Ahad,
28 April 2002/15 Shafar 1423 Brosur No. :
1128/1168/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-104)
Pada
bulan Syawwal tahun ke-6 Hijriyah Rasulullah SAW membe-rangkatkan pasukan yang
dipimpin oleh Kurz bin Jabir Al-Fahriy untuk mengejar orang-orang ‘Ukal dari
‘Urainah yang telah murtad dan membunuh penggembala unta Rasulullah SAW dan
merampas unta-unta tersebut, sebagaimana riwayat berikut :
Anas
bin Malik meriwayatkan bahwa beberapa orang dari daerah ‘Urainah datang ke
Madinah menemui Rasulullah SAW. Mereka terserang penyakit perut yang cukup
serius. Kepada mereka Rasulullah SAW menyarankan, “Jika kalian mau, kalian bisa
keluar ke tempat unta-unta sedeqah, lalu kalian minum susu dan air kencingnya”.
Lalu mereka melakukannya, ternyata mereka menjadi sehat.
Kemudian
mereka menyerang para penggembala unta dan membunuh mereka, bahkan mereka murtad
dari Islam. Mereka juga merampas unta-unta Rasulullah SAW tersebut. Setelah
khabar ulah mereka itu sampai kepada Nabi SAW, maka beliau lalu mengirim pasukan
untuk menangkap mereka. Akhirnya mereka tertangkap dan dihadapkan kepada beliau.
Rasulullah SAW lalu memotong tangan dan kaki mereka serta mencukil mata mereka,
dan membiarkan mereka di Harrah, (suatu daerah bebatuan di Madinah), sampai
mereka meninggal. [HR Muslim juz 3, hal. 1296]
Dalam
riwayat lain disebutkan dari Abu Qilabah dari Anas, sesungguhnya ada delapan
orang dari suku ‘Ukal datang menemui Rasulullah SAW dan berbaiat kepada beliau
pada Islam. Lalu mereka mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa mereka sakit karena
tidak cocok dengan iklim di Madinah. Beliau SAW menyarankan, “Apakah kalian mau
keluar bersama penggembala unta kami, lalu kalian minum air kencing dan susunya
?”. Mereka menjawab, “Baiklah”. Lalu merekapun keluar dan minum air kencing
serta susu unta milik Rasulullah SAW tersebut, ternyata mereka menjadi sehat
kembali.
Lalu
mereka membunuh penggembala dan merampas untanya. Ketika berita itu sampai
kepada Rasulullah SAW, beliau segera memerintahkan para shahabat untuk mengejar
mereka. Setelah berhasil ditangkap, mereka lalu dihadapkan kepada Rasulullah
SAW. Lalu tangan dan kaki mereka dipotong serta mata mereka dicukil. Kemudian
mereka dipanggang di terik matahari sampai meninggal dunia. [HR Muslim juz 3,
hal. 1296]
Dalam
riwayat lain dari Anas bin Malik, dia berkata, “Satu rombongan dari suku ‘Ukal
atau suku ‘Urainah datang menemui Rasulullah SAW. Di Madinah tersebut mereka
terserang penyakit dalam. Rasulullah SAW lalu menyuruh mereka supaya ke tempat
unta yang sangat deras air susunya, dan menyuruh mereka untuk meminum air
kencing dan susu unta tersebut”.
Dan
ditambahkan, “Setelah dicukil matanya, mereka lalu dilemparkan ke Harrah. Mereka
meminta minum namun tidak diberi minum”. [HR Muslim juz 3, hal.
1297]
Dalam
riwayat lain dari Anas, dia berkata, “Sesungguhnya alasan Nabi SAW mencukil mata
orang-orang yang murtad itu sebab mereka juga tega mencukil mata para
penggembala unta”. [HR Muslim juz 3, hal. 1298]
‘Umrah
Hudaibiyah
Pada
suatu malam hari dalam bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijriyah, Nabi SAW dalam
tidurnya bermimpi, bahwa beliau beserta para shahabatnya pergi bersama-sama ke
Makkah dan masuk di Masjidil Haram dengan aman, tidak ada seorang pun yang
merintanginya, sebagian ada yang menggundul kepalanya, dan sebagian ada yang
memotong rambut kepalanya.
Impian
Nabi SAW ini lalu diceritakan kepada para shahabatnya, yang kebetulan sedang
berkumpul di masjid. Beliau menerangkan apa yang telah dilihat dalam mimpinya
itu. Setelah mendengar keterangan Nabi itu, para shahabat merasa sangat gembira,
karena mereka mengerti bahwa mimpi Nabi SAW itu pasti terlaksana. Dan mereka
memang sangat rindu dan amat berhasrat untuk melihat keadaan kota Makkah dan
berziarah ke Masjidil Haram.
Nabi
Muhammad SAW dan kaum muslimin berangkat ke Makkah
Sebelum
Nabi SAW memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berangkat ke Makkah, lebih
dulu beliau memberitahukan kepada bangsa ‘Arab yang diam di sekitar kota
Madinah, bahwa beliau bersama para shahabatnya akan pergi ke Makkah, dengan
tujuan berziarah ke Masjidil Haram. Jika mereka tidak keberatan, akan diajak
oleh beliau untuk berangkat bersama-sama ke Makkah, karena mereka itu pun masih
menganggap bahwa Ka’bah itu sebuah rumah suci yang diziarahi pada setiap
tahunnya oleh segenap bangsa ‘Arab. Tetapi ajakan Nabi SAW yang baik dan suci
itu ditolaknya, karena mereka khawatir dan menyangka bahwa Nabi SAW dan kaum
muslimin yang ikut serta ke Makkah, setelah sampai di kota Makkah tidak akan
kembali lagi kepada keluarga mereka di Madinah.
Nabi
SAW mengambil sikap yang demikian itu dengan tujuan supaya diketahui oleh umum,
terutama oleh kaum Quraisy di Makkah, bahwa keberangkatan beliau beserta para
pengikutnya ke Makkah itu adalah semata-mata untuk berziarah ke Masjidil Haram
dan untuk menunaikan ‘umrah, bukan untuk berperang. Apabila nantinya kaum
Quraisy masih juga menghalang-halangi atau melarang bahkan sampai menyerang kaum
muslimin yang mengerjakan ibadah yang juga dikerjakan oleh kaum qabilah-qabilah
bangsa ‘Arab itu, niscaya sikap dan kelakuan mereka itu akan mendapat tantangan
atau perlawanan keras atau sekurang-kurangnya tidak akan disetujui oleh bangsa
‘Arab umumnya, karena perbuatan itu jelas merupakan suatu pelanggaran atas
kemerdekaan orang yang mengunjungi Rumah Suci yang menjadi hak milik dan pusaka
bersama bagi segenap bangsa ‘Arab. Itulah diantara sebab ajakan Nabi SAW kepada
kaum bangsa ‘Arab yang ada di sekitar Madinah.
Kemudian
pada hari yang telah ditentukan, di bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijriyah, Nabi
SAW bersama-sama para pengikut beliau (kaum muslimin) yang terdiri dari kaum
Muhajirin dan kaum Anshar, dan sebagian kecil dari kaum bangsa ‘Arab yang
memenuhi ajakan beliau, semuanya berjumlah 1.500 orang berangkat menuju ke kota
Makkah. Dan istri beliau yang ikut dalam perjalanan ini ialah Ummu Salamah.
Sebelum Nabi SAW berangkat, pimpinan ummat di Madinah diserahkan dulu kepada
shahabat ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Sebagimana biasa setiap beliau pergi ke luar
kota, pimpinan ummat diserahkan kepada salah seorang shahabatnya yang dipandang
cakap untuk memimpin ummat di Madinah selama beliau dalam bepergian. Dalam
perjalanan ini Nabi SAW mengendarai untanya yang bernama
Al-Qashwa’.
Dengan
membawa tujuh puluh ekor unta, yang satu persatunya telah diberi tanda bahwa
unta-unta itu untuk ibadah, bukan untuk kendaraan
berperang.
Selain
itu segenap kaum muslimin yang ikut serta tidak diperkenankan membawa senjata
dan alat perang, selain sebilah pedang yang harus dimasukkan dalam sarungnya,
senjata yang biasa dibawa dalam bepergian jauh oleh bangsa ‘Arab umumnya. Karena
di masa itu sudah menjadi adat kebiasaan bagi segenap bangsa ‘Arab bahwa jika
mereka bepergian jauh, sekalipun dalam waktu aman, mereka pasti membawa pedang
yang disisipkan dalam sarungnya.
Asal
mula perang Hudaibiyah
Selanjutnya
setelah perjalanan Nabi SAW dan kaum muslimin sampai di dusun Dzul Hulaifah
(nama sebuah tempat yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan kota
Madinah), maka beliau memerintahkan kepada segenap pengikutnya supaya berpakaian
ihram, masing-masing mulai berniat mengerjakan ‘umrah dan sambil talbiyah. Nabi
SAW juga memerintahkan kepada segenap kaum muslimin supaya memberi tanda kepada
unta-unta yang akan dipergunakan sebagai hadiah.
Dari
desa Dzul Hulaifah itu Nabi SAW mengutus seorang shahabat yang bernama Bisyr bin
Sufyan untuk menyelidiki dengan diam-diam ke Makkah, untuk melihat apa yang akan
dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap kedatangan beliau bersama pengikutnya itu.
Bisyr bin Sufyan bertolak menuju ke Makkah, dan dengan cepat dapatlah ia
menyelidiki segala sesuatu yang ditugaskan pada dirinya, dan dengan cepat pula
ia kembali untuk melaporkan segala sesuatu yang telah diketahuinya kepada Nabi
SAW.
Tatkala
Nabi SAW dan kaum muslimin sampai di ‘Usfan, bertemulah beliau dengan Bisyr,
lalu ia segera melaporkan segala sesuatu yang telah dilihatnya. Antara lain ia
memberitahukan kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, kaum Quraisy telah mendengar
berita keberangkatan tuan dari Madinah. Mereka sekarang telah keluar dari Makkah
dengan sangat marah. Mereka akan menghancurkan tuan. Sekarang ini mereka telah
sampai di Dzu Thuwa, mereka berjanji dengan nama Allah, bahwa tuan sekali-kali
tidak akan dperkenankan masuk ke kota Makkah. Barisan kuda mereka yang dipimpin
oleh Khalid bin Walid sudah diperintahkan supaya berangkat ke Kura’ul
Ghamim”.
Setelah
Nabi SAW mendengar laporan Bisyr tersebut, beliau bersabda
:
يَا
وَيْحَ قُرَيْشٍ، لَقَدْ اَكَلَتْهُمُ اْلحَرْبُ مَا ذَا عَلَيْهِمْ لَوْ خَلَّوْا
بَيْنِى وَ بَيْنَ سَائِرِ اْلعَرَبِ. فَاِنْ هُمْ اَصَابُوْنِى كَانَ الَّذِى
اَرَادُوْا، وَ اِنْ اَظْهَرَنِيَ اللهُ عَلَيْهِمْ دَخَلُوْا فِى اْلاِسْلاَمِ
وَافِرِيْنَ. وَ اِنْ لَمْ يَفْعَلُوْا قَاتَلُوْا وَ بِهِمْ قَوَّةٌ فَمَا تَظُنُّ
قُرَيْشٌ؟ فَوَ اللهِ لاَ اَزَالُ اُجَاهِدُ عَلَى الَّذِى بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ
حَتَّى يُظْهِرَهُ اللهُ اَوْ تَنْفَرِدَ هذِهِ السَّالِفَةُ. ابن هشام 4:
276
Kasihan
kaum Quraisy. Sesungguhnya mereka itu telah dilumpuhkan oleh peperangan. Apakah
mereka itu tidak lebih baik membiarkan saja antara saya dan bangsa ‘Arab lain ?
Jika mereka (bangsa ‘Arab lain) telah membahayakan saya, yang demikian ini yang
mereka inginkan. Dan jika Allah memberi kemenangan kepada saya mengalahkan atas
mereka, mereka memeluk Islam dengan sempurna. Dan jika mereka tidak mau
mengikutinya, mereka bisa memerangi karena mempunyai kekuatan. Lalu bagaimana
persangkaan kaum Quraisy itu ? Demi Allah, saya tidak akan berhenti berjuang
atas dasar saya diutus oleh Allah, sehingga Allah memberi kemenangan atau sampai
batang leher saya ini terpenggal (binasa).
[Ibnu Hisyam juz 4, hal. 276]
Demikianlah
sabda Nabi SAW, dan selanjutnya beliau bersabda pula :
مَنْ
رَجُلٌ يَخْرُجُ بِنَا عَلَى طَرِيْقٍ غَيْرِ طَرِيْقِهِمُ الَّتِى هُمْ بِهَا؟ ابن
هشام 4:276
Siapa
diantara kalian yang mengetahui jalan yang tidak biasa mereka lalui
?.
[Ibnu Hisyam juz 4, hal. 276]
Ketika
itu ada seorang lelaki dari Aslam menjawab dengan tegas, “Saya, ya
Rasulullah”.
Kemudian
Nabi SAW bersama para pengikutnya berjalan menuju jalan yang berliku-liku dan
sangat tandus. Tatkala keluar dari jalan yang demikian sulitnya itu dan
rombongan Nabi SAW telah sampai pada jalan yang mudah, ketika itu Nabi SAW
bersabda kepada segenap orang yang mengikutinya :
قُوْلُوْا:
نَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ نَتُوْبُ اِلَيْهِ
Ucapkanlah,
“Kami mohon ampun kepada Allah dan kami bertaubat kepada-Nya”.
Para
shahabat mematuhi perintah Nabi itu. Kemudian beliau bersabda
:
وَ
اللهِ، اِنَّهَا لَلْحِطَّةُ الَّتِى عُرِضَتْ عَلَى بَنِى اِسْرَاءِيْلَ فَلَمْ
يَقُوْلُوْهَا
Demi
Allah, sesungguhnya kalimah itu satu kiththah (memohon ampunan kepada Allah)
yang pernah diberikan kepada kaum bani Israil, tetapi mereka tidak mau
mengucapkannya.
[Ibnu Hisyam juz 4, hal. 277]
Setelah
penduduk Makkah mendengar berita akan kedatangan rombongan kaum muslimin yang
dipimpin oleh Nabi SAW ke Makkah, mereka sangat terperanjat dan sangat gusar,
mereka menyangka bahwa kedatangan kaum muslimin itu tentu akan menyerang mereka
dan menyerang kota Makkah. Walaupun Nabi SAW dan kaum muslimin telah menunjukkan
tanda-tanda yang jelas bahwa kedatangan mereka itu hanya akan menunaikan ibadah
semata-mata, namun segenap kaum musyrikin Quraisy di Makkah tetap
curiga.
Para
ketua kaum Quraisy tetap beranggapan bahwa kedatangan kaum muslimin itu tentu
akan menyerang mereka. Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka itu akan
menunaikan ibadah hanyalah sebagai tipu muslihat saja, untuk memperdaya penduduk
Makkah belaka, agar tidak mengadakan persiapan untuk
melawan.
Oleh
sebab itu, maka mereka telah sepakat akan menghalang-halangi kedatangan Nabi SAW
dan kaum muslimin itu ke Makkah. Mereka lalu mengadakan persiapan, mengumpulkan
balatentara yang terdiri dari bangsa ‘Arab yang diam di kota Makkah dan dari
qabilah-qabilah Arab yang diam di sekitar kota Makkah serta dari budak-budak
belian yang berasal dari bangsa Habsyi. Barisan berkuda kaum Quraisy pun
disiapkan sebanyak dua ratus orang yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dan
‘Ikrimah bin Abu Jahl. Kemudian barisan berkuda ini diperintahkan keluar dari
kota Makkah untuk menunggu dan menyelidiki kedatangan rombongan kaum muslimin
tersebut.
Selanjutnya
Nabi SAW dan para pengikutnya meneruskan perjalanan. Dan setelah perjalanannya
sampai di sebuah tempat, beliau bersabda, “Pasukan berkuda kaum Quraisy yang
dikepalai oleh Khalid bin Walid, sungguh telah berada di Kura’ul Ghamim. Oleh
karena itu, maka sekarang ambillah jalan sebelah kanan menuju Tsaniyatul
Murar”.
Perintah
Nabi SAW demikian ini untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak
diinginkan, karena tujuan beliau bukan akan berperang atau bertempur, tetapi
akan beribadah.
Kaum
muslimin mengambil jalan yang tidak dilalui pasukan berkuda kaum Quraisy yang
dipimpin oleh Khalid bin Walid itu dengan susah payah, Nabi SAW dan kaum
muslimin melalui jalan yang sebenarnya tidak untuk dilintasi manusia, yaitu
jalan-jalan yang terletak diantara lembah-lembah gunung. Sekalipun demikian
payahnya, namun kaum muslimin selalu thaat dan patuh, dan dengan tulus ikhlash
mereka mengikuti perintah beliau SAW.
Tindakan
yang diambil Nabi SAW yang demikian itu, membuat pasukan berkuda kaum Quraisy
yang dikepalai oleh Khalid bin Walid tercengang, karena rombongan kaum muslimin
sudah tidak ada di tempatnya dan tidak pula melintasi jalan yang diperkirakan
akan dilewati. Oleh sebab itu pasukan berkuda Khalid bin Walid segera kembali ke
Makkah, untuk memberitahukan kepada para ketua kaum Quraisy bahwa rombongan kaum
muslimin rupa-rupanya telah berjalan menuju ke Makkah, tetapi melalui jalan
lain. Mereka supaya berjaga-jaga dan siap apabila kaum muslimin itu memaksa akan
masuk Makkah.
Nabi
SAW dan kaum muslimin terus melintasi jalan-jalan yang berliku-liku dan sulit.
Mereka terus berjalan tanpa mengenal lelah, asal dapat sampai mendekati tempat
yang dituju, yaitu kota Makkah.
Selanjutnya,
setelah perjalanan Nabi SAW bersama-sama kaum muslimin sampai di suatu tempat
yang bernama Tsaniyatul Murar, suatu lembah di Hudaibiyah, suatu tempat yang
tidak begitu jauh lagi dari Makkah tiba-tiba unta beliau berhenti mendadak, lalu
merebahkan diri dan tidak mau berjalan lagi.
Diantara
para shahabat Nabi waktu itu ada yang menyangka bahwa unta itu mungkin kena
penyakit, dan sebagian dari mereka ada yang menyangka bahwa unta itu telah amat
capai, karena sudah berjalan sekian jauhnya, lebih-lebih setelah berjalan di
jalanan yang sangat sulit.
Setelah
unta Al-Qashwa’ sudah tidak mau berjalan lagi dan beliau telah mengerti pula
watak untanya itu, maka Nabi SAW bersabda kepada segenap pengikutnya
:
مَا
خَـَلأَتْ وَ مَا هُوَ لَهَا بِخُلُقٍ وَ لكِنْ حَبَسَهَا حَابِسُ اْلفِيْلِ عَنْ
مَكَّةَ، لاَ تَدْعُوْنِى قُرَيْشٌ اْليَوْمَ اِلَى خُطَّةٍ يَسْأَلُوْنَنِى
فِيْهَا صِلَةَ الرَّحِمِ اِلاَّ اَعْطَيْتُهُمْ اِيَّاهَا. ابن هشام 4:
277
Unta
ini tidak capai, dan tidak mempunyai watak yang demikian. Tetapi ia telah
ditahan oleh yang menahan gajah (dulu) dari Makkah. Oleh sebab itu, maka
sekarang (andaikata) kaum Quraisy mengajak saya ke suatu langkah baru, mereka
meminta saya untuk shilaturrahim, niscaya saya berikan juga kepada
mereka.
[Ibnu Hisyam juz 4, hal. 277]
Kemudian
beliau memerintahkan kepada para shahabat untuk berhenti di tempat
tersebut.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak