Ahad,
16 Maret 2003/13 Muharram 1424 Brosur No. :
1169/1209/SI
Tarikh
Nabi Muhammad SAW (ke-114)
Perjalanan
tentara Islam yang dipimpin oleh Nabi SAW dari Madinah ke Khaibar yang jauhnya
kurang lebih 100 mil itu dapat dilalui dalam waktu tiga hari tiga malam. Dengan
demikian kedatangan mereka itu tidak diketahui oleh musuh. Pada suatu malam,
sampailah Nabi SAW dan tentara Islam di Khaibar dan dengan diam-diam bermalam di
sana. Kaum Yahudi Khaibar tidak mengetahui sedikitpun, padahal sebelum itu kaum
Yahudi Khaibar telah mengirim beberapa mata-mata untuk menyelidiki kedatangan
tentara Islam.
Ibnu
Ishaq meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata : Adalah Raslullah SAW
apabila memerangi suatu kaum, beliau tidak menyerang mereka sehingga menunggu
waktu Shubuh. Apabila beliau mendengar adzan beliau tidak jadi menyerang mereka.
Pada waktu itu kami tiba di Khaibar malam hari, lalu Rasulullah SAW bermalam
hingga pagi dan beliau tidak mendengar adzan (dari kampung itu). Kemudian beliau
naik kendaraan dan kami (para shahabat) juga naik kendaraan bersama beliau dan
telapak kakiku sempat bersentuhan dengan telapak kaki Rasulullah
SAW.
Kami
menyaksikan pekerja-pekerja Khaibar keluar di pagi hari ke tempat pekerjaan
mereka dengan membawa alat-alat mereka, cangkul dan keranjang. Ketika mereka itu
melihat Rasulullah SAW dan tentara Islam, mereka berkata :
مُحَمَّدٌ
وَ اْلخَمِيْسُ مَعَهُ !
Muhammad
beserta pasukannya datang !
Lalu
mereka lari ketakutan. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :
اَللهُ
اَكْبَرُ. خَرِبَتْ خَيْبَرُ ! اِنَّا اِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْمٍ فَسَاءَ
صَبَاحُ اْلمُنْذَرِيْنَ.
Alloohu
Akbar, hancurlah Khaibar. Sesungguhnya apabila kami datang di halaman suatu
kaum, maka buruklah (celakalah) pagi harinya orang--orang yang diberi
peringatan.
[Ibnu Hisyam 4 : 299]
Menurut
riwayat, ketika Nabi SAW berangkat dari Madinah ke Khaibar melalui jalan di
‘Ishr, di tempat ini beliau berhenti, lalu mendirikan masjid, kemudian terus
berjalan melalui Shahba’, kemudian beliau dengan tentara Islam terus berjalan
hingga sampai di sebuah lembah yang bernama Ar-Raji’ dan berhenti di situ,
kemudian beliau berhenti di suatu tempat antara Khaibar dan Ghathafan dengan
tujuan menghambat kaum banu Ghathafan agar tidak mengirim bantuan kepada kaum
Yahudi Khaibar, karena mereka adalah sekutu utama bagi penduduk
Khaibar.
Setelah
kaum banu Ghathafan mendengar berita tempat pemberhentian Nabi SAW beserta kaum
muslimin di Khaibar, lalu kaum Ghathafan siap berangkat menolong dan membela
kaum Yahudi Khaibar. Tetapi setelah berangkat, mereka lalu kembali lagi ke
kabilahnya karena teringat pada harta benda dan keluarga mereka yang
ditinggalkan, dan teringat pula akan peristiwa yang telah lampau dalam
menghadapi tentara Islam. Maka mereka mundur sebelum bertempur, dan membiarkan
sekutu mereka menghadapi Nabi Muhammad SAW dan pasukannya.
Karena
kota Khaibar itu memang sebuah kota yang mempunyai banyak benteng, maka kaum
Yahudi berlindung di dalam benteng-benteng itu. Sebagaimana kita ketahui bahwa
benteng-benteng mereka itu ada tiga yang letaknya terpisah-pisah, yaitu : 1.
benteng Nathah, 2. Kutsaibah dan 3 Syiqq. Di benteng Nathah terdiri dari 3
benteng, yaitu : Na’im, Sha’bu dan Qillah. Di benteng Kutsaibah terdiri dari 2
benteng, yaitu : Ubay dan Barii’. Dan di benteng Syiqq terdiri dari 3 benteng,
yaitu : Qamush, Wathih dan Sulaalim .
Kaum
Yahudi siap bertempur dalam benteng-benteng tersebut dengan komando dari Sallam
bin Misykam sebagai Panglima tertinggi mereka. Kemudian pasukan muslimin
mengepung benteng-benteng tersebut.
Tentara
Islam mengepung benteng-benteng Yahudi Khaibar
Nabi
Muhammad SAW memerintahkan kepada tentara Islam supaya mengepung benteng
An-Nathah, karena benteng ini banyak dihuni oleh angkatan perang Yahudi Khaibar.
Sallam bin Misykam sebagai panglima tertinggi mereka memberikan komando perang
dari dalam benteng ini. Dia memberikan komando kepada segenap angkatan perangnya
supaya benar-benar mengadakan perlawanan keras dan menolak serangan tentara
muslimin. Nabi SAW memerintahkan kepada pasukannya supaya mengambil tempat di
sebelau timur benteng An-Nathah, karena di tempat ini tidak mudah kena panah
dari musuh.
Karena
Nabi SAW dan segenap tentara Islam belum mengetahui apakah kaum Yahudi Khaibar
betul-betul akan perang atau mau berdamai, maka Nabi SAW memerintahkan tentara
Islam supaya menebangi pohon-pohon kurma mereka, agar mereka menyerah. Tentara
muslimin lalu menebangi kira-kira empat ratus pohon kurma. Tetapi tindakan kaum
muslimin ini dianggap sepele oleh kaum Yahudi, sehingga mereka tetap memanahi
tentara muslimin, yang berarti tetap menginginkan perang. Maka Rasulullah SAW
menghentikan pasukannya dan menebangi pohon kurma, dan mulailah menggempur
mereka. Maka terjadilah peperangan antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi
Khaibar.
Kaum
muslimin mengepung benteng Na’im, benteng pertama di Nathah, dan Nabi SAW
memerintahkan pasukan muslimin untuk melepas panah ke arah musuh yang berada di
benteng tersebut. Bendera Islam pada waktu itu berada di tangan shahabat
Muhajirin. Maka terjadilah panah-memanah dari kedua pihak, hingga membawa korban
yang besar dari kedua belah pihak. Sallam bin Misykam sendiri tewas dalam
pertempuran ini, padahal dia sebagai panglima perang Yahudi
Khaibar.
Dalam
pertempuran ini shahabat Mahmud bin Maslamah, saudara dari Muhammad bin Maslamah
gugur sebagai syahid.
Sepeningal
Sallam bin Misykam, panglima perang kaum Yahudi Khaibar digantikan oleh
Al-Harits bin Abu Zainab. Ia pun seorang yang tidak kurang kecakapan dan
kepandaiannya daripada Sallam bin Misykam. Dengan demikian perlawanan kaum
Yahudi Khaibar tidak mengalami surut, bahkan kemarahan mereka semakin memuncak
karena kehilangan pemimpin mereka. Namun tentara muslimin semakin gencar dan
berani menyerbu benteng mereka.
Hingga
beberapa hari pengepungan dilakukan, tetapi benteng yang dikepung itu belum juga
dapat ditaklukkan oleh tentara muslimin, karena dipertahankan mati-matian oleh
kaum Yahudi Khaibar dan mereka sadar bahwa patahnya perlawanan mereka di hadapan
kaum muslimin kali ini berarti habis dan tammatlah riwayat kebesaran dan
kemegahan kaum Yahudi di jazirah ‘Arab. Pertempuran pun terus berlangsung, dan
akhirnya matilah Al-Harits bin Abu Zainab, panglima perang yang kedua dari kaum
Yahudi Khaibar, dan itu berarti pertanda bahwa pertahanan mereka akan dapat
dipatahkan oleh kaum muslimin.
Nabi
SAW memerintahkan kepada Abu Bakar supaya memegang bendera Islam untuk memimpin
pertempuran, dan untuk merebut benteng yang terkuat itu, namun, betapaun
diusahakan sekuat tenaga belum juga berhasil.
Keesokan
harinya Nabi SAW memerintahkan kepada shahabat ‘Umar bin Khaththab supaya
memegang bendera Islam untuk memimpin pertempuran untuk merebut benteng yang
terkuat itu, dan ‘Umar pun berjuang bersama-sama tentara Islam secara
terus-menerus, tetapi masih juga belum berhasil.
Nabi
SAW memberikan bendera kepada ‘Ali RA
Menurut
riwayat pada suatu malam (malam ketujuh) yang diserahi sebagai pengawas pasukan
tentara Islam ialah ‘Umar bin Khaththab, mendadak pada tengah malam, ada seorang
dari tentara kaum Yahudi datang ke tempat pasukan tentara Islam. Kedatangannya
ini sudah barang tentu dengan maksud jahat. Orang Yahudi itu lalu ditangkap
‘Umar, dan akan dibunuh. Tetapi ketika orang Yahudi itu akan dibunuh, ia
mengajukan permintaan kepada ‘Umar, yaitu supaya dirinya dihadapkan kepada Nabi
SAW lebih dulu, karena ada yang akan ia bicarakan dengan Nabi. Permintaan itu
dikabulkan, kemudian orang itu dibawa ke hadapan Nabi SAW. Ketika ‘Umar sampai
di tempat Nabi SAW, ketika itu beliau sedang shalat, lalu orang Yahudi itu
diajak ‘Umar untuk menunggu di luar. Setelah Nabi SAW selesai mengerjakan
shalat, orang Yahudi itu diajak masuk oleh ‘Umar menghadap Nabi
SAW.
Lalu
‘Umar melaporkan kepada Nabi SAW perihal orang Yahudi yang ditangkap itu. Ketika
di hadapan Nabi SAW orang Yahudi itu gemetar, maka Nabi SAW meminta kepadanya
untuk mengungkapkan isi hatinya. Maka orang Yahudi itu berkata, “Ya Muhammad,
saya mohon diselamatkan dari hukuman engkau, janganlah engkau terburu-buru
menjatuhkan hukuman mati atas diriku. Ampunilah segala kesalahanku !”. Kemudian
Nabi pun mengabulkan permohonan Yahudi itu.
Kemudian
orang Yahudi itu sanggup menunjukkan rahasia-rahasia benteng Khaibar itu kepada
Nabi SAW. Orang Yahudi itu berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya orang-orang yang
ada dalam benteng itu telah kepayahan dan kesulitan. Mereka di situ sedang
mengirimkan anak-anak mereka ke benteng Asy-Syiqq, lalu mereka akan keluar dari
benteng yang mereka pertahankan sekarang ini untuk memerangi engkau dan pasukan
Islam. Oleh sebab itu, maka jika besok pagi engkau dapat membuka benteng itu,
saya bersedia akan menunjukkan kepadamu tempat alat-alat perlengkapan perang
mereka, seperti manjanik dan dubabah (sejenis meriam atau tank jaman sekarang).
pedang-pedang, baju-baju besi dan sebagainya. Dengan alat perlengkapan perang
mereka itu engkau dapat membuka benteng-benteng mereka yang
lain”.
Mendengar
perkataan orang Yahudi itu Nabi SAW menyanggupi untuk memberikan jaminan
keamanan dirinya, lalu beliau bersabda kepada Muhammad bin Maslamah
:
سَاُعْطِى
الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ وَ يُحَبَّانِهِ. نور اليقين
184
Aku
besok pagi akan menyerahkan bendera kepada seorang laki-laki yang cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan yang Allah dan Rasul-Nya mencintai juga
kepadanya.
[Nurul Yaqiin : 184].
Bukhari
meriwayatkan sebagai berikut : Dari Sahl bin Sa’ad RA bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda pada perang Khaibar, :Sungguh besok pagi aku akan memberikan bendera
ini kepada seorang laki-laki yang di tangannya lah Allah memberikan kemenangan.
Ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sedangkan Allah dan Rasulnya pun cinta
kepadanya. Lalu orang-orang bermalam dengan menduga-duga siapa besok pagi
diantara mereka yang diserahi bendera itu. Ketika pagi hari para shahabat datang
kepada Rasulullah SAW, semuanya mengharapkan untuk diberi bendera itu. Beliau
bertanya, “Di manakah ‘Ali bin Abu Thalib ?”. Maka dijawab, “Ya Rasulullah, ia
sedang sakit mata”. Sahl berkata, “Mereka lalu menemui ‘Ali, untuk dihadapkan
kepada beliau. Kemudian Rasulullah SAW meludahi kedua mata ‘Ali dan
mendoakannya. Maka sembuhlah seketika itu seperti sebelum sakit. Kemudian beliau
memberikan bendera kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya akan
memerangi mereka hingga mereka seperti kami (memeluk agama Islam) ?”. Beliau
bersabda, “Laksanakanlah dengan perlahan-lahan hingga kamu tiba di halaman
mereka. Kemudian ajaklah mereka untuk masuk Islam dan beritahukan kepada mereka
tentang hal-hal yang wajib bagi mereka, yakni haq Allah Ta’ala di dalam Islam.
Maka sungguh demi Allah, Allah memberi petunjuk kepada seorang lantaran kamu
adalah lebih baik bagimu dari pada kamu mendapatkan unta merah. [HR. Bukhari juz
5, hal. 76]
Setelah
menerima penyerahan bendera Islam itu shahabat ‘Ali bin Abu Thalib sebagai
seorang muslim yang gagah berani segera berangkat ke depan benteng musuh bersama
pasukan Islam.
Tidak
disangka-sangka oleh pasukan Islam bahwa angkatan perang kaum Yahudi sudah
bersiap-siap dengan persenjataan yang lengkap untuk melawan tentara Islam. Oleh
sebab itu ketika ‘Ali bersama tentara Islam tiba di pintu gerbang benteng telah
disambut oleh barisan tentara Yahudi yang menjaga di
benteng.
Menurut
riwayat, seorang jagoan Yahudi yang bernama Marhab langsung keluar, lalu
mengeluarkan kata-kata tantangan kepada pasukan Islam, agar tentara Islam
mengeluarkan seorang pahlawannya untuk perang-tanding dengannya satu lawan satu.
Karena Marhab merasa bahwa dirinya pasti menang berperang tanding melawan
tentara muslimin. Memang ia seorang jagoan Yahudi Khaibar yang terkenal kuat
perkasa. Tantangan itu disampaikan melalui sajak sebagai berikut
:
قَدْ
عَلِمَتْ خَيْبَرُ اَنّى مَرْحَبُ،
شَاكِى السّلاَحِ بَطَلٌ مُجَرَّبُ،
اِذَا اْلحُرُوْبُ اَقْبَلَتْ تَلَهَّبُ.
Khaibaar
telah mengetahui bahwasanya aku adalah Marhab,
tajam
senjata lagi pahlawan pemberani dan berpengalaman,
apabila
peperangan terjadi bernyala-nyala.
Tantangan
itu disambut ‘Ali bin Abu Thalib, dengan bersajak :
اَنَا
الَّذِى سَمَّتْنِى اُمّى حَيْدَرَهْ،
كَلَيْثِ غَابَاتٍ كَرِيْهِ اْلمَنْظَرَهْ، اُوْفِيْهِمْ بِالصَّاعِ كَيْلَ
السَّنْدَرَهْ.
Akulah
yang ibuku menamakanku Haidarah,
seperti
singa jantan dari hutan yang menakutkan bila
dipandang,
aku
tepati mereka dengan sho’ takaran yang sempurna.
[Al-Bidayah
wan Nihaayah juz 4, hal. 577]
Kemudian
perang-tanding antara kedua jagoan itu dimulai. Masing-masing saling menyerang
dengan pedang di tangan, akhirnyah Marhab jatuh dan pedang ‘Ali berkelebat
memenggal lehernya hingga tewas.
Selanjutnya
diriwayatkan, bahwa setelah Marhab mati terbunuh, sausaranya yang bernama Yasir
ingin menuntut balas dengan mengajak berperang tanding
kembali.
Memang
Yasir seorang jagoan Yahudi Khaibar yang gagah perkasa, pandai berkuda dan
tangkas. Tantangannya itu dilayani oleh shahabat Zubair bin ‘Awwam. Kemudian
dengan persetujuan Nabi SAW, keluarlah Zubair dari barisan tentara Islam untuk
melayani tangangan Yasir yang congkak itu.
Ketika
Ummu Shafiyah (ibu Zubair) melihat anaknya akan berperang tanding dengan jagoan
kaum Yahudi itu, ia agak ketakutan, lalu berkata kepada Nabi SAW
:
يَقْتُلُ
اِبْنِى يَا رَسُوْلَ اللهِ !
“Dia
(Yasir) akan membunuh anak saya, ya Rasulullah !”.
Nabi
SAW bersabda : بَلْ
اِبْنُكِ يَقْتُلُهُ اِنْ شَاءَ اللهُ
Tidak,
anak laki-lakimu yang akan membunuhnya, in syaa-allah.
Kemudian
setelah keduanya itu bertemu, keduanya terlibat dalam perang yang sengit, dan
akhirnya Yasir pun dapat dibunuh oleh Zubair bin ‘Awwam. [Al-Baidayah wan
Nihaayah juz 4, hal. 579]
Bersambung
........
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak