Ahad,
07 Nopember 1999/28 Rajab 1420 Brosur no. :
1007/1047/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-69)
Telah
menjadi kebiasaan Nabi SAW apabila hendak mengerjakan sesuatu perkara yang
penting, sedang wahyu dari Allah belum diturunkan, maka beliau SAW mengadakan
“musyawarah” dengan shahabat-shahabat beliau yang terpandang. Yakni
shahabat-shahabat yang mempunyai pengetahuan dan pandangan luas serta
berpengaruh besar di kalangan kaumnya. Terutama shahabat Abu Bakar dan ‘Umar bin
Khaththab tidak pernah beliau tinggalkan, karena kedua shahabat ini kecuali
terpandang oleh Nabi juga berpengaruh besar bagi shahabat Muhajirin. Begitu pula
shahabat Sa’ad bin Mu’adz, disamping dia terpandang oleh Nabi juga terpandang
bagi shahabat Anshar, tidak ada bedanya dengan Abu Bakar dan
‘Umar.
Pada
waktu itu karena Nabi SAW belum mengetahui tentang cara-cara memberi hukuman
(keputusan) kepada orang-orang yang tertawan, maka beliau SAW mengadakan
musyawarah dengan para shahabat untuk mengambil keputusan.
Dalam
musyawarah tersebut Nabi SAW menanyakan kepada shahabat Abu Bakar, ‘Umar dan
Sa’ad bin Mu’adz bagaimana pendapat masing-masing tentang cara memberi hukuman
bagi para tawanan. Kemudian Abu Bakar mengemukakan pendapatnya, Abu Bakar
berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah kaummu dan masih
kerabatmu juga, maka dari itu saya berpendapat, bahwa mereka itu lebih baik tuan
kasih sayangi, sebagaimana Allah telah berkasih sayang kepada engkau, lebih baik
mereka itu kita mintai tebusan dengan harta benda dari keluarga mereka, yang
dengan tebusan itu nanti bisa menambah kekuatan kita kaum muslimin untuk
mengalahkan orang-orang kafir. Maka dengan jalan yang demikian itu mudah-mudahan
mereka mendapat petunjuk dari Allah untuk masuk
Islam”.
Setelah
mendengar pendapat Abu Bakar tersebut Nabi SAW diam sebentar, lalu shahabat
‘Umar RA disuruh mengemukakan pendapatnya. ‘Umar berkata, “Ya Rasulullah,
demi Allah, pendapat saya tidak seperti pendapat Abu Bakar. Saya tidak setuju
dengan pendapat Abu Bakar, sebab telah nyata-nyata mereka itu musuh Allah dan
musuh engkau, mereka pernah mendustakan engkau, mereka pernah menganiaya engkau,
mereka telah mengusir dan memerangi engkau, maka dari itu lebih baik mereka itu
dibunuh, dipotong leher mereka. Meskipun keadaan mereka itu masih kerabat kita,
masih famili dekat dengan kita, tetapi mereka telah nyata menjadi kepala
kekufuran, ketua kemusyrikan, dan pemuka kesesatan, maka jangan sampai mereka
itu kita biarkan hidup di muka bumi ini. Bahkan saya minta, yang membunuh itu
supaya dari kita masing-masing yang nyata-nyata masih saudara, seperti ‘Ali
supaya membunuh ‘Aqil, Hamzah membunuh ‘Abbas, begitu seterusnya. Yang demikian
itu supaya tampak jelas bagi mereka, bahwa kita sedikitpun tidak senang kepada
mereka dan kepada siapasaja yang berani menyekutukan Allah seru sekalian
alam”.
Nabi
SAW ketika itu diam, lalu menyuruh Sa’ad bin Mu’adz supaya mengemukakan
pendapatnya. Sa’ad bin Mu’adz berkata, “Ya Rasulullah, saya setuju dengan
pendapat ‘Umar, karena memang sudah tidak berguna lagi kita memberikan kasih
sayang kepada mereka itu”.
Kemudian
shahabat ‘Abdullah bin Rawahah (seorang pemuka dari Anshar juga) disuruh
mengemukakan pendapatnya. ‘Abdullah bin Rawahah berkata, “Ya Rasulullah,
menurut pendapat saya, lebih baik engkau kumpulkan kayu bakar yang banyak di
suatu jurang, lalu dinyalakan api, kemudian mereka itu kita lemparkan ke
dalamnya”.
Lalu
Nabi SAW diam. Kemudian bertanya lagi kepada Abu Bakar dan ‘Umar. Abu Bakar
mengemukakan pendapatnya sebagaimana semula, dan ‘Umarpun begitu pula. Lalu Nabi
SAW bertanya kepada shahabat yang lain, dan dijawab, “Ya Rasulullah, kami
setuju pendapat Abu Bakar”. Dan oleh sebagian yang lain dijawab, “Ya
Rasulullah, kami setuju pendapat ‘Umar”.
Oleh
karena ada dua pendapat yang masing-masing beralasan sama kuatnya, maka waktu
itu permusyawaratan dihentikan sebentar, lalu beliau masuk ke
rumah.
21.
Keputusan Nabi SAW dalam musyawarah.
Kemudian
Nabi SAW keluar dari rumah dan bersabda kepada para shahabat
:
اِنَّ اللهَ لَيُلَيِّنُ قُلُوْبَ اَقْوَامٍ حَتَّى تَكُوْنَ اَلْيَنَ
مِنَ اللَّبَنِ وَ اِنَّ اللهَ لَيُشَدِّدُ قُلُوْبَ اَقْوَامٍ حَتَّى تَكُوْنَ
اَشَدَّ مِنَ اْلحِجَارَةِ.
Sesungguhnya
Allah telah melembutkan hati beberapa kaum hingga keadaannya lebih lembut
daripada susu. Dan sesungguhnya Allah telah mengeraskan hati beberapa kaum
sehingga keadaannya lebih keras daripada batu.
Kemudian
beliau bersabda kepada Abu Bakar, “Sesungguhnya perumpamaan-mu, hai Abu Bakar,
seperti Nabi Ibrahim”. Dia berkata :
فَمَنْ تَبِعَنِيْ فَاِنَّه مِنِّيْ وَ مَنْ عَصَانِيْ فَاِنَّكَ
غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. ابرهيم:36
Maka
barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku,
dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
[QS. Ibrahim : 36]
Dan
juga seperti Nabi ‘Isa AS. Dia berkata :
اِنْ تُعَذّبْهُمْ فَاِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَ اِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ
فَاِنَّكَ اَنْتَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ. المائدة:118
Jika
Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika
Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi
Bijaksana.
[QS. Al-Maidah : 118]
Kemudian
Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar bin Khaththab, “Sesungguhnya perumpamaanmu,
hai ‘Umar, adalah seperti Nabi Musa AS”. Dia berkata :
رَبَّنَا اطْمِسْ عَلى اَمْوَالِهِمْ وَ اشْدُدْ عَلى قُلُوْبِهِمْ
فَلاَ يُؤْمِنُوْا حَتَّى يَرَوُا اْلعَذَابَ اْلاَلِيْمَ. يونس:88
Ya
Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka
tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.
[QS. Yunus : 88]
“Dan
juga seperti Nabi Nuh AS”.
Dia berkata :
رَبّ لاَ تَذَرْ عَلى اْلاَرْضِ مِنَ اْلكَافِرِيْنَ دَيَّارًا.
نوح:26
Ya
Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun diantara orang-orang kafir itu
tinggal diatas bumi.
[QS. Nuh : 26]
Kemudian
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya kamu sekalian berkewajiban, maka janganlah
kamu lewatkan seorangpun dari mereka (yang tertawan), melainkan mereka itu harus
membayar tebusan dengan harta-benda, atau dipenggal leher
mereka”.
Dengan
sabda Nabi SAW tersebut berarti para tawanan itu harus membayar tebusan dengan
harta benda, dan jika tidak dapat membayarnya akan dipenggal leher mereka atau
dibunuh. Dan sabda beliau itu mengambil kedua pendapat di atas, karena
kedua-duanya sekalipun nampaknya berselisih, tetapi tujuannya sama. Yakni
masing-masing hendak menjunjung tinggi agama Allah dan menjatuhkan kemusyrikan
atau kekufuran.
Kemudian
diputuskan pula bahwa orang-orang yang tertawan supaya dimintai tebusan, tiap
seorang yang mampu 4.000 dirham, dan yang tidak mampu serendah-rendahnya 1.000
dirham. Dan yang tidak membayar tebusan maka mereka dipenggal lehernya. Setelah
Nabi SAW mengambil keputusan tersebut, maka para shahabat menerimanya dengan
ikhlas.
22.
Nabi SAW menerima tebusan
Diriwayatkan,
bahwa sesudah ada putusan yang sedemikian tadi, lalu disiarkan kepada mereka
(yang tertawan), dan di antara mereka itu ada seorang yang bernama ‘Amr bin
Abdullah bin Utsman al-Jumahi. Ketika itu setelah ia mendengar keputusan yang
menakutkan tadi, lalu segera datang kepada Nabi SAW sambil memohon diselamatkan
dari hukuman bunuh dan minta dibebaskan dari membayar tebusan. Ia berkata dengan
menangis, “Ya Muhammad ! Sesungguhnya saya ini seorang yang sangat melarat,
sedang saya mempunyai lima anak perempuan, saya tidak dapat membayar tebusan
sedikitpun. Maka dari itu tebusan saya hendaklah engkau sedekahkan saja kepada
anak-anak saya itu. Muhammad, kasihanilah diriku. Dan aku berjanji dengan
sungguh-sungguh kepada engkau, bahwa selama hidup aku tidak akan berkata jelek
kepadamu, tidak akan memusuhimu, lebih-lebih memerangimu dan kaummu. Aku tidak
akan berani mengganggu agamamu”.
Kemudian
‘Amr dibebaskan Nabi SAW dan ia kembali ke Makkah dengan tidak diambil tebusan
sedikitpun tetapi dengan perjanjian tidak akan merintangi
Islam.
Perlu
diketahui bahwa ‘Amr bin Abdullah tersebut terkenal dengan nama Abu ‘Azzah,
seorang ahli syi’ir yang terkenal di Makkah. Setelah ia kembali ke Makkah lalu
menunjukkan kecongkakan dan kesombongannya lagi. Dengan syi’irnya yang tajam, ia
kembali menghina, memperolok-olok dan menyakiti Nabi SAW. Diantaranya ketika itu
ia berkata kepada kawan-kawannya, “Saya telah dapat menipu dan menyihir
Muhammad dan para pengikutnya, sehingga saya terlepas dari jeratannya”.
Singkatnya ia mengulang perbuatannya yang lama, tidak menghargai perjanjiannya
sendiri dengan Nabi SAW. Maka ketika terjadi perang di Uhud, ia menjadi tentara
Quraisy untuk memerangi kaum muslimin. Dan akhirnya ia dapat ditangkap dan
ditawan oleh tentara kaum muslimin di Uhud, lalu dibunuh oleh tentara muslimin
dengan perintah Nabi SAW.
Dan
di antara mereka yang tertawan, terdapat ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (seorang
paman Nabi sendiri). Waktu itu Nabi SAW berkata kepada beliau : Hai paman, bagi
engkau lebih baik membayar tebusan saja untukmu, untuk anak laki-laki saudaramu
(‘Aqil bin Abi Thalib saudara kandung ‘Ali bin Abi Thalib), dan Naufal bin
Harits, karena engkau seorang hartawan.
‘Abbas
berkata, “Muhammad, mengapa engkau suruh aku supaya membayar tebusan.
Sedangkan saya keluar dari Makkah ini dipaksa oleh kaum Quraisy, bukan dari
kemauanku sendiri. Dan engkau mengerti, bahwa saya ini seorang yang telah masuk
Islam”.
Nabi
SAW berkata, “Hai pamanku. Saya tahu dan mengerti, bahwa engkau keluar itu
terpaksa, dan saya mengerti juga bahwa engkau itu seorang pamanku yang telah
lama mengikut Islam, Allah sendiri yang mengetahui keislamanmu. Sedang saya
harus menjatuhkan hukum menurut dhahirnya, maka engkau tetap harus membayar
tebusan”.
‘Abbas
berkata, “Muhammad, sekarang saya sudah tidak punya uang untuk menebus,
karena harta benda saya telah saya tinggalkan untuk fakir miskin orang Quraisy.
Saya tidak dapat membayar tebusan”.
Nabi
SAW bersabda, “Mana harta bendamu yang engkau terimakan kepada istrimu Ummul
Fadhl di Makkah ketika engkau akan keluar dari rumah berangkat ke Badar. Yang
ketika itu engkau berkata kepada Ummul Fadhl : “Saya tidak tahu apa yang akan
mengenai pada diriku, maka dari itu jika datang suatu keadaan dengan tiba-tiba
(yakni mati) kepadaku, maka ini (harta) untuk engkau Ummul Fadhl, ini untuk
Abdullah, ini untuk Ubaidillah, ini untuh Fadhl dan ini untuk Utsman”.
(Nama-nama tersebut adalah nama anak-anak laki-laki
‘Abbas).
‘Abbas
berkata, “Siapa yang berkata begitu Muhammad ?”. Nabi menjawab,
“Engkau yang berkata begitu kepada Ummul Fadhl ketika itu”. Bahkan engkau
juga berkata kepadanya, “Kalau nanti saya mati, maka saya sudah meninggalkan
kamu dengan kekayaan”.
‘Abbas
berkata, “Siapakah yang mengabarkan begitu kepada engkau hai Muhammad ?”.
Nabi SAW menjawab, “Allah yang mengabari begitu kepada
saya”.
‘Abbas
berkata, “Demi Dzat yang mengutus engkau dengan benar, sungguh saya percaya
benar-benar, bahwa engkau pesuruh Allah”.
Dan
akhirnya ‘Abbas membayar tebusan untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang
yang menjadi tanggungannya.
Ada
lagi di antara mereka yang tertawan, seorang pemuda Quraisy yang terkenal
bernama Abul ‘Ash. Dia adalah suami Zainab puteri Nabi SAW. Jadi ia adalah
menantu Nabi SAW. Tetapi dia tidak mau mengikuti seruan Nabi SAW ketika beliau
SAW masih di Makkah, dia pernah disuruh oleh Nabi supaya menceraikan isterinya,
sebagaimana Nabi menyuruh kedua anak laki-laki Abu Lahab yang menjadi suami
kedua puteri Nabi, tetapi Abul ‘Ash ketika itu menolak perintah Nabi tersebut
dan Zainab tetap menjadi isterinya.
Ketika
ia menjadi seorang tawanan, Nabi SAW tidak akan melepasnya jika ia tidak
membayar tebusan sebagaimana yang telah diputuskan. Oleh sebab itu, ia lalu
menyuruh seseorang kepada isterinya (Zainab) supaya mengirim harta yang cukup
untuk menebus dirinya. Maka Zainab lalu menyuruh seseorang mengirimkan sebuah
perhiasan berupa kalung emas yang mahal harganya kepada Abul ‘Ash. Setelah
kalung tadi diterimanya, lalu disampaikan kepada Nabi SAW.
Kalung
tersebut sesungguhnya kepunyaan Zainab sendiri yang berasal dari pemberian
ibunya (Sayyidah Khadijah) ketika ia dinikahi oleh Abul ‘Ash. Oleh sebab itu
setelah kalung tersebut diterima oleh Nabi SAW maka beliau terkejut ketika
melihat kalung itu. Karena beliau mengetahui bahwa kalung itu dari pemberian
Khadijah (isteri beliau yang pertama dan
yang sangat dicintai oleh Nabi SAW). Ketika itu perasaan Nabi sangat terharu,
karena teringat akan jasa-jasa Siti Khadijah RA. Oleh sebab itu Nabi SAW lalu
bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Bagaimana pendapat kamu sekalian, jika
Abul ‘Ash itu dilepaskan saja dengan tidak membayar tebusan apapun, dan kalung
ini yang akan dipergunakan untuk menebus dirinya dikembalikan saja kepada
isterinya ? Tetapi ia akan kami janji, bahwa setelah sampai di Makkah supaya
segera menceraikan anakku, lalu memberangkatkannya ke Madinah, biar ikut aku di
Madinah”. Ketika itu sekalian sahabat setuju apa yang menjadi kehendak Nabi
SAW.
Kemudian
Abul ‘Ash dilepaskan dari tawanan dan segera berangkat pulang ke Makkah bersama
dua orang sahabat yang disuruh oleh Nabi SAW untuk menjemput Zainab ialah Zaid
bin Haritsah dan seorang lagi dari sahabat Anshar. Mereka supaya menjemput
Zainab di luar kota Makkah dan menghantarkannya sampai ke Madinah. Sebab itu
setelah Abul ‘Ash sampai di Makkah lalu menceraikan isterinya, dan menyuruhnya
supaya lekas berangkat ke Madinah. Ketika itu Zainab sangat gembira dan segera
berangkat ke Madinah. Selanjutnya Abul ‘Ash tetap menjadi seorang musyrik di
Makkah, dan isterinya (Zainab) mengikut ayahnya (Nabi SAW) di
Madinah.
Dan
diantara mereka yang tertawan ialah seorang yang bernama Abu ‘Aziz bin ‘Umair
saudaranya sahabat Mush’ab bin ‘Umair RA. Ketika itu ia ditebus oleh ibunya
dengan 4000 dirham, maka akhirnya dilepaskan oleh Nabi SAW lalu kembali ke
Makkah.
Diantara
mereka yang tertawan ada seorang pemuda Quraisy yang bernama Walid bin Walid. Ia
setelah ditebus oleh kedua saudaranya (Khalid dan Hasyim), lalu dilepas oleh
Nabi SAW dan segera kembali ke Makkah. Tetapi setelah sampai di Makkah, dengan
tidak disangka-sangka oleh kedua saudaranya, ia mengikut Islam. Waktu itu oleh
kedua saudaranya yang menebusnya ditanya, “Mengapa kamu tidak mengikut Islam
sebelum kamu ditebus ?”.
Ia
menjawab, “Kalau saya ikut Islam sebelum dilepaskan dan sebelum ditebus, saya
khawatir kalau Islam saya nanti terhitung masuk Islam karena takut ditawan atau
dibunuh”.
Oleh
sebab itu sudah barang tentu ia lalu mendapat penghinaan dan cercaan dari
saudara-saudaranya. Waktu itu ia akan berangkat hijrah ke Madinah, tetapi oleh
kedua saudaranya tadi tidak diperbolehkan berangkat ke Madinah, ia dibiarkan
mengikut Islam oleh saudara-saudaranya, dan dia baru dapat bertemu dengan Nabi
SAW pada ‘Umratul Qadla’.
Demikianlah,
masing-masing tawanan membayar tebusan kepada Nabi SAW. Adapun di antara mereka
yang dapat menulis dan membaca, padahal ia tidak dapat membayar tebusan, oleh
Nabi SAW mereka dibebaskan dari tawanan, tetapi disuruh mengajar menulis dan
membaca kepada anak-anak kaum Muslimin di Madinah, yang demikian itu adalah
sebagai gantinya tebusan mereka. Dan tiap-tiap orang dari mereka itu disuruh mengajar 10
anak.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak