Ahad, 21 September 1997/19
Jumadil Awwal 1418 Brosur No. :
901/941/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-35)
Siti
Khadijah wafat dalam usia kurang lebih 65 tahun. Adapun lamanya beliau bersuami
dengan Nabi SAW kurang lebih selama 25 tahun. Dari perkawinan Nabi Muhammad SAW
dengan Siti Khadijah, dapatlah kedua fihak merasakan kenikmatan dan kebahagiaan
hidup dari perkawinan itu. Siti Khadijah telah melahirkan enam orang anak, dua
laki-laki dan empat perempuan, yaitu sebagai berikut :
1. Al-Qasim. Inilah putra yang sulung. Sebab itu
maka Nabi SAW digelari "Abul Qasim" (Bapaknya Qasim). Gelar atau
panggilan yang demikian itu adalah adat kebiasaan bangsa Arab, yakni putra yang
sulung itulah yang dipergunakan untuk gelar bagi si ayah. Al-Qasim Meninggal
baru berumur kurang lebih dua tahun.
2. Zainab. Ia setelah dewasa diambil isteri oleh
Abul-'Ash bin Ar-Rabi', dan ia meninggal dunia di Madinah pada tahun ke-8
Hijrah.
3. Abdullah. Putera inilah yang oleh ayahnya
(Nabi SAW, diberi gelaran dengan Ath-Thayyib dan Ath-Thahir, dan meninggal dunia
waktu masih kecil.
4. Ruqayyah. Ia setelah dewasa diambil isteri
oleh 'Utbah bin Abu Lahab, lalu diceraikan. Kemudian diambil isteri oleh
shahabat 'Utsman bin Affan, dan meninggal dunia pada tahun ke-2
Hijrah.
5. Ummu Kultsum. Ia setelah dewasa diambil isteri
oleh 'Utaibah bin Abu Lahab, lalu diceraikan. Kemudian setelah Ruqayyah
meninggal dunia, lalu Ummu Kultsum diambil isteri oleh shahabat 'Utsman bin
Affan. Ia meninggal dunia di Madinah pada tahun ke-9
Hijrah.
6. Fathimah. Ia setelah dewasa diambil isteri
oleh shahabat 'Ali bin Abu Thalib, seorang pemuda dari anak paman Nabi SAW
sendiri pada tahun ke-2 Hijrah; dan wafat pada tahun ke-11 Hijrah, beberapa
bulan sesudah wafatnya Nabi SAW.
Demikianlah
kebahagiaan hidup, suasana rukun dan damai yang dilalui Nabi Muhammad SAW selama
dalam perkawinannya dengan Siti Khadijah itu senantiasa hidup selama-lamanya di
dalam kenangannya. Bahkan sudah bertahun-tahun Siti Khadijah meninggal dunia,
kebaikannya senantiasa dikenang dan disebut-sebutnya. Sampai Siti 'Aisyah
sendiri, isteri yang amat dikasihi Rasulullah SAW dan yang mempunyai kedudukan
istimewa di sisi beliau lebih dari istri-istri yang lain, konon sampai merasa
cemburu kepada Siti Khadijah yang telah lama meninggal dunia, lebih cemburu dari
pada terhadap madunya yang lain-lain yang masih hidup, karena mendengar
sanjungan Nabi SAW yang tak habis-habisnya tentang kebaikan Siti Khadijah isteri
yang amat berbudi
itu.
Adapun
tentang kematian Siti Khadijah dan Abu Thalib itu mana yang lebih dulu diantara
keduanya ? Tentang ini para ulama tarikh ada berselisih pendapat. Sebagian ada
yang mengatakan : Siti Khadijah terlebih dulu wafat dan sebulan kemudian Abu
Thalib wafat. Dan sebagian yang lain mengatakan : Abu Thalib terlebih dulu
wafat. Tetapi menurut keterangan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Bahwa kedua
beliau itu wafat 6 bulan kemudian dari hari keluarnya dari pemboikotan di Syi'ib
pada tahun ke-10 dari Bi'tsah atau 3 tahun sebelum hijrah. Siti Khadijah wafat
tiga hari kemudian dari wafatnya Abu Thalib.
Dengan
wafatnya istri dan paman beliau ini, berarti beliau kehilangan tulang punggung
yang kuat. Sebab istri dan paman beliau ini sangat berjasa kepada beliau
khususnya dan bagi kemajuan dakwah beliau kepada ummat umumnya. Dan disebabkan
kedukaan dan kesedihan yang bertubi-tubi ini, beliau sendiri menamakan tahun itu
dengan nama 'Aamul Huzni (tahun duka cita).
5.
Rasulullah SAW Menikah Dengan Saudah
Sepeninggal
isteri beliau Khadijah yang sangat beliau cintai itu, kemudian beliau menikah
dengan seorang janda yang bernama Saudah binti Zam'ah.
Saudah
adalah seorang wanita bangsa Arab, termasuk keturunan Quraisy. Pada waktu itu ia
telah menjadi wanita janda, karena suaminya bernama Sakran bin 'Amr telah
meninggal. Ia dan suaminya sejak mengikut seruan Nabi SAW adalah termasuk orang
yang terasing, karena diasingkan oleh orang tuanya dan ahli-familinya, yang
dikala itu masih sama berkeras kepala, tidak mau mengikut kepada Nabi SAW,
bahkan sebagian termasuk orang yang sangat merintanginya. Dan kedua-duanya
dikala kaum Muslimin diperintahkan supaya berhijrah ke negeri Habsyi yang ke dua
kali, mereka berdua termasuk orang yang ikut berhijrah, karena ke dua-duanya
sangat khawatir terhadap kekejaman yang diperbuat oleh familinya yang masih
musyrik. Sesudah kedua-duanya kembali pulang ke Makkah, maka tidak lama kemudian
Sakran (suami Saudah) meninggal.
Dengan
demikian Saudah setelah wafatnya suaminya, maka dengan sendirinya ia tambah
terasing lagi, karena ia tetap mengikut seruan Nabi SAW. Oleh sebab itu
dirasakanlah oleh Nabi SAW, betapa besar kesengsaraan yang ditanggung oleh
Saudah itu.
Maklumlah,
sebagai seorang wanita janda yang setia kepada Islam, sedang para familinya dan
saudara-saudaranya masih tetap musyrik, bahkan ada pula yang sangat memusuhi
tersiarnya Islam. Oleh karenanya sangat terasalah oleh Nabi SAW, bahwa
penghidupan sehari-harinya tentu dalam kesempitan dan
kesukaran.
Demikianlah,
maka dikala itu dengan mufakat orang tuanya, Saudah dinikah oleh Nabi
SAW
6.
Rasulullah SAW Menikah Dengan 'Aisyah
Kemudian
setelah berselang kurang lebih satu bulan dari hari perkawinan Nabi SAW dengan
Saudah, lalu beliau menikah pula dengan Siti 'Aisyah binti Abu Bakar. Siti
'Aisyah ialah seorang puteri shahabat Abu Bakar, sedang beliau ini adalah
seorang laki-laki yang pertama kali mengikut seruan Nabi SAW dan beriman
kepadanya. Dan beliau ini adalah termasuk seorang hartawan besar di kota Makkah
pada waktu itu, yang tidak sedikit kekayaannya dikorbankan untuk kepentingan
da'wah Islam dan pengikut Islam yang menderita sengsara karena penganiayaan para
musyrikin Quraisy.
Di
dalam riwayat, perkawinan Nabi SAW dengan Siti 'Aisyah ini terjadi pada bulan
Syawwal tahun ke-10 dari kenabian, dan beliau SAW tidak mengawini seorang gadis,
melainkan dengan Siti 'Aisyah, yang pada waktu itu masih berumur tujuh tahun,
namun Nabi SAW tidak berkumpul dengan 'Aisyah melainkan setelah hijrah di
Madinah.
7.
Nabi SAW Berangkat Ke Thaif
Thaif
ialah sebuah kota terletak di sebelah tenggara kota Makkah dan terkenal tanahnya
subur-makmur sejak dahulu. Sebagai seorang manusia, Nabi SAW pun pada suatu saat
merasa susah dan sedih. Dikala ditinggalkan wafat oleh kedua orang yang
seakan-akan menjadi tulang punggung beliau selama itu, terasalah oleh beliau
kedukaan dan kesedihan yang sangat, yang tidak ada
taranya,
Setelah
ketua-ketua dan pembesar-pembesar Musyrikin Quraisy mengetahui, bahwa beliau
tidak lagi mempunyai tulang-punggung yang dapat melindungi diri beliau apabila
disakiti dan dianiaya, atau apabila akan diperlakukan secara kejam, maka
bertambah sangatlah mereka dalam merintangi dan memusuhi beliau. Setiap hari
tidak ada hentinya beliau selalu menerima celaan, cercaan, penghinaan dan
berbagai-bagai perbuatan yang menyakitkan diri beliau dari fihak musyrikin
Quraisy.
Oleh
sebab itu, teringatlah beliau bahwa di kota Thaif ada orang yang masih termasuk
famili dekat dengan beliau, yaitu famili tunggal datuk dari keturunan Tsaqif.
Dan di kota Thaif itu merekalah yang memegang kekuasaan Mereka itu ialah
:
1.
Abu Yalil bin 'Amr bin 'Umair Ats-Tsaqafi,
2.
Mas'ud bin 'Amr bin 'Umair Ats-Tsaqafi, dan
3.
Habib bin 'Amr bin'Umair Ats-Tsaqafi.
Ketiga-tiganya
itu adalah brsaudara, dan masing-masing sedang menjabat kekuasaan di kota
Thaif.
Dikala
itu Nabi SAW berharap, bahwa setelah tiba di Thaif dan dapat bertemu dengan
mereka, lalu beliau mengajak mereka itu untuk mengikut seruannya, kemudian akan
diajak pula untuk ikut serta menggerakkan seruan (dakwah) beliau di kota itu.
Dengan demikian, penduduk kota itu tentu akan segera mengikut seruan beliau, dan
selanjutnya akan dapat juga mereka memberikan bantuan untuk kepentingan
penyiaran Islam di kota Makkah. Maka ketika itu Nabi SAW berangkat ke Thaif
dengan diam-diam bersama Zaid bin Haritsah (bekas budak belian Siti Khadijah
yang telah diangkat sebagai anak Nabi SAW) dan dengan berjalan
kaki.
Setiba
di Thaif, Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah lalu mencari tempat kediaman orang
yang ditujunya, yaitu kepala-kepala banu Tsaqif yang sedang menjabat di sana.
Selanjutnya, setelah dapat bertemu dengan mereka, beliau lalu menyatakan maksud
kedatangannya, yaitu selain untuk menyambung tali kasih sayang dengan mereka,
beliau juga menganjurkan (mengajak) kepada mereka masing-masing supaya mengikut
Islam.
Setelah
mereka mendengar seruan beliau, seketika itu juga mereka marah, sama
mencaci-maki dan mendustakan beliau dengan kata-kata yang sangat kasar, lalu
mengusir dengan keras, supaya beliau lekas keluar dari rumah mereka, dan pergi
dari kota Thaif. Jika tidak mau, beliau diancam akan dibunuh seketika itu
juga.
Nabi
SAW setelah mendengar celaan, caci-makian dan ancaman mereka, maka beliau
langsung meminta diri kepada mereka seraya berkata, "Jikalau kamu tidak mau
menerima kedatangan saya kemari, tidak mengapa ! Tetapi janganlah kedatangan
saya kemari ini disiarkan kepada orang banyak dari penduduk kota
ini".
8.
Penganiayaan Penduduk Thaif Kepada Nabi SAW
Selanjutnya,
ketika Nabi SAW telah keluar dari rumah mereka, lalu mereka masing-masing
memerintahkan kepada anak-anak dan budak belian supaya berteriak-teriak dan
mencaci-maki serta menghina beliau. Dengan suara yang keras mereka disuruh
memanggil orang banyak yang bertempat tinggal di sekelilingnya, supaya keluar
dari rumah mereka masing-masing.
Oleh
sebab itu, orang-orang yang tinggal di sekeliling mereka lalu keluar semuanya,
dan datang berduyun-duyun akan mengeroyok Nabi SAW.
Kemudian
kepala Bani Tsaqif menyuruh orang-orang yang telah datang di halaman rumah
mereka supaya berkumpul dan berbaris di kanan kiri jalan yang dilalui Nabi SAW
dan mereka supaya serentak mencaci-maki dan mencerca dengan perkataan-perkataan
yang keji serta mendustakan Nabi SAW, Dan mereka disuruh melempari dengan batu
dan pasir kepada beliau dan shahabatnya yang berjalan bersama
beliau.
Karena
orang yang menyuruh berbuat demikian tadi adalah orang-orang yang berkuasa dan
berpengaruh, maka sudah tentu perintah itu selalu diikut saja oleh segenap
penduduk banu Tsaqif yang ada di kota Thaif. Oleh sebab itu mereka lalu
berkumpul dan berbaris di sekeliling jalan yang dilalui oleh Nabi SAW dan Zaid
bin Haritsah, dengan serentak mereka berteriak-teriak mencaci maki, mencerca,
menghina, mendustakan dan mengancam sambil melempari batu, krikil dan pasir
kepada Nabi SAW, sehingga beliau luka parah dan berlumuran darah, sampai beliau
dikala itu terpaksa berjalan dengan merangkak karena kesakitan. Setelah beliau
kelihatan berjalan dengan merangkak, lalu mereka mengejek, mentertawakan dan
mencaci-maki dengan kata-kata yang kasar dan keji.
Demikianlah
singkatnya riwayat penganiayaan kaum Banu Tsaqif dan penduduk Thaif terhadap
Nabi SAW. Adapun Zaid bin Haritsah ketika itu kepalanya sampai luka parah, dan
mencucurkan darah kena lemparan batu.
9.
Do'a Nabi SAW Pada Waktu Itu
Setelah
perjalanan Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah sampai di halaman kebun atau di
balik pagar dari sebuah kebun kepunyaan 'Utbah dan Syaibah (kedua-duanya ini
anak Rabi'ah), kedua orang bangsa Quraisy yang sangat memusuhi Nabi SAW di kota
Makkah, maka orang-orang yang menganiaya dan melempari dengan batu tadi
berhenti, dan mereka berlari bubar semuanya kembali ke rumah mereka
masing-masing.
Kemudian
Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah berteduh di tempat itu, di bawah pohon anggur
sekedar untuk menghilangkan lelah dan jerih payah yang baru saja dirasakan,
sambil melihat bengkak-bengkak dan luka-luka yang ada di kedua kaki dan betisnya
seraya mengeringkan darah yang masih bercucuran dari kedua kakinya tadi. Tetapi
ketika beliau beristirahat di tempat itu, tiba-tiba timbullah perasaan kurang
enak dalam hati beliau kalau sampai lama beristirahat di tempat itu. Karena
kebun itu kepunyaan 'Utbah bin Rabi'ah dan Syaibah bin Rabi'ah, yang
kedua-duanya ini adalah termasuk orang yang memusuhi beliau di kota Makkah.
Padahal justru pada waktu itu kedua orang musuh Islam itu sedang ada di kebun
itu, dan keduanya telah melihat bahwa Nabi SAW sedang ada di balik pagar
kebunnya. Kemudian Nabi SAW menengadah ke atas mengadukan kepedihan dan
kesengsaraan yang dideritanya itu kepada Allah SWT sambil berdo'a dan
menyerahkan diri kepada-Nya. Ucapan beliau itu ialah:
اَللّهُمَّ
اِلَـيْكَ اَشْكُوْ ضَعْفَ قُوَّتـِى وَ قِلَّةَ حِيْلَـتِى وَ هَوَانـِى عَلَى
الـنَّاسِ يَـا اَرْحَمَ الـرَّاحِمِـيْنَ. اَنــْتَ رَبُّ اْلمُسْتَضْعَـفِـيْنَ.
وَ اَنــْتَ رَبـِّى اِلَى مَنْ تَكِـلُـنِى؟ اِلَى بَـعِيْدٍ يَـتَجَهَّمُنِى؟
اَمْ اِلَى عَدُوٍّ مَلَكَـتْهُ اَمْرِيْ؟ اِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ
فَلاَ اُبَالِى. وَ لكِنْ عَافِـيَـتَكَ هِيَ اَوْسَعُ لـِى. اَعُوْذُ بِـنُوْرِ
وَجْهِكَ الَّذِيْ اَشْرَقَتْ لَهُ الظُّـلُـمَاتُ وَصَلُحَ عَلَـيْهِ اَمْرُ
الدُّنــْيَا وَ اْلآخِرَةِ مِنْ اَنْ تُنْزِلَ بِيْ غَضَبُكَ اَوْ يُحِلَّ عَلَيَّ
سَخَطُكَ، لَكَ اْلعُتْـبَى حَتَّى تَرْضَى. وَ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ اِلاَّ
بِكَ.
"Ya
Allah, Kepada Engkau-lah aku mengadukan kelemahan kekuatanku, dan sedikitnya
daya upayaku dan kehinaanku pada manusia, ya Tuhan yang Maha Penyayang diantara
orang-orang yang kasih sayang. Engkaulah Tuhan yang memelihara orang-orang yang
lemah dan tertindas, dan Engkaulah Tuhanku, kepada siapa Engkau akan menyerahkan
aku, apakah kepada musuh yang jauh yang amat benci kepadaku, ataukah kepada
musuh yang Engkau beri kekuasaan terhadapku ? Jikalau Engkau tidak murka
kepadaku, maka aku tidak perduli, akan tetapi kemurahan Engkau lebih luas
kepadaku, (itulah yang aku harapkan). Aku berlindung kepada Nur Wajah Engkau
Yang Mulia, yang menerangi semua kegelapan dan memperbaiki urusan dunia dan
akhirat. Semoga janganlah Engkau menjatuhkan kemarahan Engkau kepadaku atau
menimpakan kepadaku kemurkaan-Mu, Engkaulah yang berhak mencaciku sehingga
Engkau ridla, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu".
[Sirah
Ibnu Hisyam juz 2, hal. 268]
Demikianlah
bunyi do'a Nabi yang dipanjatkan kehadlirat Allah SWT pada waktu itu, yang di
dalam do'a itu jelas berisi keluhan dan penyerahan beliau kepada Allah
semata.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak