Ahad,
15 Oktober 2000/17 Rajab 1421
Brosur no. : 1055/1095/SI
Kaum
muslimin kena perangkap musuh yang kedua kali (Perang Bi’ru
Ma’unah).
Pada
suatu hari, masih pada bulan Shafar tahun ke-4 H, datanglah seorang Arab dari
qabilah daerah Najd bernama Abu Baraa’ ‘Amir bin Malik kepada Nabi SAW. Oleh
beliau sebagaimana biasa jika ada seseorang yang belum mengikut Islam bertemu
dengan beliau, lalu segera diajak mengikut Islam.
Abu
Baraa’ ketika itu setelah dibacakan beberapa ayat Al-Qur’an dan diberi
penjelasan tentang Islam oleh Nabi SAW, maka dia mendengarkan baik-baik, tetapi
ia berkata terus terang belum mau masuk Islam, namun ia juga tidak menolaknya.
Kata Abu Baraa’ kepada Nabi SAW,
يَا
مُحَمَّدُ لَوْ بَعَثْتَ رِجَالاً مِنْ اَصْحَابِكَ اِلَى اَهْلِ نَجْدٍ
فَدَعَوْهُمْ اِلَى اَمْرِكَ، رَجَوْتُ اَنْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ.
“Ya
Muhammad, saya mengusulkan kepadamu, alangkah baiknya kalau kamu mengutus
beberapa orang utusan kepada kaum ahli Najd untuk menyeru mereka kepada agamamu,
aku berharap mereka akan menyambut seruanmu”.
Setelah
mendengar usul Abu Baraa’ itu lalu Nabi SAW berfikir, karena usul yang
dikemukakan itu kelihatannya tidak akan membahayakan, tetapi beliau masih
ragu-ragu juga, karena khawatir kalau-kalau terjadi seperti yang diperbuat oleh
kaum Banu Hudzail pada peristiwa Ar-Raji’. Maka Nabi SAW menjawab
:
اِنىِّ
اَخْشَى عَلَيْهِمْ اَهْلَ نَجْدٍ
Sesungguhnya
aku mengkhawatirkan sikap penduduk Najd terhadap shahabatku.
Kemudian
Abu Baraa’ menyahut :
اَنَا
لَهُمْ جَارٌ فَابْعَثْهُمْ فَلْيَدْعُوا النَّاسَ اِلَى اَمْرِكَ
Aku
yang menjamin mereka, maka utuslah para shahabatmu untuk menyeru mereka kepada
agamamu.
Ketika
itu Abu Baraa’ menyampaikan pula beberapa hadiah kepada Nabi SAW, tetapi tidak
ada satupun yang diterima beliau. Selanjutnya Abu Baraa’ mendesak kepada Nabi
tentang usulnya tadi. Dan ia meyaqinkan kesanggupannya untuk menjamin
keselamatan dan keamanan para utusan itu.
Nabi
SAW di kala itu masih tetap merasa berat untuk melepaskan para shahabatnya ke
tempat yang diusulkan oleh Abu Baraa’, karena beliau kuatir kalau penduduk Najd akan berkhianat pula terhadap
para utusan beliau. Tetapi Abu Baraa’ berulang-ulang menyatakan kesanggupannya
untuk menjamin keselamatan para utusan beliau.
Dengan
kesanggupan yang berulang kali dinyatakan oleh Abu Baraa’ itu, dan mengingat
bahwa Abu Baraa’ adalah seorang kepala qabilah yang disegani oleh kaumnya,
sedangkan menurut adat yang berlaku bagi bangsa Arab dikala itu, apabila kepala
suatu qabilah telah mengemukakan janjinya untuk melindungi dan menjamin
keselamatan orang-orang dari qabilah lain, maka penduduk di qabilahnya tidak ada
seorang pun yang akan berani mengganggu atau melakukan hal-hal yang tidak
diinginkan yang sudah disanggupi keselamatannya. Maka akhirnya Nabi SAW
mengabulkan permintaan tersebut.
Kemudian
pada suatu hari, Nabi SAW mempersiapkan para shahabat pilihan sebanyak 70 orang
(menurut riwayat lain 40 orang), untuk pergi sebagai mubaligh Islam ke qabilah
daerah Najd itu. Mereka itu sebagian besar dari para shahabat yang mengerti
tentang hukum-hukum agama dan hafal Al-Qur'an di luar kepala. Diantara nama-nama
mereka itu ialah Al-Mundziir bin ‘Amr, ‘Urwah bin Asma’ bin Shalt, Haram bin
Milhan, Al-Harits bin Ash-Shimmah, ‘Amir bin Fuhairah, Nafi’ bin Budail. Nabi
SAW menetapkaan kepala rombongan mereka ialah Al-Mundzir bin
‘Amr.
Pada
hari yang telah ditentukan, berangkatlah mereka itu ke qabilah yang telah
dikemukakan oleh Abu Baraa’, yaitu dengan niat untuk menyiarkan da’wah Islamiyah
kepada segenap penduduk Banu ‘Amir. Setelah perjalanan 70 orang utusan Nabi itu
sampai di Bi’ru Ma’unah (Telaga Ma’unah) sebuah tempat yang terletak diantara
tanah Banu ‘Amir dan Banu Sulaim mereka berhenti, lalu mereka sepakat untuk
mengutus seorang dari mereka, yaitu Haram bin Milhan untuk menyampaikan sepucuk
surat dari Nabi SAW kepada ‘Amir bin Thufail, kepala qabilah
itu.
‘Amir
bin Thufail setelah menerima surat dari Nabi SAW dia tidak mau membacanya,
bahkan membukanya saja tidak mau. Dan seketika itu pula ia sangat marah melihat
kedatangan orang Islam yang membawa surat Nabi SAW itu. Saat itu juga Haram bin
Milhan dibunuh dengan senjata tajam oleh seorang Banu ‘Amir atas perintah ‘Amir
bin Thufail.
Kemudian
‘Amir bin Thufail memanggil segenap
kaumnya Banu ‘Amir untuk menghadapi dan
menolak kedatangan rombongan para mubaligh Islam dari Madinah, tetapi kaumnya
tidak mau menurut perintahnya, tidak berani melanggar perjanjian Abu Baraa’,
karena mereka itu sudah mengetahui bahwa kedatangan para mubaligh Islam ke
daerahnya itu atas usul dan kemauan Abu Baraa’. Maka tidaklah sepatutnya kalau
mereka itu ditolak begitu saja, apalagi dengan kekerasan.
Oleh
karena kaum Banu ‘Amir tidak mau menurut perintah ‘Amir bin Thufail, maka dengan
keras kepala ‘Amir bin Thufail terus berusaha mencari kawan untuk menghadapi
rombongan mubaligh Islam yang datang ke daerahnya itu. Lalu ia memanggil kaum
Banu Sulaim yaitu suku ‘Ushayyah, Ri’il dan Dzakwan untuk diajak bersama-sama
menolak kedatangan rombongan Islam dengan cara kekerasan dan kekejaman. Ia
menghasut kepada mereka itu supaya mengikut ajakan yang jahat itu. Dengan
demikian kaum dari suku-suku tersebut segera dapat dipengaruhinya, dan serentak
dikerahkan untuk menyerang kedatangan rombongan kaum muslimin tersebut.
Para
shahabat yang menanti kembalinya Haram bin Milhan, karena mereka belum
mengetahui bahwa ia sudah dibunuh oleh ‘Amir bin Thufail tetapi setelah
ditunggu-tunggu tidak juga kembali ke tempat mereka, maka mereka segera
berangkat ke rumah ‘Amir bin Thufail.
Dan
sewaktu rombongan kaum muslimin datang ke qabilah tersebut, mereka sudah
dikepung oleh kaum dari suku-suku tersebut, dan dengan komando dari “Amir bin
Thufail sendiri mereka serentak menyerang kaum muslimin dengan
besar-besaran.
Setelah
kaum muslimin mengetahui bahwa mereka sudah dalam bahaya, maka tidak ragu-ragu
lagi mereka harus melawan musuh. Seketika itu terjadilah pertempuran sengit
antara kaum muslimin dengan kaum ’Ushayyah, Ri’il dan Dzakwan. Dengan penuh
keberanian yang disertai keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, kaum muslimin
terus bertempur mempertahankan kehormatannya sebagai ummat yang beriman kepada
Allah meskipun sampai titik darah yang penghabisan.
Oleh
karena fihak pengepung luar biasa banyaknya, maka dengan sendirinya rombongan
kaum muslimin menderita kekalahan serta gugur semuanya. Hanya dua orang yang
dapat terlepas dari pembunuhan, yaitu Ka’ab bin Zaid dan ‘Amr bin Umayyah. Ka’ab
bin Zaid dapat menyelamatkan diri dengan cara pura-pura telah mati bersama-sama
kawan-kawannya yang telah gugur. Kemudian dengan cepat kembali ke Madinah dengan
menderita luka-luka pada tubuhnya. Adapun ‘Amr bin Umayyah Adl-Dlamriy, ia
bersama dengan seorang Anshar dari bani ‘Amr bin ‘Auf tidak menyaksikan
terjadinya pertempuran itu karena mereka bertugas berjalan di belakang
rombongan. Setelah mereka mengetahui bahwa saudara-saudaranya telah gugur, lalu
orang Anshar tersebut bertanya kepada ‘Amr bin Umayyah, “Bagaimana
pendapatmu”. ‘Amr bin Umayyah menjawab, “Sebaiknya kita memberitahukan
hal ini kepada Rasulullah”. Lalu orang Anshra itu berkata, “Tetapi tidak
sepantasnya kalau aku menjauhkan diri dari tempat terbunuhnya Al-Mundzir bin
‘Amr ini”. Kemudian orang Anshar itu menyerang musuh sehingga gugur. Dan
‘Amr bin Umayyah pun ditawan oleh musuh. Tetapi setelah dia memberitahukan bahwa
dia orang dari Mudlarr, lalu ‘Amir bin Thufail melepaskannya. Kemudian ia
kembali ke Madinah.
Di
tengah perjalanan di Qarqarah ‘Amr bin Umayyah bertemu dengan dua orang
laki-laki dari bani ‘Amir. Mereka berdua berhenti dan berteduh bersama ‘Amr bin
Umayyah, padahal dua orang tersebut telah mengikat pernjanjian dengan Rasulullah
SAW dan dalam perlindungan beliau. Tetapi ‘Amr bin Umayyah belum mengetahuinya.
Ketika kedua orang bani ‘Amir tersebut berhenti dan singgah di tempat itu, ‘Amr
bin Umayyah bertanya kepada mereka, “Dari suku apa kalian berdua ?”.
Keduanya menjawab, “Dari Bani ‘Amir”. Kemudian ‘Amr bin Umayyah
menunggunya hingga keduanya tertidur, maka ketika itu dia membunuh kedua orang
tersebut dengan maksud sebagai pembalasan terhadap orang-orang Bani ‘Amir karena
mereka telah membunuh para shahabat Rasulullah SAW.
Setelah
‘Amr bin Umayyah tiba di hadapan Nabi SAW, dia menceritakan kejadian tersebut
kepada beliau, maka beliau bersabda :
لَقَدْ
قَتَلْتَ قَتِيْلَيْنِ َلاَدِيَنَّهُمَا
Sungguh
kamu telah membunuh dua orang, maka aku pasti akan membayar
diyatnya.
[Ibnu Hisyam 4, hal. 139-140]
Betapa
sedih Nabi SAW tatkala menerima laporan yang disampaikan oleh dua orang shahabat
itu, sehingga beliau ketika itu menyatakan penyesalannya terhadap Abu
Baraa’.
Pada
saat itu Nabi SAW sangat sedih atas mushibah yang menimpa para shahabatnya yang
sekian banyaknya, sedang mereka itu terdiri dari shahabat pilihan. Lantaran dari
kesedihan dan kerisauan hati beliau itu, maka beliau sampai sebulan lamanya
setiap mengerjakan shalat lima waktu beliau selalu membaca doa qunut memohonkan
kecelakaan atas para kaum pengkhianat, yaitu kaum-kaum dari suku ‘Ushayyah,
Ri’il, Dzakwan dan Banu Lihyan. Riwayat-riwayat tersebut antara lain
:
عَنْ
اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: دَعَا رَسُوْلُ اللهِ ص عَلَى الَّذِيْنَ قَتَلُوْا
اَصْحَابَ بِئْرِ مَعُوْنَةَ ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا، يَدْعُوْ عَلَى رِعْلٍ وَ
ذَكْوَانَ وَ لِحْيَانَ وَ عُصَيَّةَ، عَصَتِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ. مسلم
1:468
Dari
Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah SAW mendoakan kecelakaan pada orang-orang
yang telah membantai para shahabat di Bi’ru Ma’unah selama tiga puluh Shubuh,
yaitu mendoakan kecelakaan pada suku
Ri’il, Dzakwan, Lihyan dan ‘Ushayyah, mereka itu makshiyat kepada Allah dan
Rasul-Nya”.
[HR. Muslim 1 : 468]
عَنْ
عَاصِمٍ قَالَ: سَمِعْتُ اَنَسًا يَقُوْلُ: مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص وَجَدَ
عَلَى سَرِيَّةٍ مَا وَجَدَ عَلَى السَّبْعِيْنَ الَّذِيْنَ اُصِيْبُوْا يَوْمَ
بِئْرِ مَعُوْنَةَ. كَانُوْا يُدْعَوْنَ اْلقُرَّاءَ فَمَكَثَ شَهْرًا يَدْعُوْ
عَلَى قَتَلَتِهِمْ. مسلم 1:469
Dari
‘Ashim ia berkata : Saya mendengar Anas mengatakan, “Saya tidak pernah melihat
Rasulullah SAW bersedih atas mushibah yang menimpa pasukan beliau sebagaimana
yang aku lihat ketika beliau menerima kenyataan yang menimpa para shahabat pada
peristiwa Bi’ru Ma’unah. Yaitu para shahabat yang disebut sebagai orang-orang
yang ahli membaca Al-Qur’an. Beliau selama sebulan mendoakan kecelakaan pada
orang-orang yang membunuh para shahabat beliau”.
[HR. Muslim 1 : 469]
عَنْ
خُفَافِ بْنِ اِيْمَاءِ اْلغِفَارِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص فِى صَلاَةٍ:
اَللّهُمَّ اْلعَنْ بَنِى لِحْيَانَ وَ رِعْلاً وَ ذَكْوَانَ وَ عُصَيَّةَ عَصَوُا
اللهَ وَ رَسُوْلَهُ. غِفَارٌ غَفَرَ اللهُ لَهَا وَ اَسْلَمُ سَالَمَهَا اللهُ.
مسلم 1:470
Dari
Khufaf bin Ima’ Al-Ghifariy ia berkata : Rasulullah SAW berdo’a di dalam sholat,
“Ya Allah, laknatlah Bani Lihyan, Ri’il, Dzakwan dan ‘Ushayyah, mereka itu telah
makshiyat kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun Bani Ghifar semoga Allah
mengampuninya dan terhadap suku Aslam semoga Allah menyelamatkannya”.
[HR
Muslim 1 : 470]
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَقُوْلُ: حِيْنَ يَفْرُغُ مِنْ
صَلاَةِ اْلفَخْرِ مِنَ اْلقِرَاءَةِ، وَيُكَبِّرُ، وَ يَرْفَعُ رَاْسَهُ: سَمِعَ
اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ، ثُمَّ يَقُوْلُ: وَ هُوَ
قَائِمٌ: اَللّهُمَّ أَنْجِ اْلوَلِيْدَ بْنَ اْلوَلِيْدِ وَ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ
وَ عَيَّاشَ بْنَ اَبِى رَبِيْعَةَ وَاْلمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ.
اَللّهُمَّ اشْدُدْ وَ طْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِى
يُوْسُفَ. اَللّهُمَّ اْلعَنْ لِحْيَانَ وَ رِعْلاً وَ ذَكْوَانَ وَ عُصَيَّةَ
عَصَتِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ. ثُمَّ بَلَغَنَا اَنَّهُ تَرَكَ ذلِكَ لَمَّا
اُنْزِلَ: لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلاَمْرِ شَيْءٌ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ اَوْ
يُعَذّبَهُمْ فَاِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ. ال عمران 128. مسلم 1:466-467
Dari
Abu Hurairah ia berkata : Dahulu Rasulullah SAW setelah membaca surat pada
shalat Shubuh beliau bertakbir (untuk ruku’) lalu mengangkat kepala beliau (dari
ruku’) dengan membaca, “Sami’allaahu liman hamidah, rabbanaa wa lakal-hamdu”,
kemudian beliau dalam keadaan berdiri berdo’a, ”Ya Allah, selamatkan-lah
Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyas bin Abu Rabi’ah dan
orang-orang dlu’afaa’ dari kaum mu’minin. Ya Allah, keraskanlah siksaan-Mu
kepada suku Mudlar dan timpakanlah kepada mereka siksaan seperti (paceklik
panjang) tahun-tahun pada zaman Nabi Yusuf. Ya Allah, laknatlah suku Lihyan,
Ri’il, Dzakwan dan ‘Ushayyah, mereka itu telah makshiyat kepada Allah dan
Rasul-Nya !”. Kemudian sampailah berita kepada kami bahwasanya beliau
meninggalkan hal itu setelah diturunkan ayat “Laisa laka minal amri syai-un au
yatuuba ‘alaihim au yu’adzdzibahum fainnahum dhaalimuun” (Tak ada sedikitpun
campur tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka atau
mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim). - Ali
Imran ayat 128. [HR
Muslim 1: 466-467]
Perlu
diketahui di sini bahwa tentang sebab turunnya ayat 128 surat Ali Imran tersebut
ada dua macam riwayat. Riwayat pertama menyatakan bahwa ayat tersebut diturunkan
berkenaan dengan doa qunut Nabi SAW sebagaimana riwayat diatas, dan yang kedua
menyatakan berkenaan dengan peristiwa perang Uhud sebagaimana riwayat yang telah
lalu, wallaahu a’lam bishshawab.
Demikianlah
riwayat peristiwa kaum muslimin kena perangkap musuh yang kedua
kali.
Peristiwa
tersebut di dalam kitab-kitab tarikh Islam biasa disebut dengan Peristiwa
Bi’ru (telaga) Ma’unah atau Pasukan Al-Qurraa’, dan peristiwa
tersebut terjadi pada bulan Shafar tahun ke-IV Hijrah.
Dan
menurut riwayat, bahwa Abu Baraa’ sendiri setelah mendengar peristiwa yang amat
menyedihkan itu, dia sangat marah dan berang terhadap perbuatan ‘Amir bin
Thufail itu. Dia sebagai seorang ketua suatu kaum merasa amat malu kepada Nabi
SAW. Sehubungan dengan hal itu, maka tidak lama setelah Abu Baraa’ mendengar
berita yang amat menyedihkan itu lantaran amat malunya kepada Nabi SAW dan juga
sangat marahnya terhadap perbuatan ‘Amir bin Thufail tadi yang membikin malu
serta menjatuhkan kehormatannya itu, akhirnya ia meninggal
dunia.
Kemudian
anak Abu Baraa’ yang bernama Rabi’ah, lantaran mengerti bahwa kematian bapaknya
akibat dari pengkhianatan ‘Amir bin Thufail, maka diam-diam ia berusaha untuk
menuntut balas. Maka pada suatu hari datanglah Rabi’ah anak laki-laki Abu Baraa’
ke rumah ‘Amir bin Thufail dengan membawa tombaknya, lalu dengan tiba-tiba
menikam ‘Amir bin Thufail sehingga mati.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak