POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE

Tarikh Nabi Muhammad SAW (ke-120) ‘Umratul qadla’ (lanjutan)

Posted by

Ahad, 27 Juli 2003/27 Jumadil ula 1424                      Brosur No. : 1187/1227/SI
Tarikh Nabi Muhammad SAW (ke-120)


‘Umratul qadla’ (lanjutan)
Nabi Muhammad SAW kembali ke Madinah
Setelah 3 hari Nabi SAW dan 2.000 orang kaum muslimin tinggal di Makkah dengan aman, sesuai dengan perjanjian yang dilakukan oleh beliau dengan para ketua musyrikin Quraisy dalam perjanjian Hudaibiyyah, lalu para kepala Quraisy mengingatkan bahwa waktu telah habis. Para ketua Quraisy mengirimkan utusan kepada Nabi SAW yang dipimpin oleh Huwaithib bin ‘Abdul ‘Uzza. Ia berkata, “Ya Muhammad, oleh karena hari ini telah habis waktumu, maka hendaklah kamu pergi dari sini”.
Nabi SAW menjawab, “Apakah kamu keberatan jika kamu membiarkan aku tinggal di Makkah dalam sebentar waktu saja, karena aku akan mengadakan perjamuan untuk perkawinanku dengan Maimunah, yang dalam perjamuan itu nanti aku akan mengundangmu untuk mendatanginya, agar nanti kita makan-makan bersama ?”. Huwaithib bin ‘Abdul ‘Uzza berkata, “Muhammad, kami tidak butuh dengan perjamuan yang akan kamu adakan itu”.
Karena keinginan Nabi SAW itu sudah ditolak, maka beliaupun segera meninggalkan Makkah. Hanya Abu Rafi’ yang ditinggal oleh Nabi SAW, karena diperintahkan untuk menemani dan mengawal Maimunah, yang ketika itu belum siap berangkat bersama beliau.
Bukhari meriwayatkan bahwa ketika batas waktu telah habis, mereka (orang-orang Quraisy) berkata kepada ‘Ali : Katakanlah kepada temanmu, “Keluarlah dari tempat kami, karena sesungguhnya batas waktu telah habis”. Maka Nabi SAW keluar meninggalkan Makkah, kemudian seorang anak perempuan Hamzah mengikuti beliau seraya berseru, “Hai pamanku, hai pamanku”. Lalu ‘Ali mengulurkan tangan kepadanya dan berkata kepada Fathimah, “Ambillah putri pamanmu itu”. Lalu Fathimah menggendongnya. Kemudian ‘Ali, Zaid dan Ja’far bertengkar ingin mengasuh putri Hamzah tersebut. ‘Ali berkata, “Saya yang mengambilnya, karena ia adalah putri pamanku”. Ja’far pun berkata, “Ia adalah putri pamanku. Dan bibinya (saudara ibunya) menjadi istriku”. Zaid pun berkata, “Ia adalah anak perempuan saudaraku”. Akhirnya Nabi SAW memutuskan putri Hamzah itu diserahkan kepada bibinya dan beliau bersabda :
اَلْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ اْلاُمّ
Bibi (saudara ibu) itu sekedudukan dengan ibu.
Selanjutnya Nabi SAW berkata kepada ‘Ali, “Kamu adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian darimu”.
Dan beliau bersabda kepada Ja’far, “Kamu menyerupai rupaku dan perangaiku”. Dan bersabda kepada Zaid, “Kamu adalah saudara kami, dan hamba kami”.
Kemudian ‘Ali berkata kepada beliau, “Sebaiknya engkau menikahi putri Hamzah”. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya ia adalah anak saudaraku sepesusuan”. [HR. Bukhari juz 5, hal. 84]
Ketika Nabi SAW meninggalkan Makkah dengan diiringi 2.000 orang muslimin, para pemimpin musyrikin Quraisy memperhatikannya. Mereka memperhatikan keberangkatan Nabi SAW itu dengan penuh keheranan melihat kethaatan dan kepatuhan segenap kaum muslimin kepada pemimpinnya yang utama itu. Dalam hati mereka masih membekas bahwa seorang yang pada beberapa tahun berselang selalu dikejar-kejar dan diburu-buru sebagai orang pelarian dan buruan keluar dari Makkah, tetapi sekarang telah kembali ke Makkah dengan membawa kegagahan dan kebesaran dan sebagai seorang pemimpin yang dithaati, dihormati dan disegani oleh segenap kaum pengikutnya.
Perjalanan Nabi SAW dan kaum muslimin dari Makkah ke Madinah singgah di suatu tempat yang bernama Sarif, kira-kira 6 mil dari Makkah, karena menunggu kedatangan Maimunah yang sedang dalam perjalanan bersama Abu Rafi’. Setelah Maimunah tiba di dusun tersebut, lalu ia bekumpul dengan Nabi SAW. Kemudian beliau SAW bersama kaum muslimin melanjutkan perjalanan ke Madinah.
Peristiwa ‘Umratul Qadla’ ini terjadi pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-7 hijriyah, namun beliau tiba kembali di Madinah pada bulan Dzulhijjah. Dan peristiwa ini sesuai dengan wahyu Allah yang diturunkan kepada beliau :
لَقَدْ صَدَقَ اللهُ رَسُوْلَهُ الرُّءْيَا بِاْلحَقّ، لَتَدْخُلُنَّ اْلمَسْجِدَ اْلحَرَامَ اِنْ شَآءَ اللهُ امِنِيْنَ مُحَلّقِيْنَ رُءُوْسَكُمْ وَ مُقَصّرِيْنَ لاَ يَخَافُوْنَ، فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوْا فَجَعَلَ مِنْ دُوْنِ ذلِكَ فَتْحًا قَرِيْبًا. الفتح:27
Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat (penaklukan Khaibar). [QS. Al-Fath : 27]
Perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Maimunah
Maimunah binti Al-Harits Al-Hilaliyah adalah saudara kandung Ummu Fadhl istri ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, paman Nabi SAW yang pada tahun ke-7 hijriyah ini masih menetap di Makkah. Menurut riwayat, pada waktu itu urusan Maimunah ada di tangan Ummul Fadhl (istri ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib).
Ketika Nabi SAW melaksanakan ‘umratul qadla di Makkah, ia dinikahi oleh beliau dengan mas kawin 400 dirham.
Menurut riwayat, bahwa perkawinan Nabi SAW dengan Maimunah itu atas tawaran ‘Abbas, karena ketika itu Maimunah dalam keadaan janda muda, bekas istri Abu Rahmin (Huwaithib bin ‘Abdul ‘Uzza). Tawaran tersebut, lalu diterima oleh Nabi SAW.
Masuk Islamnya beberapa tokoh Quraisy
Pada bulan Shafar tahun ke-8 Hijriyah, 3 orang tokoh Quraisy masuk Islam. Merka itu ialah : ‘Amr bin Al-’Ash, Khalid bin Walid dan ‘Utsman bin Thalhah.
Islamnya ‘Amr bin Al-’Ash
‘Amr bin Al-’Ash adalah seorang Quraisy perintang dan musuh Islam di Makkah. Ketika kaum musyrikin Quraisy telah kembali dari perang Khandaq, ia segera mengumpulkan beberapa orang dari kaumnya yang sependapat dengannya dan yang suka mendengarkan usul-usul yang dikemukakannya, dan selanjutnya ia berkata, “Demi Allah, sesungguh-nya aku melihat tentang masalah Muhammad sekarang ini adalah puncak dari kemungkaran. Tentang itu saudara-saudara telah mengetahuinya. Sekarang aku mempunyai suatu pendapat yang akan aku kemukakan kepada saudara-saudara”.
Kawan-kawannya bertanya, “Bagaimana pendapatmu ?“. Amr berkata, “Aku mempunyai pendapat bahwa kita harus datang kepada Najasyi, lalu kita tinggal di negerinya. Nanti apabila Muhammad mendapat kemenangan, mengalahkan kita, kita sudah ada di sana. Kita dibawah kekuasaan Najasyi, dan ini lebih kita sukai daripada di bawah kekuasaan Muhammad. Tetapi apabila kita dapat mengalahkan Muhammad, maka kita adalah orang kuat yang telah diketahui raja Najasyi dan rakyatnya”. Semuanya lalu menyahut, “Kita sependapat”.
Kemudian ‘Amr mengusulkan kepada segenap yang datang di tempat tersebut supaya masing-masing mengumpulkan barang-barang yang baik untuk dihadiahkan kepada Raja Najasyi, terutama kulit-kulit binatang, karena ini adalah kesukaannya. Usul ini pun disetujui pula oleh mereka, lalu mereka mengumpulkan kulit-kulit binatang yang banyak yang akan dihadiahkannya kepada Najasyi.
Selanjutnya ‘Amr bin Al-’Ash beserta kawan-kawannya berangkat ke Habsyi untuk menghadap raja Najasyi. Ketika ‘Amr bin Al-’Ash datang menghadap raja Najasyi, kebetulan pula ‘Amr bin Umayyah Adl-Dlamriy yang ketika itu diutus Nabi SAW untuk mengurus perkawinan beliau SAW dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, datang untuk menghadapnya juga. Sesudah ‘Amr bin Umayyah menghadap kepada raja Najasyi, lalu keluar dari sisinya.
‘Amr bin Al-’Ash berkata kepada kawan-kawannya, “Itulah ‘Amr bin Umayyah. Andaikata nanti aku telah menghadap kepada Najasyi, tentu aku akan memohon kepadanya agar ia menyerahkannya kepadaku, dan andaikata ia telah menyerahkannya kepadaku, niscaya aku penggal lehernya. Apabila aku telah berbuat demikian, kaum Quraisy tentu melihat bahwa aku telah mewakilinya, karena aku telah membunuh utusan Muhammad”.
Sesudah itu ‘Amr bin Al-’Ash menghadap raja Najasyi, lalu bersujud kepadanya sebagaimana yang biasa ia lakukan.
Kedatangan ‘Amr bin Al-’Ash disambut baik oleh raja Najasyi, dan ‘Amr lalu menyampaikan hadiah kepada raja Najasyi berupa kulit binatang yang banyak. Setelah menerima hadiah yang begitu banyak, maka raja Najasyi menunjukkan kekagumannya dan kegembiraannya. Sesudah itu ‘Amr bin Al-’Ash memberanikan diri mengajukan permohonannya kepada raja Najasyi.
“Wahai tuan raja, hamba tadi melihat ada seorang laki-laki yang keluar dari sisi tuan, ia adalah seorang suruhan dari musuh kami. Oleh sebab itu, sudilah kiranya tuanku menyerahkan orang itu kepadaku untuk saya bunuh”.
Mendengar permohonan ‘Amr bin Al-’Ash itu raja Najasyi sangat marah sehingga ia menampar hidungnya. Melihat yang demikian itu ‘Amr bin Al-’Ash menjadi ketakutan, dan selanjutnya ia berkata :
اَيُّهَا اْلمَلِكُ لَوْ ظَنَنْتُ اَنَّكَ تَكْرَهُ مَا قُلْتُ مَا سَأَلْتُكَ.
Wahai tuan raja, jika sekiranya tuanku tidak suka atas permohonan hamba, maka hamba tidak akan memohon kepada tuanku tentang orang itu. [Al-Bidaayah wan-Nihaayah juz 4 hal. 628]
Raja Najasyi lalu berkata, “Apakah kamu memohon kepadaku bahwa aku supaya menyerahkan kepadamu seorang utusan dari seorang laki-laki yang telah didatangi malaikat Jibril yang pernah datang juga kepada Nabi Musa, lalu kamu membunuh dia ?”.
‘Amr bin Al-’Ash mengemukakan pertanyaan lagi, “Wahai tuan raja, adakah ia juga sedemikain ?”.
Najasyi berkata, “Celakalah kamu hai ‘Amr, thaatlah kamu kepadaku, dan ikutlah kamu kepadanya. Karena sesungguhnya ia (Muhammad) itu berada di atas kebenaran, dan pasti ia akan memperoleh kemenangan, mengalahkan orang yang melawannya, sebagaimana kemenangan Musa atas Fir’aun dan tentaranya”.
Setelah mendengar keterangan yang singkat  itu lalu ‘Amr bin Al-’Ash berkata kepada raja Najasyi, “Apakah tuanku sudi membaiat kepada hamba untuk mengikut Islam ?”. Kata raja Najasyi, “Ya”. Kemudian raja Najasyi mengulurkan tangannya, membaiat ‘Amr bin Al-’Ash untuk mengikut Islam.
Kemudian ‘Amr keluar menjumpai kawan-kawannya, dan waktu itu ia sudah lain pikirannya, karena telah mengikut Islam, tetapi ia masih menyembunyikan keislamannya, tidak berani melahirkan kepada kawan-kawannya.
Selanjutnya ketika ‘Amr bin Al-’Ash akan menghadap Nabi SAW ke Madinah ia berjumpa dengan Khalid bin Walid, seorang pemuda Quraisy yang gigih menentang Islam. Khalid sendiri waktu itu juga sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Maka ‘Amr bertanya kepadanya, “Hai Abu Sulaiman, kamu akan ke mana ?”. Khalid menyahut, “Demi Allah, urusan telah jelas, tidak dapat ditolak lagi bahwa orang laki-laki itu (Nabi SAW) memang Nabi. Aku akan pergi kepadanya. Demi Allah, aku akan menyerah (mengikut Islam). Kalau tidak sekarang, kapan lagi ?”.
Mendengar jawaban Khalid yang demikian itu lalu ‘Amr bin Al-’Ash berkata, “Demi Allah, aku akan datang juga kepada orang itu untuk mengikut Islam”.
Setelah ‘Amr bin Al-’Ash sampai di Madinah dan datang kepada Nabi SAW, lalu masuk Islam. Kata ‘Amr kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya ini akan berbaiat kepada engkau, untuk mengikut Islam, tetapi saya mengharap supaya diampun segala dosa saya yang telah lalu”.
Nabi SAW bersabda :
اِنَّ اْلاِسْلاَمَ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ وَ اْلهِجْرَةَ تَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهَا.
Sesungguhnya Islam itu memutuskan apa yang ada sebelumnya, dan hijrah itu memutuskan apa yang ada sebelumnya. [Al-Bidayah wan-Nihaayah juz 4, hal. 629]
Seketika itu ‘Amr lalu berbaiat masuk Islam.
Islamnya Khalid bin Walid
Khalid bin Walid adalah seorang bangsawan Quraisy di Makkah yang mempunyai kedudukan yang terhormat dalam lingkungan kaumnya sejak di masa jahiliyyah sampai di masa Islam. Karena selain sebagai anak Walid bin Mughirah yang di Makkah, Khalid juga mempunyai sifat pemberani, pandai berkuda dan pintar dalam strategi perang. Sebagai bukti, ketika terjadi perang Uhud, waktu itu ia menjabat sebagai komandan pasukan berkuda bagi pasukan Quraisy, ia berhasil mengacau-balaukan pasukan Islam dalam waktu sekejap, sehingga hampir saja kaum muslimin mendapat kekalahan besar.
Pada suatu hari dalam suatu pertemuan dengan kawan-kawannya dari pemimpin tentara Quraisy, Khalid menerangkan tentang perkembangan agama Islam yang sudah begitu pesat dan kemenangan terus-menerus yang selalu didapat oleh kaum muslimin.
Hati Khalid sangat tertarik kepada Islam, karena melihat peristiwa-peristiwa yang mengagumkan itu. Maka dalam pertemuan itu ia mengatakan secara jujur kepada kawan-kawannya, “Sesungguhnya sekarang telah jelas bagi saya dan bagi segenap orang yang mempunyai pikiran, bahwa Muhammad itu bukan seorang penyihir dan bukan pula seorang penyair. Segala yang dikatakan oleh Muhammad itu adalah perkataan Tuhan semesta alam. Maka sudah seharusnya setiap orang yang mempunyai pikiran sehat tentu akan mengikutnya”.
Kemudian Khalid bin Walid lalu berangkat ke Madinah untuk menghadap Nabi SAW dan menyatakan keislamannya. Ketika ia sedang bejalan akan menuju Madinah, di tengah perjalanan ia bertemu dengan ‘Amr bin Al-Ash yang juga akan menuju ke Madinah untuk menyatakan keislamannya juga.
Ketika Khalid bin Walid telah menyatakan keislamannya di muka Nabi SAW sambil mengucap dua kalimah syahadat, beliau kelihatan gembira dan bersabda kepadanya :
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى هَدَاكَ، قَدْ كُنْتُ أَرَى لَكَ عَقْلاً رَجَوْتُ اَنْ لاَ يُسْلِمَكَ اِلاَّ اِلىَ خَيْرٍ. البداية و النهاية 4: 631
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepadamu. Sesungguhnya aku melihat suatu kecerdasan akal bagimu, aku selalu mengharap bahwa jangan sampai ia menyerahkan kamu melainkan kepada kebajikan. [Al-Bidaayah wan-Nihaayah juz 4, hal. 631]
Islamnya Utsman bin Thalhah
Utsman bin Thalhah ini seorang pemuka Quraisy yang mempunyai kedudukan tinggi juga di kalangan kaumnya, karena ia adalah seorang yang mempunyai hak memegang kunci dan menjaga kehormatan Ka’bah di masa itu. Tetapi ia tidak begitu keras dan kejam dalam membenci dan memusuhi Islam, tidak seperti ‘Amr bin Al-’Ash. Setibanya di Madinah, ia lalu menghadap kepada Nabi SAW bersama dua orang kawannya yang baru saja bertemu di tengah perjalanan itu, lalu menyatakan keislamannya di hadapan beliau.

Bersambung.......


Demo Blog NJW V2 Updated at: September 22, 2019

0 komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah yang bijak