Ahad,
19 Desember 1999/11 Ramadlan 1420
Brosur no. : 1013/1053/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-71)
Setelah
Nabi SAW melepaskan para tawanan Badr, kemudian Allah SWT menurunkan wahyu
kepada beliau :
مَا كَانَ لِنَبِيّ اَنْ يَّكُوْنَ لَه اَسْرى حَتّى يُثْخِنَ فِى
اْلاَرْضِ، تُرِيْدُوْنَ عَرَضَ الدُّنْيَا، وَ اللهُ يُرِيْدُ اْلاخِرَةَ، وَ
اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ. لَوْ لاَ كِتبٌ مّنَ اللهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيْمَآ
اَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ. فَكُلُوْا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَللاً طَيّبًا وَّ
اتَّقُوا اللهَ، اِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. الانفال:67-69
Tidak
patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya
di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana (67). Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari
Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil
(68). Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu,
sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (69).
[QS. Al-Anfaal]
Sehubungan
dengan diturunkannya ayat-ayat tersebut, maka ketika itu Nabi SAW dan Abu Bakar
menangis, karena ayat-ayat itu mengandung teguran keras terhadap Nabi SAW dan
kaum muslimin yang tidak menyetujui pendapat ‘Umar bin Khaththab. Dan dikala itu
Nabi SAW bersabda :
اِنْ كَادَ لَيَمَسُّنَا فِى خِلاَفِ ابْنِ اْلخَطَّابِ عَذَابٌ
عَظِيْمٌ. وَ لَوْ نَزَلَ اْلعَذَابُ مَا اَفْلَتَ اِلاَّ عُمَرُ
Hampir
saja kita kena adzab yang besar karena menyalahi pendapat Ibnul Khaththab, dan
jika turun adzab, niscaya tidak ada yang terlepas dari adzab itu melainkan ‘Umar
sendiri.
Di
dalam riwayat Muslim disebutkan :
فَلَمَّا كَانَ مِنَ اْلغَدِ جِئْتُ فَاِذَا رَسُوْلُ اللهِ ص وَ اَبُوْ
بَكْرٍ قَاعِدَيْنِ يَبْكِيَانِ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِى مِنْ
أَيِّ شَيْءٍ تَبْكِى اَنْتَ وَ صَاحِبُكَ، فَاِنْ وَجَدْتُ بُكَاءً بَكَيْتُ. وَ
اِنْ لَمْ اَجِدْ بُكَاءً تَبَاكَيْتُ لِبُكَائِكُمَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص:
اَبْكِى لِلَّذِى عَرَضَ عَلَيَّ اَصْحَابُكَ مِنْ اَخْذِهِمُ اْلفِدَاءَ. لَقَدْ
عُرِضَ عَلَيَّ عَذَابُهُمْ اَدْنَى مِنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ. (شَجَرَةٍ قَرِيْنَةٍ
مِنْ نَبِيِّ اللهِ ص) وَ اَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ { مَا كَانَ لِنَبِيّ اَنْ
يَّكُوْنَ لَه اَسْرى حَتّى يُثْخِنَ فِى اْلاَرْضِ ... الى قوله: فَكُلُوْا مِمَّا
غَنِمْتُمْ حَللاً طَيّبًا،. الانفال:67-69 } فَاَحَلَّ اللهُ اْلغَنِيْمَةَ
لَهُمْ. مسلم
(‘Umar
bin Khaththab berkata) : Kemudian di suatu pagi aku datang kepada Rasulullah
SAW, maka ketika itu Rasulullah SAW dan Abu Bakar sedang duduk menangis. Aku
bertanya, “Ya Rasulullah, tolong ceritakan kepadaku apa yang membuat engkau dan
sahabatmu menangis seperti itu ? Kalau aku mendapati hal-hal yang perlu untuk
ditangisi maka aku pun akan ikut menangis, dan kalau tidak mendapati hal-hal
yang perlu ditangisi sekalipun, aku akan berpura-pura menangis karena tangis
kalian berdua”. Rasulullah SAW bersabda, “Aku menangis karena
shahabat-shahabatmu menawarkan kepadaku supaya mengambil tebusan dari mereka.
Sungguh siksaan mereka diperlihatkan kepadaku di dekat pohon ini (yaitu pohon
yang berada di dekat Nabi SAW)”. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan
firman-Nya (yang artinya), “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi” .... (hingga firman-Nya),
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai
makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah”. [QS. Al-Anfaal :
67-69]. Maka akhirnya Allah menghalalkan rampasan perang (tebusan yang telah
diambil) kepada mereka.
[HR. Muslim]
Dengan
riwayat ini kita memperoleh pelajaran bahwa meskipun pendapat ‘Umar yang
dikuatkan oleh Sa’ad bin Mu’adz pada mulanya dikalahkan oleh pendapat kebanyakan
shahabat, dan Nabi rupanya mengambil keputusan dari suara yang terbanyak, namun
kebenaran yang dibenarkan oleh Allah adalah dari pendapat kedua shabahat
tersebut, yang oleh kebanyakan para shahabat dipandang “Pendapat yang terlalu
keras”. Dan dengan ini pula kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa
tidak semua pendapat yang dipandang keras oleh kebanyakan orang itu lalu
dianggap salah oleh Allah. Dan tidak mesti suara yang terbanyak itu benar dan
dibenarkan oleh Allah.
Kemudian
Allah menurunkan lagi wahyu kepada Nabi SAW :
ياَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لّمَنْ فِيْ اَيْدِيْكُمْ مّنَ اْلاَسْرى
اِنْ يَّعْلَمِ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ خَيْرًا يُّؤْتِكُمْ خَيْرًا مّمَّآ اُخِذَ
مِنْكُمْ وَ يَغْفِرْ لَكُمْ، وَ اللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. وَ اِنْ يُّرِيْدُوْا
خِيَانَتَكَ فَقَدْ خَانُوا اللهَ مِنْ قَبْلُ فَاَمْكَنَ مِنْهُمْ، وَ اللهُ
عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. الانفال: 70-71
Hai
Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, “Jika Allah
mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang
lebih baik dari apa yang telah diambil dari padamu dan Dia akan mengampuni
kamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Akan tetapi jika mereka
(tawanan-tawanan itu) bermaksud hendak berkhianat kepadamu, maka sesungguhnya
mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini, lalu Allah menjadikan(mu)
berkuasa terhadap mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
[Al-Anfal : 70-71]
26.
Kegoncangan kaum Yahudi di Madinah
Sehubungan
dengan kemenangan yang diperoleh kaum Muslimin di Badr, maka tidak saja
kemenangan itu merupakan tamparan keras kepada kaum musyrikin Quraisy di Makkah,
tetapi juga merupakan pukulan yang dahsyat kepada kaum Yahudi di Madinah dan di
sekelilingnya. Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa waktu itu kegoncangan kaum
musyrikin Quraisy di Makkah terhadap Nabi SAW menjalar juga kepada kaum Yahudi
di Madinah. Oleh sebab itu, kedengkian, dan dendam kaum Yahudi dan kaum
musyrikin Arab di kota Madinah terhadap
kamu Muslimin sedikit demi sedikit mulai tampak, yang semula hanya tersimpan
dalam hati mereka masing-masing semenjak kedatangan Nabi SAW di
Madinah.
Walaupun
ketika tahun ke-I Hijrah, kaum Yahudi Banu Quraidlah, Banu Nadhir dan Banu
Qainuqa’ telah mengadakan perjanjian damai dengan Nabi SAW dan kaum Muslimin,
mereka masing-masing tidak akan saling mengganggu tentang urusan keagamaan dan
sebagainya, tetapi setelah terjadi peperangan Badr, mereka sengaja hendak
merusak perjanjian mereka sendiri, sehingga mereka menganggap kepada Nabi SAW
dan para pengikutnya dengan anggapan yang salah. Mereka mengatakan, “Orang
laki-laki (Muhammad) itu pelarian dari Makkah sekarang agaknya hendak menguasai
dan merajai Madinah”.
Kemudian
orang-orang Yahudi itu mengadakan rapat. Dalam permusyawaratan itu diputuskan
bahwa perjanjian perdamaian dengan Nabi akan diputus dan dilanggar, dan Muhammad
beserta pengikutnya perlu dimusuhi.
Setelah
keputusan yang demikian itu, maka dari hari ke hari mulai tampak sifat
permusuhan mereka kepada Nabi dan kaum Muslimin.
27.
Timbulnya gerakan kaum munafiqin di Madinah
Sepanjang
sejarah yang tercatat dalam tarikh Islam, timbulnya gerakan kaum munafiqin
pertama kali ialah pada permulaan Islam berkembang di kota Madinah, yaitu
sehabis perang Badar Qubra yang terjadi pada tahun ke-II
Hijrah.
Pada
masa itu penduduk kota Madinah ada dua golongan yang mempunyai pengaruh besar di
masyarakat, yaitu kaum Yahudi dan kaum muslimin.
Di
masa sebelum Nabi Muhammad SAW dan Islam datang di Madinah, kaum Yahudilah yang
berpengaruh besar dan memegang peranan penting di kota itu dan di sekelilingnya.
Di masa itu segolongan kamu musyrikin bangsa Arab di Madinah, telah memutuskan
dengan kata sepakat, mencalonkan seorang dari mereka yang bernama Abdullah bin
Ubaiy bin Salul untuk diangkat menjadi ketua mereka. Tetapi sebelum pengangkatan
ketua itu berlangsung, yakni Abdullah bin Ubaiy belum sampai ditetapkan sebagai
ketua mereka, datanglah Nabi Muhammad SAW dengan membawa dan mengembangkan agama
Islam di kota Madinah. Oleh karena sebagian dari penduduk kota itu sudah
tertarik dan mengikut agama Islam yang dibawa oleh Nabi SAW, dengan demikian
menyebabkan pengangkatan atas diri Abdullah bin Ubaiy bin Salul gagal, dan
harapannya untuk menjadi ketua kaum menjadi lenyap.
Lebih-lebih
lagi setelah sebagiaan besar penduduk kota Madinah dari golongan Al-Aus dan
Al-Khazraj mengikut dan berfihak kepada Nabi SAW dan agama Islam dalam waktu
sebentar saja telah memperoleh kemajuan pesat, maka harapan Abdullah bin Ubaiy
bin Salul untuk menjadi ketua kaum menjadi sirna. Oleh sebab itu, maka timbullah perasaan benci
dan dendam dalam hati Abdullah bin Ubaiy terhadap Nabi SAW dan para pengikutnya.
Karena beliaulah yang dianggap olehnya seorang yang memerosotkan pengaruhnya dan
yang melenyapkan kekuasaan yang akan diperolehnya dari masyarakat
kaumnya.
Kemudian
setelah kaum muslimin memperoleh kemenangan gilang gemilang di Badr dan
masyarakat Islam kelihatan bertambah kuat, danNabi SAW di kala itupun telah
mengeluarkan perintah dengan tegas “Tiap-tiap orang yang tinggal di koita
Madinah dan di sekelilingnya harus menetapkan pendiriannya di dalam urusan agama
yang dipeluknya”, maka dikala itulah kaum Abdullah bin Ubaiy bertambah susah
dan terdesak.
Oleh
sebab itu, maka Abdullah bin Ubaiy dengan kaum pengikutnya yang masih
mencintainya kira-kira 300 orang itu bersikap menunggu dan mencari kesempatan
untuk melenyapkan pengaruh Nabi SAW, ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul dan
pengikutnya tidak berani melawanIslam dengan terang-terangan, maka akhirnya
mereka terpaksa masuk Islam, tetapi selalu menyimpan kebencian dan dendam kepada
Nabi SAW. Mereka bersikap munafiq, di luarnya menampakkan iman, tetapi dihatinya
tetap kafir, apabila bersama orang-orang Islam selalu menampakkan keislamannya,
namun dengan tujuan akan merobohkan Islam dan kaum pengikutnya, terutama kepada
Nabi SAW.
Juga
mereka merencanakan, “Biarlah sekarang terpaksa tunduk di bawah Muhammad dan
agamanya, tetapi nanti di belakang hari (jika ada kesempatan baik),
rahasia-rahasia Muhammad dan kekuatan agamanya perlu dijual kepada kaum Yahudi
yang sudah dari dulu berdiam di Madinah, atau jika memang perlu dijual juga
kepada kaum musyrikin Arab yang ada di kota Makkah”.
Dengan
rencana sedemikian itulah mereka (Abdullah bin Ubaiy dan para pengikutnya)
bergaul rapat dengan Nabi SAW dan kaum Muslimin, dan mereka pun sama melakukan
shalat di masjid. Tetapi mereka selalu memikirkan upaya mencari jalan untuk
merobohkan Islam.
Demikianlah
awwal mula timbulnya kaum munafiq di Madinah. Berkenaan dengan peristiwa
tersebut, maka Allah menurunkan wahyu sebagai berikut :
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ امَنَّا بِاللهِ وَ بِاْليَوْمِ
اْلاخِرِ وَ مَاهُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ(8) يُخَادِعُوْنَ اللهَ وَ الَّذِيْنَ امَنُوْا
وَ مَا يَخْدَعُوْنَ اِلاَّ اَنْفُسَهُمْ وَ مَا يَشْعُرُوْنَ(9) فِيْ قُلُوْبِهِمْ
مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا، وَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ بِمَا كَانُوْا
يَكْذِبُوْنَ(10) وَ اِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوْا فِى اْلاَرْضِ قاَلُوْا
اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ(11) اَلاَ اِنَّهُمْ هُمُ اْلمُفْسِدُوْنَ وَلكِنْ
لاَّ يَشْعُرُوْنَ(12) وَ اِذَا قِيْلَ لَهُمْ امِنُوْا كَمَا امَنَ النَّاسُ
قَالُوْا اَنُؤْمِنُ كَمَا امَنَ السُّفَهَآءُ اِلاَ اِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَآءُ
وَ لكِنْ لاَّ يَعْلَمُوْنَ(13) وَ اِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ امَنُوْا قَالُوْا
امَنَّا وَ اِذَا خَلَوْا اِلى شَيطِيْنِهِمْ قَالُوْا اِنَّا مَعَكُمْ اِنَّمَا
نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ(14) اَللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَ يَمُدُّهُمْ فِيْ
تُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ(15) اُولئِكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الضّللَةَ
بِاْلهُدى، فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَ مَا كَانُوْا مُهْتَدِيْنَ(16)
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا، فَلَمَّا اَضَاءَتْ مَا حَوْلَه
ذَهَبَ اللهُ بِنُوْرِهِمْ وَ تَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُوْنَ(17)
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُوْنَ(18) اَوْ كَصَيّبٍ مّنَ السَّمَآءِ
فِيْهِ ظُلُمتٌ وَّ رَعْدٌ وَّ بَرْقٌ يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْ اذَانِهِمْ
مّنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ اْلمَوْتِ، وَ اللهُ مُحِيْطٌ بِاْلكفِرِيْنَ(19) يَكَادُ
اْلبَرْقُ، يَخْطَفُ اَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا اَضَاءَ لَهُمْ مَّشَوْا فِيْهِ وَ
اِذَا اَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوْا، وَ لَوْ شَآءَ اللهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَ
اَبْصَارِهِمْ، اِنَّ اللهَ عَلى كُلّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ(20).
البقرة:8-20
Diantara
manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,
padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman” (8). Mereka
hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu
dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (9). Dalam hati mereka ada penyakit,
lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan
mereka berdusta (10). Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan”. (11). Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang
yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (12). Apabila dikatakan kepada
mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”. Mereka
menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah
beriman ?”. Ingatlah sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi
mereka tidak tahu (13). Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang
beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada
syaithan-syaithan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian
dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok” (14). Allah akan (membalas) olok-olokan
mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka (15).
Mereka itulah orang yang memberli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah
beruntung perniagaannya dan tidaklah mererka mendapat petunjuk (16). Perumpamaan
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat (17). Mereka tuli, bisu dan buta,
maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) (18). atau seperti
(orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh
dan kilat, mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar
suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir
(19). Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat
itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa
mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan
pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala
sesuatu (20).
[QS. Al-Baqarah]
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak