jika datang kepada kami satu urusan
yang padanya tidak ada keterangan perintah dan tidak pula keterangan cegah, maka
apa yang engkau perintahkan kepada kami ?".
Nabi
SAW bersabda :
تَشَاوَرُوا
اْلفُقَهَاءَ وَاْلعَابِدِيْنَ وَلاَ تَجْعَلُوْنَهُ بِرَأْيٍ خَاصَّةٍ.
الطبرانى
"Hendaklah
kalian bermusyawarah dengan para ahli fiqih (orang-orang yang mempunyai
pengertian tentang agama) dan orang-orang ahli ibadat, dan janganlah kalian
jadikan (putuskan) dia dengan fikiran sendiri".
[HR. Ath-Thabarani dalam kitabnya Al-Ausath].
Di
dalam hadist-hadist tersebut jelas ditunjukkan, bahwa Nabi SAW membenarkan
jawaban shahabat Mu'adz RA tentang akan berijtihad jika tidak didapati
keterangan dari Quran dan dari Sunnah. Selanjutnya Nabi SAW memerintahkan kepada
Ali RA supaya mengadakan rapat dan bermusyawarah dengan para orang yang
mengerti, para ahli fiqih dan para ahli
'ibadat di antara orang-orang Islam sendiri untuk membicarakan soal-soal baru
yang hukumnya tidak didapati di dalam Al-Qur'an dan Sunnah beliau
SAW.
Orang
mengerjakan ijitihad dan orang mengadakan permusyawaratan untuk membicarakan
soal-soal atau urusan-urusan baru yang belum didapati keterangannya (hukumnya)
di dalam Al-Qur'an dan Sunnah, itu tentu dengan melakukan "qiyas". Oleh
sebab itu, tentang hukum qiyas seharusnya diadakan dan dikerjakan, jika memang
ternyata tidak didapati nash dari Qur'an dan Sunnah.
Kalau
kita kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, tentang urusan agama mengenai aqaid
dan 'ibadat, telah cukup sempurna sebagaimana telah diuraikan di muka. Oleh
sebab itu ~dengan tidak mengurangi pendapat ulama mujtahidin yang
berpendirian menolak qiyas~, maka tentang hukum qiyas ini perlu dikembalikan
lebih dulu kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam Al-Qur'an telah dinyatakan oleh
Allah dengan firman-Nya :
... فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ
وَالرَّسُوْلِ ... النساء:59
"Maka
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada
Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya)".
[An-Nisaa : 59]
Maksud
ayat ini : Jika kamu berantah-bantah atau berselisih pendapat tentang suatu
urusan yang tidak dinashkan dalam salah satu dari tiga, yaitu : Qur'an,
Sunnah dan Ulil-Amri, maka kembalikanlah urusan itu kepada Allah dan
kepada Rasul. Yakni, bawalah kembali urusan itu kepada keduanya, bandingkanlah
dan sesuaikanlah dengan nash-nash yang ada dalam keduanya yang keadaannya
berhampiran dengan urusan itu. Atau dengan perkataan lain : Qiyaskanlah dengan
nash-nash dari Qur'an atau dari Sunnah.
Pengertian
demikian, mengingat kata "rudduu" yang terkandung dalam ayat itu, yang
dalam bahasa Arab dari kata kerja "radda" - "yaruddu", yang
artinya "mengembalikan"; dan kadang-kadang dapat juga diartikan dengan
"membandingkan", seperti kata :
رُدُّ
الشَّيْءِ اِلىَ الشَّيْءِ.
"Membandingkan
sesuatu kepada sesuatu".
Arti
ini disandarkan atas satu riwayat yang berbunyi :
اَرُدُّ
اْلأَشْيَاءَ اِلَى اَشْباهِهَا.
"Aku
mengembalikan urusan-urusan itu kepada bandingan-bandingan-nya".
Sehubungan
dengan itu, Al-Baidhawi dalam tafsirnya, dalam menjelaskan arti ayat tersebut
itu dengan : "Mengembalikan yang diperbantahkan kepada Kitab dan Sunnah itu
dengan jalan mentamtsilkannya, membandingkannya dan mendirikan hukum dari
padanya. Dan itulah qiyas".
Sebagian
ulama ahli ushul dalam penjelasannya mengenai qiyas yang disandarkan atas ayat
tersebut itu, antara lain menjelaskan :
وَ
مَنْ تَنَازَعَ ِممَّنْ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ ص رُدَّ اْلاَمْرُ اِلىَ قَضَاءِ
اللهِ ثُمَّ قَضَاءِ رَسُوْلــِهِ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْمَا يَتَنَازَعُوْنَ
فِيْهِ قَضَاءٌ نَصًّا فِيْهِمَا وَلاَ فِى وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُدُّوْهُ قِيَاسًا
عَلَى اَحَدِهِمَا.
"Dan
barangsiapa berselisih di antara orang-orang sesudah ~wafat~ Rasulullah SAW,
kembalikanlah urusan itu kepada hukum Allah, kemudian hukum Rasul-Nya; maka jika
tidak ada pada apa yang diperselisihkannya itu hukum nash pada keduanya dan
tidak pula pada salah satu dari keduanya, kembalikanlah urusan itu dengan qiyas
atas salah satu dari keduanya".
Demikianlah
apabila tidak didapati nash di dalam Al-Qur'an atau dari Sunnah
Rasul.
Jadi
ayat tersebut itu kalau disingkatkan adalah berarti : Bahwa jika kamu tidak
mendapati nash yang terang dalam suatu urusan, maka hendaklah kamu mengambil
hukum dari Al-Quran atau dari Sunnah Rasul atas jalan
qiyas.
Sekarang
urusan apa yang boleh diberi hukum dengan jalan qiyas? Urusan adatkah atau
urusan 'ibadat ? Urusan keagamaankah atau urusan keduniaan ? Karena di dalam
ayat tersebut hanya dikatakan dengan kata
"sesuatu".
Kalau
kata "sesuatu" itu diartikan dengan arti umum, baik mengenai urusan
keduniaan (adat) maupun mengenai urusan keagamaan (ibadat), tidaklah mungkin.
Karena tentang urusan ibadat cukup sempurna telah diterangkan dan dicontohkan
oleh Nabi SAW.
Tentang
ini haruslah dikembalikan dulu kepada keterangan dari Nabi SAW dan
riwayat-riwayat dari para shahabat besar.
Kalau
kita kembalikan kepada hadits dari shahabat Mu'adz dan dari shahabat Ali dan
kita kembalikan kepada beberapa hadits yang melarang ra'yu dan qiyas di dalam
urusan-urusan agama, kita akan dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dibolehkan
diberi hukum dengan jalan "qiyas" itu, ialah hal-hal yang bersangkut-paut
dengan urusan adat, muamalat dan keduniaan, bukan yang mengenai urusan
'ibadat.
Berikut
beberapa pesan dari shahabat Rasulullah SAW yang berkaitan dengan qiyas ini
:
1. Pesan Umar bin Al-Khaththab RA, kepada Qadhi
Syuraih, ketika ia diangkat menjadi qadhi di Kufah, yang artinya
:
"Apabila
telah engkau dapati sesuatu ~keterangan~ dalam Kitab Allah, maka berilah hukum
dengan dia dan jangan engkau berpaling kepada yang lain; dan jika datang kepada
engkau sesuatu yang tidak ada di dalam Kitab Allah, maka berilah hukum dengan
yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW, jika datang kepada engkau sesuatu yang
tidak ada di dalam ktab Allah dan tidak pula yang dicontohkan Rasulullah SAW,
maka berilah hukum dengan apa yang disepakati oleh orang-orang; dan jika datang
kepada engkau sesuatu yang tidak ada di dalam Kitab Allah, tidak pula pernah
dicontohkan Rasulullah SAW, dan tidak pernah padanya dibicarakan oleh
orang-orang yang sebelum engkau, maka jika engkau mau bahwa engkau akan
berijtihad dengan fikiran engkau, maka majulah, dan jika engkau mau mundur, maka
mundurlah, dan aku tidak memandang kemunduran itu melainkan lebih baik bagi
engkau".
Kata
"berilah hukum", yang terkandung di dalam riwayat ini adalah dari salinan
kata "iqdli" asal dari kata kerja "qadlaa" - "yaqdliy" yang
berarti "memutus" atau "memberi putusan" tentang hukum perkara
yang terjadi. Jadi kata "berilah hukum" berarti "putuskanlah hukum
perkara yang sedang terjadi", perkara yang harus diadili oleh qadli
(hakim).
2. Kata Abdullah bin Abi Yazid, yang artinya
:
"Adalah
Ibnu Abbas RA apabila ditanya dari hal sesuatu, jika tidak ada di dalam Kitab
Allah dan tidak ada pula dari Rasulullah SAW dan ada ~keterangan~ dari Abu Bakar
dan Umar, ia mengatakannya (keterangan dari kedua shahabat itu); dan jika tidak
ada di dalam Kitab Allah tidak ada
~keterangan~ dari Rasulullah, dan tidak ada keterangan dari Abu Bakar dan
Umar, ia berijtihad dengan fikirannya"
Shahabat
Ibnu Abbas RA melakukan ijtihad dengan fikirannya apabila tidak mendapati nash
tentang sesuatu yang ditanyakan orang, hal ini tentu sesuatu yang mengenai
urusan adat atau keduniaan, bukan urusan mengenai ibadat atau keagamaan. Karena
jika mengenai urusan ibadah (keagamaan), ia pernah berkata
:
مَنْ
اَحْدَثَ رَأْيًا فِى الدِّيــْنِ لَـيْسَ فِى كِتَابِ اللهِ وَلَمْ تُمْضِ بِهِ
سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ لَمْ يَدْرِ عَلَى مَا هُوَ مِنْهُ اِذَا لَـقِيَ
اللهَ.
"Barangsiapa
yang mengada-adakan tambahan di dalam agama, yang tidak terdapat di dalam Kitab
Allah, dan tidak pernah berlaku pada sunnah dari Rasulullah SAW ia tidak tahu
dengan alasan apa ia berbuat begitu, apabila ia menghadap Allah
nanti".
Perlu
ditambahkan di sini tentang "qiyas" yang dikehendaki oleh para shahabat
Nabi SAW. Mereka berijtihad dengan jalan qiyas terhadap urusan-urusan baru yang
tidak didapati nashnya dalam Al-Qur'an atau dari Sunnah itu adalah dengan tujuan
"mengembalikan sesuatu kepada maksud syara', kepada qa'idah-qa'idah
syar'iyyah yang umum, dan kepada 'illat-'illat (sebab-sebab) yang mudah
dimengerti dan difahami". Oleh sebab itu, maka "qiyas" itu perlu
sekali diadakan apabila terjadi suatu peristiwa yang tidak didapati nashnya
dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Karena kalau urusan-urusan yang baru terjadi
dibiarkan begitu saja dan diserahkan kepada orang ramai, dengan tidak diberi
hukum sebagaimana mestinya, maka sudah barang tentu dengan sendirinya tidak ada
arti lagi. "Jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul" itu.
Jadi
sepanjang penetapan para ulama yang ahli, bahwa tentang "qiyas" itu untuk
dipergunakan hukum yang mengenai urusan keduniaan yang tidak didapati nashnya
dalam Qur'an atau dalam Sunnah Rasul; dan tidak sekali-kali boleh dipergunakan
untuk urusan ibadat.
Dan
Imam Asy-Syafii berkata :
لاَ
قِيَاسَ فِى اْلعِبَادَةِ.
"Tidak
ada qiyas dalam urusan ibadat"
Jadi
qiyas itu sebagai dasar hukum yang keempat dalam Islam,
dapat dipergunakan hujjah dalam agama, dan dapat dipakai atau dipergunakan hanya
dalam urusan adat, muamalat dan keduniaan yang memang tidak ada nashnya di dalam
Al-Qur'an atau di dalam Sunnah Rasul dan Ijma' yang
Mu'tabar.
[BERSAMBUNG]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak