Ahad,
28 Nopember 1999/19 Sya’ban 1420 Brosur no. :
1010/1050/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-70)
Tentara
Quraisy yang pertama kali tiba di Makkah dari Badr ialah seorang yang bernama
Haisuman bin ‘Abdillah Al-Khuza’iy. Setelah ia sampai di Makkah sudah tentu
mendapat beberapa pertanyaan oleh orang-orang yang tinggal di Makkah terutama
ketua-ketua Quraisy yang tidak ikut ke Badr. Ketika itu ia menjawab dengan
sebenarnya, “Bahwa tentara Quraisy hancur luluh dikalahkan oleh tentara
Muhammad, kepala-kepala dan pahlawan-pahlawan Quraisy binasa. Abu Jahl, ‘Utbah
bin Rabi’ah, Abul Bakhtari, Walid bin ‘Utbah, Syaibah bin Rabi’ah dan Umayyah
bin Khalaf, Zam’ah bin Aswad, Nubaih bin Hajjaj dan Munabbih bin Hajjaj
terbunuh, dan barisan tentara Quaisy kocar-kacir”. Demikianlah Haisuman
menerangkan kekalahan tentara Quraisy di Badr.
Kemudian
setelah Haisuman, datanglah tentara Quraisy yang dapat melarikan diri
bersama-sama ke Makkah, lalu masing-masing sebelum mendapat pertanyaan dari
ketua dan kepala-kepala Quraisy, sudah menceritakan kepada penduduk Makkah,
bahwa tentara Quraisy dikalahkan oleh tentara Muhammad. Oleh sebab itu banyak
orang-orang Quraisy di Makkah yang menangis, dan waktu itu juga Abu Lahab jatuh
sakit.
Diriwayatkan,
tentang kematian Abu Lahab adalah demikian. Tatkala tentara Quraisy pulang ke
Makkah sebagai tentara yang kalah, dan banyak diantara para ketua mereka yang
mati dalam pertempuran tersebut, maka Abu Sofyan bin Harits dibawa ke suatu
tempat dekat sumur Zam-zam. Ketika itu datanglah Abu Lahab dan terus bertanya
kepada Abu Sufyan bin Harits, “Bagaimana khabarnya ?”. Abu Sufyan tentu
saja menjawab apa adanya. Dikala itu orang banyak pun datang di tempat itu dan
mengelilingi Abu Sufyan. Setelah Abu
Lahab mendapat keterangan yang jelas dari Abu Sofyan bin Harits, ia jatuh
pingsan. Sebelumnya ia sempat memukul dengan keras pada Abu Rafi’ (budak ‘Abbas
bin Abdul Muththalib), karena Abu Rafi’ dianggap menghina kepada dirinya.
Setelah itu Abu Lahab jatuh sakit, karena dalam hatinya merasa terpukul lantaran
kekalahan tentaranya yang tidak disangka-sangka.
Dan
tujuh hari kemudian ia meninggal. Setelah itu, kaum Quraisy mengadakan
permusyawaratan dengan segera. Dalam permusyawaran tersebut mereka memutuskan
:
1.
Bahwa kaum Quraisy tidak diperkenankan meratapi pada orang-orang yang telah mati
terbunuh di Badr. Sebab jika meratapi bisa mengkhawatirkan, kalau-kalau sampai
didengar oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya lalu mereka mencerca dan
bertambah sombong terhadap kaum Quraisy.
2. Bahwa kaum Quraisy semuanya jangan
tergesa-gesa menyuruh orang supaya menebus pada orang-orang yang tertawan.
Karena kalau tergesa-gesa dikhawatirkan tebusan dibikin mahal oleh Muhammad dan
pengikut-pengikutnya.
3.
Bahwa mereka yang tertawan biarlah mereka terpenjara, dan kaum Quraisy hendaklah
tahan menerima cobaan yang hebat itu pada sementara waktu, hingga nanti datang
suatu kesempatan yang lapang dan baik untuk keperluan menebus kepada mereka yang
tertawan.
Demikian
keputusan permusyawaratan kaum Quraisy waktu itu. Tetapi bagi kaum perempuan
Quraisy yang ditinggal mati oleh suaminya, sekalipun sudah ada keputusan
tersebut, mereka tetap meratapinya lebih dari satu bulan. Waktu itu seorang
perempuan Quraisy yang tidak meratap hanya seorang yang bernama Hindun (isteri
Abu Sufyan) anak perempuan ’Utbah. Padahal ketika itu ia kematian bapaknya dan
seorang anaknya.
Hindun,
apabila kedatangan kawan-kawannya perempuan Quraisy dan ditanya, “Mengapa
kamu tidak meratapi orang tuamu, saudaramu laki-laki dan pamanmu?”. Ia
menjawab dengan congkak, “Buat apa saya menangisi mereka ? Kalau saya
menangisi mereka lalu kedengaran oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya, tentu
mereka akan mencerca saya, dan kaum perempuan dari Banu Khazraj juga mengejek
kita. Demi Allah, jikalau rasa susah dari dadaku dapat lenyap dengan tangis,
niscaya aku akan menangis. Tetapi kesusahan itu tidak mau lenyap dari dadaku,
maka aku tidak perlu menangis. Demi Allah, haram bagi diriku berhias dengan
minyak wangi selama aku belum memerangi Muhammad dan
pengikut-pengikutnya”.
Dan
pendek kata, saat itu pahlawan atau kepala Quraisy yang tampak, tinggal Abu
Sufyan bin Harb yang nyata-nyata siang malam memusuhi Islam dan kaum muslimin,
terutama kepada Nabi SAW.
24.
Islamnya ‘Umair bin Wahab Al-Jumahiy dan sebab-sebabnya
Diriwayatkan,
bahwa ketika itu diantara orang-orang Quraisy yang tertawan ada yang bernama
Wahab bin ‘Umair bin Wahab Al-Jumahiy. Ayah Wahab, yaitu ‘Umair bin Wahab adalah
seorang yang sangat memusuhi kepada Nabi SAW semenjak di Makkah. Sesudah terjadi
perang Badr, anak laki-laki Wahab yang sangat dicintai oleh ayahnya ikut
tertawan oleh tentara muslim. Oleh sebab itu, maka ‘Umair setiap hari, siang
malam selalu susah hatinya dan bingung pikirannya, karena pikirannya selalu
terbayang-bayang anaknya yang sedang ditawan itu. Kemudian pada suatu hari ia
duduk bersama seorang kawan kepala Quraisy yang bernama Shafwan bin Umayyah.
Sedang Shafwan ketika itupun tengah menanggung sedih dan susah juga, karena baru
kematian bapaknya (Umayyah) di perang Badr.
‘Umair
dan Shafwan duduk termenung bersama-sama di suatu tempat di dekat Ka’bah (Hijr),
kedua-duanya selalu menyebut nama-nama kepala-kepala Quraisy yang terbunuh dan
dimaksukkan di dalam sumur di Badr. Shafwan ketika itu antara lain berkata,
“Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik sesudah mereka”. Yakni,
sesudah kematian pahlawan dan kepala-kepala Quraisy
tersebut.
‘Umair
bin Wahab menyahut, “Demi Allah, memang begitu ! Amat benarlah ucapanmu hai
Shafwan. Demi Allah, seumpama aku tidak punya pinjaman yang banyak, yang kini
aku belum dapat membayar, dan seumpama aku tidak punya banyak anak yang selalu
kukhawatirkan makannya jika ku tinggal mati, niscaya aku akan datang kepada
Muhammad dan akan kubunuh dia, karena hatiku sangat sakit padanya mengapa ia
sampai berani menawan anak lelakiku yang kucintai ?”.
Shafwan
berkata, “Ah, kalau betul-betul kamu ada kemauan begitu, kamu betul-betul
hendak membunuh Muhammad, aku sanggup membayar lunas semua pinjamanmu. Adapun
anak-anakmu biar bersama anak-anakku dan orang-orang yang jadi tanggunganku. Aku
yang menanggung makannya selama aku hidup”.
Umair
menyahut, “Betulkah begitu hai Shafwan ?”. Shafwan berkata, “Mengapa
tidak ?. Kamu jangan khawatir !”.
Umair
berkata, “Kalau memang betul-betul kamu sanggup, baiklah sekarang hal ini
kita sembunyikan, dan jangan sampai ada seorangpun yang mendengar !”.
Shafwan berkata, “Ya, baiklah ! Dan segeralah kamu kerjakan
!”.
Kemudian
masing-masing pulang, dan sesampai di rumah, ‘Umair bin Wahb lalu berkemas-kemas
dan menyediakan alat-alat selengkapnya. Akhirnya ‘Umair berangkat dengan membawa
senjata yang amat tajam, dan diantara yang dibawanya ialah pedangnya yang
beracun.
Setelah
sampai di Madinah, ‘Umair lalu mencari rumah Nabi SAW sambil menghunus pedangnya
yang beracun tadi, dengan mata merah dan muka merah seolah-olah orang yang
sedang mabuk sambil mengendarai untanya. Setelah sampai di Masjid, ia turun dari
kendaraan dan mengikatkannya di sebuah pintu Masjid. Kebetulan waktu itu
shahabat Umar bin Khaththab RA sedang duduk bersama-sama kaum muslimin di Masjid
dan tengah bercakap-cakap satu sama lain tentang peperangan Badr yang baru saja
selesai. Setelah ‘Umar RA mengetahui ‘Umair bin Wahb datang dengan muka yang
tampak merah seraya menghunus pedangnya, maka ‘Umar lalu berkata
:
هذَا اْلكَلْبُ عَدُوُّ اللهِ عُمَيْرٌ، مَا جَاءَ اِلاَّ
بِشَرًّ
“Ini
anjing musuh Allah si ‘Umair. Ia tidak datang melainkan bermaksud
jahat”.
Ketika
itu kebetulan Nabi SAW sedang di rumah, maka seketika itu ‘Umar RA lari ke rumah
Nabi SAW, lalu masuk ke dalam sambil berkata dengan suara keras
:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، هذَا عَدُوُّ اللهِ عُمَيْرُ بْنُ وَهْبٍ، قَدْ
جَاءَ مُتَوَشِّحًا سَيْفُهُ
“Ya
Rasulullah ! Itulah musuh Allah si
‘Umair bin Wahab telah datang dengan menyelempangkan pedangnya”.
Nabi
SAW bersabda,
فَاَدْخِلْهُ عَلَيَّ
“Suruhlah
dia masuk kepadaku”.
Setelah
Nabi SAW bersabda demikian, maka ‘Umar RA tercengang dan segera menjemput
‘Umair, dan ia memegang tali pedang ‘Umair yang diikatkan pada lehernya. Dan
karena ‘Umair tahu bahwa yang memegang tali pedangnya itu ialah Umar bin
Khaththab, maka ia diam saja tidak berani berkata sepatahpun. Memang selamanya
pahlawan-pahlawan bangsa Quraisy takut kepada Umar RA.
Waktu
itu ‘Umair diajak ‘Umar RA masuk ke rumah Nabi SAW sambil tali pedangnya yang
beracun tadi dipegangi ‘Umar RA. Maka setelah sampai di hadapan Nabi, beliau SAW
bersabda :
اَرْسِلْهُ يَا عُمَرُ، اُدْنُ يَا عُمَيْرُ
“Lepaskanlah
hai Umar. Mendekatlah hai ‘Umair !”.
Shahabat
Umar lalu melepaskan ‘Umair, dan ‘Umair lalu mendekat kepada Nabi SAW sambil
berkata, “Selamat pagi hai Muhammad !”.
Karena
penghormatan yang diucapkan ’Umair itu
adalah penghormatan secara Jahiliyah, maka Nabi SAW bersabda,
قَدْ اَبْدَ لَنَا اللهُ بِتَحِيَّةٍ خَيْرٌ مِنْ تَحِيَّتِكَ يَا
عُمَيْرُ، وَ هِيَ السَّلاَمُ
“Sesungguhnya
Allah telah menukar bagi kita dengan penghormatan yang lebih baik dari pada
penghormatanmu hai ‘Umair. Penghormatan itu ialah Salam”.
Keadaan
kaum Muslimin yang pada waktu itu sedang duduk bersama-sama di Masjid, diantara
satu dengan yang lainnya berkata, “Marilah kita bersama-sama masuk ke rumah
Rasulullah, dan kita duduk di hadapan beliau. Orang lelaki Quraisy itu tentu
hendak berbuat jahat kepada Rasulullah !”.
Lalu
masing-masing bangkit dan segera datang ke rumah Nabi SAW kemudian masuk ke
dalam rumah sambil masing-masing mengawasi ‘Umair.
Selanjutnya
Nabi SAW bertanya kepada ‘Umair, “Hai ‘Umair, sesungguhnya kamu datang kemari
ini dengan maksud apa ?”. Jawab Umair, “Ya Muhammad ! Saya datang kemari
ini hendak bertemu dengan anakku yang sekarang ada di
tanganmu”.
Nabi
SAW selanjutnya bersabda, “Tidak, yang benar saja. Kamu
berdusta”.
‘Umair
berkata, “Betul ya Muhammad, sungguh saya hendak bertemu dengan anak saya,
dan saya hendak meminta kepadamu, supaya engkau berbuat baik pada anak saya
itu”.
Nabi
SAW bersabda, “Apa gunanya pedang yang kamu bawa itu
?”.
‘Umair
menjawab, “Pedang ini tidak ada gunanya bagi saya. Mudah-mudahan Allah
menjelekkan pedang ini”.
Nabi
SAW bersabda, “Tidak begitu ya ‘Umair, apakah kamu membenarkan jika aku
menerangkan segala apa yang kamu maksud dalam kedatanganmu ini
?”.
‘Umair
berkata, “Saya tidak datang kemari melainkan untuk itu,
Muhammad”.
Nabi
SAW dengan tersenyum lalu berkata, “Ah, tidak begitu. Mesti ada maksud lain
yang terkandung dalam hatimu. Coba dengarkan, maksudmu datang kemari akan saya
terangkan : Pada suatu saat yang lalu kamu duduk bersama-sama dengan Shafwan bin
Umayyah di Hijr, lalu kamu dengan Shafwan menyebut-nyebut kaum Quraisy yang
terkubur di sumur Badr, lalu kamu berkata begini dan begitu, dan Shafwan juga
berkata begini dan begitu. Lantas kamu menyahut begini dan
begitu”.
‘Umair
lalu bertanya, “Ya Muhammad, mengapa engkau tahu dengan jelas ? Padahal waktu
itu tiada seorang pun yang tahu ?”.
Nabi
SAW lalu bertanya, “Ya tentu saya tahu, karena ada yang memberitahukan
kepadaku, dan betulkah semua yang saya katakan itu ?”.
‘Umair
seketika itu juga berkata :
اَشْهَدُ اَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ
“Saya
bersaksi, bahwa sesungguhnya engkau pesuruh Allah”.
“Sungguh
saya dulu mendustakan engkau Muhammad dengan segala apa yang telah engkau
datangkan dari langit dan segala apa yang diturunkan kepada engkau. Perkara yang
engkau katakan tadi, sungguh ketika saya bercakap-cakap dengan Shafwan, tidak
ada seorangpun yang tahu, melainkan aku sendiri dan Shafwan. Sesungguhnya demi
Allah saya sekarang mengerti dan sangat percaya, bahwa segala apa yang datang
kepada engkau itu tidak lain dan tidak bukan kecuali dari Allah
sendiri”.
Kemudian
Nabi SAW bersabda kepada para shahabatnya :
فَقّهُوْا اَخَاكُمْ دِيْنَهُ وَ اقْرَئُوْهُ اْلقُرْآنَ وَ اَطْلِقُوْا
لَهُ اَسِيْرَهُ
“Ajarkanlah
pada saudaramu ini (‘Umair) tentang agamanya, dan bacakanlah padanya Al-Qur’an,
dan lepaskanlah tawanannya (anaknya)”.
Setelah
beberapa waktu ‘Umair dan anaknya berada di Madinah, ketika itu Shofwan selalu
mengharap-harap akan kedatangannya, karena akan menanyakan khabar tentang
terbunuhnya Muhammad (Nabi SAW).
Setelah
Shafwan lama menunggu ‘Umair belum datang juga, maka pada suatu waktu Shafwan
tidak tahan lagi dan terpaksa menanyakan khabarnya ‘Umair kepada seseorang yang
acap kali pergi ke Madinah.
Maka
ketika Shafwan mendapat jawaban oleh yang ditanya, bahwa ‘Umair telah masuk
Islam, menjadi pengikut Muhamad, seketika itu Shafwan sangat terperanjat sambil
berkata, “Mengapa begitu ? Kalau ‘Umair betul-betul telah menjadi pengikut
Muhammad, saya bersumpah : Demi Allah, selama aku hidup, tidak akan
bercakap-cakap lagi dengan ‘Umair dan
tidak akan memberi sesuatu kepada 'Umair”.
Selanjutnya
‘Umair meminta izin kepada Nabi SAW untuk ke Makkah bersama anaknya, dan ia
berkata, “Ya Rasulullah ! Dulu saya seorang pembela bagi pemadam cahaya
Allah, sangat menyakitkan kepada orang-orang yang mengikuti agama Allah dan amat
menyakitkan kepada tuan yang sebenarnya tuan itu pesuruh Allah. Oleh sebab itu saya akan pulang ke Makkah, dan saya
mohon izin kepada tuan, saya nanti di Makkah akan berseru kepada kawan-kawan
saya Quraisy supaya mereka itu ikut kepada Allah dan pesuruh-Nya, dan supaya
mereka ikut agama Islam. Mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk dari Allah. Dan
jika mereka tidak mau mengikuti, saya hendak menyakitkan mereka sebagaimana dulu
saya menyakitkan sahabat-shahabatmu”.
Ketika
itu oleh Nabi SAW dibolehkan berbuat demikian itu, lalu ia berangkat pulang ke
Makkah bersama anaknya.
Diriwayatkan,
bahwa ‘Umair sesampainya di Makkah, maka dengan sungguh-sungguh ia berseru
kepada kaum Musyrikin terutama kepada Shafwan. Dan pada suatu hari ia datang
kepada Shafwan dengan berkata, “Hai Shafwan, kamu ini seorang ketua Quraisy
tetapi mengapa kamu berbuat memuja dan menyembah kepada batu-batu yang tidak
berdaya itu ? Apakah begitu itu agama yang benar ? Demi Allah, sekarang saya
telah bersaksi, bahwa sesungguhnya Muhammad itu hamba Allah dan pesuruh-Nya.
Saya berseru kepadamu, hendaklah kamu ikut kepada seruan
Muhammad”.
Shafwan
ketika itu tidak menjawab sepatah katapun, karena ia sengaja menepati janjinya
(sumpahnya) sendiri. Dan dari dakwahnya ‘Umair bin Wahb ini banyak orang masuk
Islam. Selanjutnya ‘Umair tetap menjadi seorang Islam sejati hingga
wafatnya.
Demikianlah
singkatnya riwayat Islamnya ‘Umair dan sebabnya ketika itu, dan jika mengingat
akan Islamnya shahabat Umar bin Khaththab RA, maka terasalah, bahwa Islamnya
‘Umair tersebut tidak jauh berbeda dengan riwayat Islamnya Shahabat Umar RA,
yakni permulaannya sengaja hendak membunuh Nabi SAW.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak