POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE

Tarikh Nabi Muhammad SAW (ke-69) 20. Nabi SAW bermusyawarah mengenai tawanan Badr.

Posted by

Ahad, 07 Nopember 1999/28 Rajab 1420                     Brosur no. : 1007/1047/SI
Tarikh Nabi Muhammad SAW (ke-69)


20. Nabi SAW bermusyawarah mengenai tawanan Badr.
Telah menjadi kebiasaan Nabi SAW apabila hendak mengerjakan sesuatu perkara yang penting, sedang wahyu dari Allah belum diturunkan, maka beliau SAW mengadakan “musyawarah” dengan shahabat-shahabat beliau yang terpandang. Yakni shahabat-shahabat yang mempunyai pengetahuan dan pandangan luas serta berpengaruh besar di kalangan kaumnya. Terutama shahabat Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab tidak pernah beliau tinggalkan, karena kedua shahabat ini kecuali terpandang oleh Nabi juga berpengaruh besar bagi shahabat Muhajirin. Begitu pula shahabat Sa’ad bin Mu’adz, disamping dia terpandang oleh Nabi juga terpandang bagi shahabat Anshar, tidak ada bedanya dengan Abu Bakar dan ‘Umar.
Pada waktu itu karena Nabi SAW belum mengetahui tentang cara-cara memberi hukuman (keputusan) kepada orang-orang yang tertawan, maka beliau SAW mengadakan musyawarah dengan para shahabat untuk mengambil keputusan.
Dalam musyawarah tersebut Nabi SAW menanyakan kepada shahabat Abu Bakar, ‘Umar dan Sa’ad bin Mu’adz bagaimana pendapat masing-masing tentang cara memberi hukuman bagi para tawanan. Kemudian Abu Bakar mengemukakan pendapatnya, Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah kaummu dan masih kerabatmu juga, maka dari itu saya berpendapat, bahwa mereka itu lebih baik tuan kasih sayangi, sebagaimana Allah telah berkasih sayang kepada engkau, lebih baik mereka itu kita mintai tebusan dengan harta benda dari keluarga mereka, yang dengan tebusan itu nanti bisa menambah kekuatan kita kaum muslimin untuk mengalahkan orang-orang kafir. Maka dengan jalan yang demikian itu mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk dari Allah untuk masuk Islam”.
Setelah mendengar pendapat Abu Bakar tersebut Nabi SAW diam sebentar, lalu shahabat ‘Umar RA disuruh mengemukakan pendapatnya. ‘Umar berkata, “Ya Rasulullah, demi Allah, pendapat saya tidak seperti pendapat Abu Bakar. Saya tidak setuju dengan pendapat Abu Bakar, sebab telah nyata-nyata mereka itu musuh Allah dan musuh engkau, mereka pernah mendustakan engkau, mereka pernah menganiaya engkau, mereka telah mengusir dan memerangi engkau, maka dari itu lebih baik mereka itu dibunuh, dipotong leher mereka. Meskipun keadaan mereka itu masih kerabat kita, masih famili dekat dengan kita, tetapi mereka telah nyata menjadi kepala kekufuran, ketua kemusyrikan, dan pemuka kesesatan, maka jangan sampai mereka itu kita biarkan hidup di muka bumi ini. Bahkan saya minta, yang membunuh itu supaya dari kita masing-masing yang nyata-nyata masih saudara, seperti ‘Ali supaya membunuh ‘Aqil, Hamzah membunuh ‘Abbas, begitu seterusnya. Yang demikian itu supaya tampak jelas bagi mereka, bahwa kita sedikitpun tidak senang kepada mereka dan kepada siapasaja yang berani menyekutukan Allah seru sekalian alam”.
Nabi SAW ketika itu diam, lalu menyuruh Sa’ad bin Mu’adz supaya mengemukakan pendapatnya. Sa’ad bin Mu’adz berkata, “Ya Rasulullah, saya setuju dengan pendapat ‘Umar, karena memang sudah tidak berguna lagi kita memberikan kasih sayang kepada mereka itu”.
Kemudian shahabat ‘Abdullah bin Rawahah (seorang pemuka dari Anshar juga) disuruh mengemukakan pendapatnya. ‘Abdullah bin Rawahah berkata, “Ya Rasulullah, menurut pendapat saya, lebih baik engkau kumpulkan kayu bakar yang banyak di suatu jurang, lalu dinyalakan api, kemudian mereka itu kita lemparkan ke dalamnya”.
Lalu Nabi SAW diam. Kemudian bertanya lagi kepada Abu Bakar dan ‘Umar. Abu Bakar mengemukakan pendapatnya sebagaimana semula, dan ‘Umarpun begitu pula. Lalu Nabi SAW bertanya kepada shahabat yang lain, dan dijawab, “Ya Rasulullah, kami setuju pendapat Abu Bakar”. Dan oleh sebagian yang lain dijawab, “Ya Rasulullah, kami setuju pendapat ‘Umar”.
Oleh karena ada dua pendapat yang masing-masing beralasan sama kuatnya, maka waktu itu permusyawaratan dihentikan sebentar, lalu beliau masuk ke rumah.
21. Keputusan Nabi SAW dalam musyawarah.
Kemudian Nabi SAW keluar dari rumah dan bersabda kepada para shahabat :
اِنَّ اللهَ لَيُلَيِّنُ قُلُوْبَ اَقْوَامٍ حَتَّى تَكُوْنَ اَلْيَنَ مِنَ اللَّبَنِ وَ اِنَّ اللهَ لَيُشَدِّدُ قُلُوْبَ اَقْوَامٍ حَتَّى تَكُوْنَ اَشَدَّ مِنَ اْلحِجَارَةِ.
Sesungguhnya Allah telah melembutkan hati beberapa kaum hingga keadaannya lebih lembut daripada susu. Dan sesungguhnya Allah telah mengeraskan hati beberapa kaum sehingga keadaannya lebih keras daripada batu.
Kemudian beliau bersabda kepada Abu Bakar, “Sesungguhnya perumpamaan-mu, hai Abu Bakar, seperti Nabi Ibrahim”. Dia berkata :
فَمَنْ تَبِعَنِيْ فَاِنَّه مِنِّيْ وَ مَنْ عَصَانِيْ فَاِنَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. ابرهيم:36
Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Ibrahim : 36]
Dan juga seperti Nabi ‘Isa AS. Dia berkata :
اِنْ تُعَذّبْهُمْ فَاِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَ اِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَاِنَّكَ اَنْتَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ. المائدة:118
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. [QS. Al-Maidah : 118]
Kemudian Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar bin Khaththab, “Sesungguhnya perumpamaanmu, hai ‘Umar, adalah seperti Nabi Musa AS”. Dia berkata :
رَبَّنَا اطْمِسْ عَلى اَمْوَالِهِمْ وَ اشْدُدْ عَلى قُلُوْبِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُوْا حَتَّى يَرَوُا اْلعَذَابَ اْلاَلِيْمَ. يونس:88
Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih. [QS. Yunus : 88]
“Dan juga seperti Nabi Nuh AS”. Dia berkata :
رَبّ لاَ تَذَرْ عَلى اْلاَرْضِ مِنَ اْلكَافِرِيْنَ دَيَّارًا. نوح:26
Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun diantara orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi. [QS. Nuh : 26]
Kemudian Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya kamu sekalian berkewajiban, maka janganlah kamu lewatkan seorangpun dari mereka (yang tertawan), melainkan mereka itu harus membayar tebusan dengan harta-benda, atau dipenggal leher mereka”.
Dengan sabda Nabi SAW tersebut berarti para tawanan itu harus membayar tebusan dengan harta benda, dan jika tidak dapat membayarnya akan dipenggal leher mereka atau dibunuh. Dan sabda beliau itu mengambil kedua pendapat di atas, karena kedua-duanya sekalipun nampaknya berselisih, tetapi tujuannya sama. Yakni masing-masing hendak menjunjung tinggi agama Allah dan menjatuhkan kemusyrikan atau kekufuran.
Kemudian diputuskan pula bahwa orang-orang yang tertawan supaya dimintai tebusan, tiap seorang yang mampu 4.000 dirham, dan yang tidak mampu serendah-rendahnya 1.000 dirham. Dan yang tidak membayar tebusan maka mereka dipenggal lehernya. Setelah Nabi SAW mengambil keputusan tersebut, maka para shahabat menerimanya dengan ikhlas.
22. Nabi SAW menerima tebusan
Diriwayatkan, bahwa sesudah ada putusan yang sedemikian tadi, lalu disiarkan kepada mereka (yang tertawan), dan di antara mereka itu ada seorang yang bernama ‘Amr bin Abdullah bin Utsman al-Jumahi. Ketika itu setelah ia mendengar keputusan yang menakutkan tadi, lalu segera datang kepada Nabi SAW sambil memohon diselamatkan dari hukuman bunuh dan minta dibebaskan dari membayar tebusan. Ia berkata dengan menangis, “Ya Muhammad ! Sesungguhnya saya ini seorang yang sangat melarat, sedang saya mempunyai lima anak perempuan, saya tidak dapat membayar tebusan sedikitpun. Maka dari itu tebusan saya hendaklah engkau sedekahkan saja kepada anak-anak saya itu. Muhammad, kasihanilah diriku. Dan aku berjanji dengan sungguh-sungguh kepada engkau, bahwa selama hidup aku tidak akan berkata jelek kepadamu, tidak akan memusuhimu, lebih-lebih memerangimu dan kaummu. Aku tidak akan berani mengganggu agamamu”.
Kemudian ‘Amr dibebaskan Nabi SAW dan ia kembali ke Makkah dengan tidak diambil tebusan sedikitpun tetapi dengan perjanjian tidak akan merintangi Islam.
Perlu diketahui bahwa ‘Amr bin Abdullah tersebut terkenal dengan nama Abu ‘Azzah, seorang ahli syi’ir yang terkenal di Makkah. Setelah ia kembali ke Makkah lalu menunjukkan kecongkakan dan kesombongannya lagi. Dengan syi’irnya yang tajam, ia kembali menghina, memperolok-olok dan menyakiti Nabi SAW. Diantaranya ketika itu ia berkata kepada kawan-kawannya, “Saya telah dapat menipu dan menyihir Muhammad dan para pengikutnya, sehingga saya terlepas dari jeratannya”. Singkatnya ia mengulang perbuatannya yang lama, tidak menghargai perjanjiannya sendiri dengan Nabi SAW. Maka ketika terjadi perang di Uhud, ia menjadi tentara Quraisy untuk memerangi kaum muslimin. Dan akhirnya ia dapat ditangkap dan ditawan oleh tentara kaum muslimin di Uhud, lalu dibunuh oleh tentara muslimin dengan perintah Nabi SAW.
Dan di antara mereka yang tertawan, terdapat ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (seorang paman Nabi sendiri). Waktu itu Nabi SAW berkata kepada beliau : Hai paman, bagi engkau lebih baik membayar tebusan saja untukmu, untuk anak laki-laki saudaramu (‘Aqil bin Abi Thalib saudara kandung ‘Ali bin Abi Thalib), dan Naufal bin Harits, karena engkau seorang hartawan.
‘Abbas berkata, “Muhammad, mengapa engkau suruh aku supaya membayar tebusan. Sedangkan saya keluar dari Makkah ini dipaksa oleh kaum Quraisy, bukan dari kemauanku sendiri. Dan engkau mengerti, bahwa saya ini seorang yang telah masuk Islam”.
Nabi SAW berkata, “Hai pamanku. Saya tahu dan mengerti, bahwa engkau keluar itu terpaksa, dan saya mengerti juga bahwa engkau itu seorang pamanku yang telah lama mengikut Islam, Allah sendiri yang mengetahui keislamanmu. Sedang saya harus menjatuhkan hukum menurut dhahirnya, maka engkau tetap harus membayar tebusan”.
‘Abbas berkata, “Muhammad, sekarang saya sudah tidak punya uang untuk menebus, karena harta benda saya telah saya tinggalkan untuk fakir miskin orang Quraisy. Saya tidak dapat membayar tebusan”.
Nabi SAW bersabda, “Mana harta bendamu yang engkau terimakan kepada istrimu Ummul Fadhl di Makkah ketika engkau akan keluar dari rumah berangkat ke Badar. Yang ketika itu engkau berkata kepada Ummul Fadhl : “Saya tidak tahu apa yang akan mengenai pada diriku, maka dari itu jika datang suatu keadaan dengan tiba-tiba (yakni mati) kepadaku, maka ini (harta) untuk engkau Ummul Fadhl, ini untuk Abdullah, ini untuk Ubaidillah, ini untuh Fadhl dan ini untuk Utsman”. (Nama-nama tersebut adalah nama anak-anak laki-laki ‘Abbas).
‘Abbas berkata, “Siapa yang berkata begitu Muhammad ?”. Nabi menjawab, “Engkau yang berkata begitu kepada Ummul Fadhl ketika itu”. Bahkan engkau juga berkata kepadanya, “Kalau nanti saya mati, maka saya sudah meninggalkan kamu dengan kekayaan”.
‘Abbas berkata, “Siapakah yang mengabarkan begitu kepada engkau hai Muhammad ?”. Nabi SAW menjawab, “Allah yang mengabari begitu kepada saya”.
‘Abbas berkata, “Demi Dzat yang mengutus engkau dengan benar, sungguh saya percaya benar-benar, bahwa engkau pesuruh Allah”.
Dan akhirnya ‘Abbas membayar tebusan untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Ada lagi di antara mereka yang tertawan, seorang pemuda Quraisy yang terkenal bernama Abul ‘Ash. Dia adalah suami Zainab puteri Nabi SAW. Jadi ia adalah menantu Nabi SAW. Tetapi dia tidak mau mengikuti seruan Nabi SAW ketika beliau SAW masih di Makkah, dia pernah disuruh oleh Nabi supaya menceraikan isterinya, sebagaimana Nabi menyuruh kedua anak laki-laki Abu Lahab yang menjadi suami kedua puteri Nabi, tetapi Abul ‘Ash ketika itu menolak perintah Nabi tersebut dan Zainab tetap menjadi isterinya.
Ketika ia menjadi seorang tawanan, Nabi SAW tidak akan melepasnya jika ia tidak membayar tebusan sebagaimana yang telah diputuskan. Oleh sebab itu, ia lalu menyuruh seseorang kepada isterinya (Zainab) supaya mengirim harta yang cukup untuk menebus dirinya. Maka Zainab lalu menyuruh seseorang mengirimkan sebuah perhiasan berupa kalung emas yang mahal harganya kepada Abul ‘Ash. Setelah kalung tadi diterimanya, lalu disampaikan kepada Nabi SAW.
Kalung tersebut sesungguhnya kepunyaan Zainab sendiri yang berasal dari pemberian ibunya (Sayyidah Khadijah) ketika ia dinikahi oleh Abul ‘Ash. Oleh sebab itu setelah kalung tersebut diterima oleh Nabi SAW maka beliau terkejut ketika melihat kalung itu. Karena beliau mengetahui bahwa kalung itu dari pemberian Khadijah (isteri beliau yang  pertama dan yang sangat dicintai oleh Nabi SAW). Ketika itu perasaan Nabi sangat terharu, karena teringat akan jasa-jasa Siti Khadijah RA. Oleh sebab itu Nabi SAW lalu bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Bagaimana pendapat kamu sekalian, jika Abul ‘Ash itu dilepaskan saja dengan tidak membayar tebusan apapun, dan kalung ini yang akan dipergunakan untuk menebus dirinya dikembalikan saja kepada isterinya ? Tetapi ia akan kami janji, bahwa setelah sampai di Makkah supaya segera menceraikan anakku, lalu memberangkatkannya ke Madinah, biar ikut aku di Madinah”. Ketika itu sekalian sahabat setuju apa yang menjadi kehendak Nabi SAW.
Kemudian Abul ‘Ash dilepaskan dari tawanan dan segera berangkat pulang ke Makkah bersama dua orang sahabat yang disuruh oleh Nabi SAW untuk menjemput Zainab ialah Zaid bin Haritsah dan seorang lagi dari sahabat Anshar. Mereka supaya menjemput Zainab di luar kota Makkah dan menghantarkannya sampai ke Madinah. Sebab itu setelah Abul ‘Ash sampai di Makkah lalu menceraikan isterinya, dan menyuruhnya supaya lekas berangkat ke Madinah. Ketika itu Zainab sangat gembira dan segera berangkat ke Madinah. Selanjutnya Abul ‘Ash tetap menjadi seorang musyrik di Makkah, dan isterinya (Zainab) mengikut ayahnya (Nabi SAW) di Madinah.
Dan diantara mereka yang tertawan ialah seorang yang bernama Abu ‘Aziz bin ‘Umair saudaranya sahabat Mush’ab bin ‘Umair RA. Ketika itu ia ditebus oleh ibunya dengan 4000 dirham, maka akhirnya dilepaskan oleh Nabi SAW lalu kembali ke Makkah.
Diantara mereka yang tertawan ada seorang pemuda Quraisy yang bernama Walid bin Walid. Ia setelah ditebus oleh kedua saudaranya (Khalid dan Hasyim), lalu dilepas oleh Nabi SAW dan segera kembali ke Makkah. Tetapi setelah sampai di Makkah, dengan tidak disangka-sangka oleh kedua saudaranya, ia mengikut Islam. Waktu itu oleh kedua saudaranya yang menebusnya ditanya, “Mengapa kamu tidak mengikut Islam sebelum kamu ditebus ?”.
Ia menjawab, “Kalau saya ikut Islam sebelum dilepaskan dan sebelum ditebus, saya khawatir kalau Islam saya nanti terhitung masuk Islam karena takut ditawan atau dibunuh”.
Oleh sebab itu sudah barang tentu ia lalu mendapat penghinaan dan cercaan dari saudara-saudaranya. Waktu itu ia akan berangkat hijrah ke Madinah, tetapi oleh kedua saudaranya tadi tidak diperbolehkan berangkat ke Madinah, ia dibiarkan mengikut Islam oleh saudara-saudaranya, dan dia baru dapat bertemu dengan Nabi SAW pada ‘Umratul Qadla’.
Demikianlah, masing-masing tawanan membayar tebusan kepada Nabi SAW. Adapun di antara mereka yang dapat menulis dan membaca, padahal ia tidak dapat membayar tebusan, oleh Nabi SAW mereka dibebaskan dari tawanan, tetapi disuruh mengajar menulis dan membaca kepada anak-anak kaum Muslimin di Madinah, yang demikian itu adalah sebagai gantinya tebusan mereka. Dan tiap-tiap orang dari mereka  itu disuruh mengajar 10 anak.


[Bersambung]


Demo Blog NJW V2 Updated at: September 19, 2019

0 komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah yang bijak