Ahad,
09 Juni 2002/27 Rabiul awwal 1423
Brosur No. : 1134/1174/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-106)
Setelah
empat kali berturut-turut Nabi SAW menerima kedatangan utusan Quraisy, tetapi
belum ada tanda yang menunjukkan bahwa kaum muslimin diijinkan masuk ke Makkah,
maka Nabi SAW mengirim utusan kepada mereka. Nabi SAW berbuat demikian karena
beliau menginginkan perdamaian. Utusan itu untuk menguatkan keterangan yang
telah diberikan kepada empat orang utusan kaum Quraisy bahwa kedatangan Nabi SAW
bersama kaum muslimin itu untuk berziyarah ke Baitullah, bukan untuk
berperang.
Ketika
itu Nabi SAW mengutus seorang shahabat yang bernama Khirasy bin Umayyah
Al-Khuza’iy supaya datang kepada kaum Quraisy di Makkah. Khirasy bin Umayyah
berangkat dengan mengendarai unta Nabi SAW yang bernama Ats-Tsa’lab, dengan
membawa amanat dari Nabi SAW untuk disampaikan kepada para ketua dan para
pembesar Quraisy di Makkah.
Setelah
tiba di Makkah, dan belum sampai di tempat yang dituju, untuk bertemu para
pembesar Quraisy, unta yang dinaikinya ditikam dan disembelih oleh pengacau
pihak Quraisy. Bahkan Khirasy sendiri hampir dibunuh. Ketika peristiwa itu
terjadi, orang-orang Ahabisy, kaum pengikut Hulais, mengetahuinya. Maka mereka
segera mencegah perbuatan yang kejam itu. Dengan pertolongan mereka itu, Khirasy
terlepas dari penganiayaan yang kejam. Kemudian Khirasy segera melaporkan
kejadian yang dialaminya tersebut kepada Nabi SAW.
Kemudian
para pembesar Quraisy mengirim empat puluh atau lima puluh orang ke tempat yang
berdekatan dengan tempat pemberhentian kaum muslimin untuk menyelidiki atau
mengintai-intai gerak-gerik Nabi SAW dan kaum muslimin dan untuk melakukan
sabotase. Pada waktu itu mereka sering melempari dengan batu dan melepas anak
panah ke tempat pemberhentian kaum muslimin tersebut. Oleh sebab itu maka pada
suatu malam, mereka ditangkap oleh kaum muslimin kemudian dihadapkan kepada Nabi
SAW agar dijatuhi hukuman yang pasti oleh beliau. Tetapi oleh Nabi SAW mereka
itu diampuni kesalahan mereka dan dibebaskan kembali tanpa syarat. Nabi SAW
bertindak demikian itu karena mengingat bahwa kedatangan beliau bersama kaum
muslimin itu tidak untuk berperang atau mengadakan
huru-hara.
Kemudian
Nabi SAW memanggil ‘Umar bin Khaththab, salah seorang shahabat Muhajirin yang
tekenal gagah berani untuk diangkat menjadi utusan beliau kepada para pembesar
Quraisy di Makkah. ‘Umar diperintah oleh Nabi SAW supaya berangkat ke Makkah
untuk menemui para pembesar Quraisy dan menegaskan tujuan beliau dan kaum
muslimin ke Makkah. Namun ‘Umar bin Khaththab tidak mau, dengan alasan bahwa
dirinya adalah seorang yang keras, yang dengan kekerasannya itu nanti bisa
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh Nabi SAW. Dan bahwa di kota
Makkah pada waktu itu tidak ada seorang pun dari Banu ‘Adiy (orang yang
seketurunan dengan ‘Umar) yang kiranya dapat menjamin keamanan dirinya jika
sampai terjadi penganiayaan atas dirinya yang dilakukan oleh pihak pembesar
Quraisy. Dengan alasan itu maka ‘Umar tidak bersedia menjadi utusan ke Makkah,
selanjutnya ‘Umar menunjuk kepada ‘Utsman bin ‘Affan, dengan alasan bahwa
‘Utsman bin ‘Affan itu seorang yang
lunak, lemah lembut, dan ia sangat dihormati oleh para pembesar Quraisy, dan ia
masih mempunyai kerabat yang kiranya dapat menjamin keamanan dirinya jika ia
sampai dianiaya oleh para pembesar Quraisy.
Alasan-alasan
yang dikemukakan oleh ‘Umar bin Khathtbab ini akhirnya diterima oleh Nabi SAW.
Kemudian beliau memanggil ‘Utsman bin ‘Affan dan memerintahkannya supaya
berangkat ke Makkah untuk menemui Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy, dan
menegaskan kembali bahwa kedatangan Nabi SAW beserta kaum muslimin itu tidak
untuk berperang, tetapi untuk berziyarah ke Baitullah.
Setelah
menerima perintah itu ‘Utsman bin ‘Affan segera berangkat ke Makkah, dan ketika
akan masuk ke kota Makkah ia menemui Abban bin Sa’id bin Al-’Ash (anak pamannya)
lebih dulu. Kemudian ia memasuki kota Makkah dengan jaminan Abban bin Sa’id. Dan
‘Utsman berhasil menemui para pembesar Quraisy. Dalam pertemuannya dengan
mereka, disampaikanlah pesan Nabi SAW kepada mereka, yaitu tentang maksud
kedatangan beliau ke Makkah yang sebenarnya.
Para
pembesar Quraisy ketika itu tidak menjawab secara tegas, tidak berani
mengizinkan dan tidak pula berani menolaknya. Kemudian para pembesar Quraisy
berkata kepada ‘Utsman :
اِنْ
شِئْتَ اَنْ تَطُوْفَ فِى اْلبَيْتِ فَطُفْ.
Hai
‘Utsman, jika kamu akan thawaf, silahkan kamu thawaf sendiri
saja.
‘Utsman menjawab :
مَا
كُنْتُ ِلاَفْعَلَ حَتَّى يَطُوْفَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ص. ابن هشام 4:
282
Saya
tidak akan thawaf sebelum Nabi SAW berthawaf di sekeliling
Ka’bah.
[Ibnu Hisyam juz 4, hal. 282]
Kemudian
‘Utsman ditahan oleh pihak para pembesar Quraisy. Kaum muslimin menunggu
kedatangan ‘Utsman sampai tiga hari tiga malam, namun belum juga kunjung datang.
Dengan demikian, maka timbullah dugaan dari kaum muslimin, jangan-jangan ‘Utsman
telah dibunuh oleh kaum Quraisy secara kejam. Dugaan itu menimbulkan kegelisahan
dalam hati segenap kaum muslimin, terutama diri Nabi Muhammad
SAW.
Peristiwa
Bai’atur Ridlwan
Dalam
suasana kaum Muslimin gelisah itu, tiba-tiba sampailah berita kepada Nabi SAW
yang menerangkan, bahwa ‘Utsman bin ‘Affan telah dibunuh oleh pihak Quraisy.
Nabi SAW setelah mendengar berita yang menyedihkan itu, maka seketika itu
segenap kaum Muslimin yang ikut dalam perjalanan itu diperintahkan oleh Nabi SAW
supaya berkumpul. Kemudian beliau bersabda :
لاَ
نَبْرَحُ حَتَّى نُنَاجِزَ الْقَوْمَ. ابن هشام 4: 283
“Kami
tidak akan meninggalkan tempat ini, sebelum kami memerangi kaum
Quraisy”
Kemudian
Nabi SAW mengajak segenap kaum Muslimin yang ada di Hudaibiyah untuk berbai’at,
dan beliau berdiri di bawah pohon besar yang ada di tempat itu, ajakan itu
disambut dengan semangat yang menyala-nyala oleh segenap kaum
Muslimin.
‘Utsman
bin ‘Affan dibebaskan
Kaum
Musyrikin Quraisy, terutama para pembesarnya di Mekkah, setelah mendengar
berita, bahwa Nabi SAW telah membaiat para sahabatnya di Hudaibiyah, dengan
tujuan akan menuntut balas darah ‘Utsman bin ‘Affan sampai titik darah yang
penghabisan, maka timbulah rasa takut dalam hati mereka. Ketakutan dari para
pembesar Quraisy itu, karena mereka mengerti bahwa kaum Muslimin sungguh-sungguh
dalam mempertahankan hak kewajibannya yang suci itu dan benar-benar akan
menuntut balas darah kawannya. Dengan demikian, maka akhirnya ‘Utsman bin ‘Affan
lalu dilepaskan.
Pada
saat yang genting dan dalam suasana yang mencekam itu, dimana kaum Muslimin yang
ada di Hudaibiyah sedang menunggu-nunggu komando untuk menyerang kaum Musyrikin
Quraisy, tiba-tiba sampailah berita kepada Nabi SAW yang menerangkan bahwa
‘Utsman bin ‘Affan masih hidup dalam keadaan sehat. Dan selang beberapa saat
kemudian, ‘Utsman pun tiba di tengah-tengah kaum Muslimin di Hudaibiyah.
Kedatangan ‘Utsman itu disambut dengan riang gembira. Dan waktu itu barulah kaum
Muslimin tahu, bahwa kabar ‘Utsman bin ‘Affan telah terbunuh itu dusta.
Perjanjian
Hudaibiyah
Selanjutnya,
para pembesar Quraisy sepakat untukk mengadakan perdamaian dengan Nabi SAW.
Mereka mengirim utusan menghadap Nabi SAW untuk merundingkan masalah perdamaian.
Orang yang ditunjuk sebagai utusan mereka ialah Suhail bin
‘Amr.
Menurut
riwayat, sebelum Suhail berangkat, para pembesar Quraisy berpesan kepadanya
:
اِئْتِ
مُحَمَّدًا فَصَالِحْهُ وَ لاَ يَكُنْ فِى صُلْحِهِ اِلاَّ اَنْ يَرْجِعَ عَنَّا
عَامَهَ هذَا، فَوَ اللهِ لاَ تَحَدَّثُ اْلعَرَبُ عَنَّا اَنَّهُ دَخَلَهَا
عَلَيْنَا عَنْوَةً اَبَدًا. ابن هشام 4: 284
Hai
Suhail, pergilah kamu menemui Muhammad, ajaklah Muhammad untuk berdamai.
Muhammad beserta para pengikutnya untuk tahun ini. Janganlah melanjutkan niatnya
pergi ke Makkah dulu, Demi Allah, jangan sampai orang ‘Arab membicarakan tentang
kita bahwa Muhammad telah dapat memasuki kota Makkah selamanya dengan
kekuatan.
[Ibnu Hisyam juz 4, hal. 284]
Setelah
menerima pesan dari para pembesar musyrikin Quraisy tersebut, Suhail bin ‘Amr
berangkat ke Hudaibiyah. Ketika Suhail bin ‘Amr sampai di Hudaibiyah dan
kelihatan akan menghadap kepada Nabi SAW, maka ketika itu Nabi SAW bersabda
:
قَدْ
اَرَادَ اْلقَوْمُ الصُّلْحَ حِيْنَ بَعَثُوْا هذَا الرَّجُلَ. ابن هشام 4:
284
Kaum
Quraisy bermaksud mengajak damai, mereka mengutus orang ini.
[Ibnu Hisyam juz 4, hal 284].
Setelah
Suhail di hadapan Nabi SAW kemudian menyampaikan maksud
kedatangannya.
Kemudian
terjadilah perundingan antara Nabi SAW dan Suhail bin ‘Amr. Nabi SAW antara lain
menanyakan kepada Suhail, “Mengapa kamu tidak memperkenankan kami berthawaf di
Baitullah ?”.
Suhail
menjawab dengan jujur, “Ya, agar segenap bangsa ‘Arab jangan sampai mengatakan
bahwa kamu telah datang kepada kami (masuk ke kota Makkah) dengan kekuatan. Oleh
sebab itu, maka sekarang (pada tahun ini) kamu kembali saja, dan tahun depan
jika kamu mau, kami perkenankan kamu masuk Makkah, dan kami bersedia
meninggalkan kota Makkah selama 3 hari”.
Perundingan
antara kedua belah pihak berlangsung alot, karena terbentur beberapa soal yang
menyebabkan berselisih pendapat antara yang satu dengan yang lain. Sekalipun
demikian, perundingan itu dapat diselesaikan dengan membuahkan
keputusan-keputusan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Adapun bunyi
perjanjian damai yang dikemukakan oleh pihak Quraisy dan telah disetujui oleh
Nabi SAW adalah sebagai berikut :
1. Bahwa pada tahun ini kaum muslimin harus
kembali ke Madinah, dan pada tahun depan mereka boleh pergi ke Makkah dengan
membawa senjata yang biasa dibawa oleh orang yang sedang dalam perjalanan
(pedang di dalam sarungnya) untuk melakukan ‘umrah dan bermuqim di sana selama
tiga hari.
2. Memberi kemerdekaan penuh kepada seluruh
bangsa ‘Arab untuk mengadakan perjanjian persahabatan dengan kaum muslimin atau
dengan kaum musyrikin. Maka kaum banu Khuza’ah bersahabat dengan kaum muslimin,
dan kaum banu Bakar bersahabat dengan musyrikin
Quraisy.
3. Kedua belah pihak (antara kaum muslimin dan
kaum Quraisy) dan orang-orang yang bersahabat dengan mereka tidak boleh
mengadakan peperangan selama 10 tahun.
4. Bahwa apabila ada orang Quraisy yang datang
kepada Rasulullah akan mengikut Islam, harus dikembalikan kepada mereka (kaum
Quraisy di Makkah). Dan apabila ada orang dari kaum muslimin yang datang kepada
mereka karena akan murtad, mereka tidak berkewajiban mengembalikannya kepada
Rasulullah.
Dalam
riwayat Muslim disebutkan sebagai berikut : Dari Abu Ishaq, dia berkata : Aku
mendengar Al-Baraa’ bin ‘Azib berkata : Ali bin Abu Thalib lah yang menulis isi
naskah perdamaian antara Nabi SAW dengan orang-orang musyrik pada hari
Hudaibiyah. Saat itu ‘Ali menuliskan, “Inilah yang dijanjikan oleh Muhammad
Rasulullah”. Sampai di situ orang-orang musyrik sama mengajukan protes
keras, “Jangan kamu tulis kalimat Rasulullah”. Kalau kami sudah merasa
yaqin bahwa kamu adalah Rasulullah, maka kami tidak perlu memusuhi kamu”. Nabi
SAW kemudian menyuruh ‘Ali, “Hapuslah kalimat itu”. Ali menjawab, “Tidak, aku
tidak mau menghapusnya”. Terpaksa Nabi SAW sendirilah yang menghapusnya. Salah
satu syarat yang diajukan oleh orang-orang Quraisy dalam perjanjian tersebut
ialah, bahwa sesungguhnya Nabi SAW dan para shahabatnya boleh masuk dan tinggal
di Makkah selama tiga hari saja, dan juga hanya diperbolehkan membawa senjata
yang dimasukkan dalam sarungnya”. [HR. Muslim juz 3, hal,
1409]
Dalam
riwayat lain disebutkan, dari Anas : Sesungguhnya orang-orang Quraisy termasuk
diantara mereka ialah Suhail bin ‘Amr berdamai dengan Nabi SAW. Beliau bersabda
kepada ‘Ali, “Tulislah Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang”. Sampai di situ Suhail sudah melancarkan protes, “Apa makna yang
kamu tulis itu ? Aku tidak kenal. Sebaiknya kamu tulis saja kalimat yang biasa
kami kenal. Tulis saja, “Dengan namamu, ya Allah”. Selanjutnya Nabi SAW bersabda
kepada ‘Ali, “Tulislah. Dari Muhammad Rasulullah”. Orang-orang Quraisy
kembali melancarkan protes, “Kalau kami sudah percaya bahwasanya kamu adalah
utusan Allah, maka kami sudah mengikutimu. Sebaiknya kamu tulis saja namamu
sendiri dan nama ayahmu”. Nabi SAW lalu bersabda, “Tulis saja. Dari Muhammad
bin ‘Abdullah”. Selanjutnya mereka mengajukan syarat kepada Nabi SAW sebagai
berikut : Barangsiapa diantara kamu yang datang kepada kami, maka kami tidak
perlu mengembalikannya kepada kamu. Tetapi barangsiapa diantara kami yang datang
kepadamu, maka kamu harus mengembalikannya kepada kami”. Para shahabat sama
berkata dengan naga geram, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan memenuhi syarat
yang mereka ajukan itu ? Nabi SAW bersabda, “Ya, sesungguhnya barangsiapa
diantara kita yang pergi kepada mereka, maka Allah akan menjauhkannya. Dan
barangsiapa diantara mereka yang pergi kepada kita, maka Allah akan menjadikan
untuknya suatu kemudahan dan jalan keluar”. [HR. Muslim juz 3, hal.
1411]
Dalam
riwayat lain : Dari Abu Wail, ia berkata : Pada hari perang Shiffin, Sahl bin
Hunaif berdiri dan berpidato, ia berkata, “Wahai manusia, perhatikanlah diri
kalian. Sesungguhnya kita dahulu pernah bersama Rasulullah SAW pada peristiwa
Hudaibiyah. Seandainya kita berpendapat untuk memilih perang, niscaya itulah
yang akan kita lakukan. Itu pernah terjadi saat Rasulullah berdamai dengan kaum
musyrik”. Lalu ‘Umar bin Khaththab datang, dia langsung menemui Rasulullah SAW
dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kita ini di pihak kebenaran dan
orang-orang musyrik itu di pihak kebathilan ?”. Rasulullah SAW menjawab,
“Tentu”. ‘Umar bertanya, “Bukankah pertempuran yang kita lakukan jaminannya
adalah surga, dan yang mereka lakukan balasannya adalah neraka ?”. Rasulullah
SAW menjawab, “Tentu”. ‘Umar bertanya lagi, “Kenapa kita memberikan kerendahan
pada agama kita dan menerima (perjanjian itu) padahal Allah belum memberikan
kepastian antara kita dan mereka ?”. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Ibnu
Khaththab, sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah. Percayalah, Allah tidak akan
menyia-nyiakan aku untuk selamanya”. Merasa kurang puas dengan jawaban
Rasulullah SAW itu, maka dengan rasa tidak sabar dan kecewa ‘Umar lalu menemui
Abu Bakar dan berkata, “Wahai Abu Bakar, bukankah kita ini di pihak kebenaran
dan orang-orang musyrik itu di pihak kebathilan ?”. Abu Bakar menjawab, “Tentu”.
Lalu ‘Umar bertanya lagi, “Bukankah kita berperang jaminannya adalah surga dan
kalau mereka berperang balasannya adalah neraka ?”. Abu Bakar menjawab, “Tentu”.
‘Umar bertanya lagi, “Kenapa kita memberikan kerendahan pada agama kita dan
menerima (perjanjian itu) padahal Allah belum memberikan kepastian antara kita
dan mereka ?”. Abu Bakar berkata, “Wahai Ibnu Khaththab, sesungguhnya beliau
adalah Rasulullah. Percayalah, Allah tidak akan menyia-nyiakan beliau
selamanya”. Lalu turun ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW yang memberitakan
tentang kemenangan. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh shahabatnya untuk
membacakan ayat tersebut kepada ‘Umar. Lalu ‘Umar berkata, “Ya Rasulullah,
apakah itu berita kemenangan ?”. Beliau menjawab, “Ya”. Maka ‘Umar bergembira,
lalu kembali. [HR. Muslim juz 3, hal. 1412]
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak