Ahad,
28 Januari 2001/03 Dzulqa’dah 1421
Brosur No. : 1070/1110/SI
Dua
shahabat yang berjaga ketika pulang dari Perang Dzaatur
Riqaa’
Ibnu
Ishaq dan Ahmad meriwayatkan dari Jabir RA, ia berkata, “Kami pernah berangkat
bersama Rasulullah SAW pada peperangan Dzaatur Riqaa’. Ketika itu ada seorang
wanita dari kaum musyrikin yang tertawan. Setelah rombongan Rasulullah SAW
beranjak pulang, kemudian suami wanita itu yang baru datang dari bepergian,
bersumpah tidak akan berhenti mencari istrinya sebelum dapat mengalirkan darah
para shahabat Nabi Muhammad SAW. Maka ia keluar mengikuti jejak perjalanan Nabi
SAW. Kemudian di tengah perjalanan Nabi SAW singgah di suatu lembah, lalu
bersabda, “Siapakah diantara kalian yang bersedia menjaga kita semua pada malam
ini ?”. Kemudian seorang dari Muhajirin dan seorang lagi dari Anshar menyahut,
“Kami, wahai Rasulullah”. (Ibnu Ishaq menambahkan keterangan bahwa kedua orang
ini ialah ‘Ammar bin Yasir dan ‘Ibad bin Bisyir). Kemudian Nabi SAW berpesan,
“Jagalah kami di mulut lorong ini”.
Ketika
kedua shahabat itu keluar ke mulut lorong, shahabat Anshar berkata kepada
shahabat Muhajirin, “Engkau inginkan aku berjaga di permulaan malam atau akhir
malam ?”. Kemudian shahabat Muhajirin menjawab, “Jagalah kami di awal malam”.
Kemudian shahabat Muhajirin itu berbaring dan tidur. Sedangkan shahabat Anshar
melakukan shalat. Kemudian datanglah lelaki musyrik itu, dan ketika mengenali
shahabat Anshar itu, dia faham bahwa shahabat itu sedang tugas
berjaga.
Kemudian
orang itu memanahnya dan tepat mengenainya, lalu shahabat Anshar mencabut anak
panah tersebut dan tetap berdiri tegak. Kemudian orang itu memanahnya lagi dan
tepat mengenainya, lalu shahabat itu mencabutnya lagi dan tetap berdiri tegak.
Kemudian untuk ketiga kalinya orang itu memanahnya dan tepat mengenainya lagi,
lalu dicabutnya juga, kemudian shahabat Anshar itu ruku’ dan sujud. Setelah itu
baru dia membangunkan shahabatnya seraya berkata, “Duduklah karena aku telah
dilukai”. Kemudian shahabat Muhajirin tersebut melompat. Ketika orang musyrik
melihat keduanya, dia sadar bahwa dirinya telah diketahui lalu ia pun melarikan
diri. Ketika shahabat Muhajirin mengetahui darah yang berlumuran di tubuh
shahabat Anshar tersebut, ia berkata, “Subhaanallah, kenapa kamu tidak
membangunkanku dari tadi ?”. Dia menjawab, “Aku sedang membaca satu surat dan
aku tidak ingin memutusnya. Setelah berkali-kali orang itu memanahku, baru aku
ruku’ dan memberitahukan kepadamu. Demi Allah, kalau bukan karena takut
mengabaikan tugas penjagaan yang diperintahkan Rasulullah SAW kepadaku, niscaya
nafasku akan berhenti sebelum aku membatalkan shalat”.
Rasulullah
SAW berbincang-bincang dengan shahabat Jabir bin ‘Abdullah.
Bukhari,
Muslim, Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat-nya dan Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya
telah meriwayatkan, dari Jabir bin ‘Abdillah RA, ia berkata, “Aku pernah keluar
bersama Rasulullah SAW ke peperangan Dzaatur Riqaa’ dengan mengendarai untaku
yang sangat lemah. Ketika Rasulullah SAW beranjak pulang, para shahabat pun
bergerak maju kecuali aku yang tertinggal di belakang, sehingga Rasulullah
mendapatiku lalu bertanya, “Kenapa wahai Jabir ?”. Aku menjawab, “Wahai
Rasulullah, aku tertinggal karena untaku yang lambat ini”. Nabi SAW bersabda,
“Jerumkanlah dia”. Lalu aku dan Rasulullah SAW menjerumkannya. Kemudian
Rasulullah SAW bersabda, “Berikan tongkat yang kau bawa itu kepadaku”. Kemudian
tongkat itu aku berikan pada beliau. Maka beliau mengambil tongkat itu dan
memukulkannya pada untaku beberapa kali, lalu bersabda, “Sekarang naikilah !”.
Kemudian aku menaikinya dan berjalan lancar. Demi Tuhan yang mengutusnya dengan
benar, untaku mendahului unta beliau”.
Selanjutnya
aku berbicang-bincang dengan Rasulullah SAW. Beliau bertanya kepadaku, “Maukah
kamu menjual untamu ini padaku, wahai Jabir ?”. Aku menjawab, “Wahai Rasulullah,
aku hadiahkan saja untukmu”. Nabi SAW bersabda, “Tidak. Juallah padaku”. Aku
berkata, “Kalau begitu tawarlah wahai Rasulullah”. Nabi SAW menawar, “Bagaimana
kalau aku beli satu dirham”. Aku jawab, “Tidak. Itu merugikan aku wahai
Rasulullah”. Nabi SAW menawar lagi, “Dua dirham ?”. Aku jawab, “Tidak”. Kemudian
Rasulullah SAW terus menaikkan tawarannya sampai mencapai harga satu ‘Uqiyah.
Lalu aku bertanya, “Apakah engkau telah rela wahai Rasululah ?”. Nabi SAW
menjawab, “Ya, sudah”. Aku berkata, “Unta ini milikmu”. Nabi SAW bertanya,
“Wahai Jabir, apakah kamu sudah menikah ?”. Aku jawab, “Sudah wahai Rasulullah”.
Nabi SAW bertanya, “Janda atau gadis ?”. Aku jawab, “Janda”. Nabi SAW bersabda,
“Mengapa tidak memilih gadis sehingga kamu bisa bersenang-senang dengannya dan
dia bisa bersenang-senang denganmu ?”. Aku jawab, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ayahku telah gugur di Uhud. Dia meninggalkan tujuh anak wanita,
maka aku menikah dengan wanita yang pandai ngemong, terampil merawat dan
mengasuh mereka”. Nabi SAW bersabda, “Engkau benar Insya Allah. Kalau kita sudah
sampai di Shirara (nama sebuah tempat dekat Madinah), kita suruh penyembelih
untuk memotong sembelihan. Kita semua tinggal di situ sehari, agar dia (istri
Jabir) mendengar kedatangan kita lalu mempersiapkan bantalnya (Maksudnya apabila
dia mengetahui kedatangan Jabir maka dia akan mempersiapkan rumah untuk
menyambut kedatangannya). Aku berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak
punya bantal”. Nabi SAW menjawab, “Dia pasti punya. Karena itu apabila kamu
datang, lakukanlah suatu perbuatan yang menyenangkan”.
Jabir
berkata, “Ketika kami sampai di Shirara, Rasulullah SAW memerintahkan tukang
sembelih untuk melakukan tugasnya, lalu hari itu kami tinggal di situ. Keesokan
harinya Rasulullah SAW bersama kami masuk Madinah”.
Jabir
berkata : Pada pagi hari aku menuntun unta, aku bawa sampai ke depan pintu rumah
Rasulullah SAW, kemudian aku duduk di masjid berdekatan dengan rumah Rasulullah
SAW. Setelah Rasulullah SAW keluar dan melihat unta itu, beliau bertanya, “Apa
ini ?”. Mereka (para shahabat) menjawab, “Wahai Rasulullah, ini adalah unta yang
dibawa Jabir”. Nabi SAW bertanya, “Dimana Jabir ?”. Kemudian aku dipanggil
menghadap beliau, lalu beliau bersabda, “Wahai anak saudaraku, bawalah untamu,
dia milikmu”. Lalu Nabi SAW memanggil Bilal dan berkata kepadanya, “Pergilah
bersama Jabir dan berikan kepadanya satu ‘Uqiyah”. Kemudian aku pergi besamanya
lalu dia memberiku satu ‘Uqiyah dan menambahkan sesuatu kepadaku. Demi Allah,
uang itu terus bertambah dan bisa dilihat hasilnya di rumah
kami”.
Adapun
sebabnya perang tersebut dinamakan dengan Dzaatur Riqaa’ Bukhari Muslim
meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ariy RA, ia berkata, “Kami keluar bersama
Rasulullah SAW dalam suatu peperangan. Pada waktu itu kami enam orang bergantian
mengendarai satu unta. Kemudian telapak kaki kami pecah-pecah, dan telapak kaki
saya sendiri pun pecah-pecah, dan kukunya pun terlepas, lalu waktu itu kami
membalut kaki-kaki kami dengan sobekan kain. Maka aku menamakan peperangan itu
dengan perang “Dzaatur Riqaa’ (Sobekan kain).
Abu
Musa Al-Asy’ariy menyebutkan hadits
tersebut, tetapi kemudian dia tidak menyukainya, seolah-olah dia tidak
suka menceritakan amalnya (perjuangannya) tersebut.
Perang
Badr Al-Akhirah
Setelah
perang Dzaatur Riqaa’ yang terjadi pada bulan Rabi’uts Tsani (ada yang
mengatakan Jumadil ‘Ula) tahun 4 H. Kemudian pada bulan Sya’ban tahun 4 H, Nabi
SAW mempersiapkan pasukannya untuk memenuhi tantangan Abu Sufyan pada waktu
perang Uhud yang menjanjikan untuk bertempur kembali di
Badr.
Waktu
itu kebetulan sedang musim kemarau, dan biasa di Badr pada tiap-tiap tahun
setiap bulan Sya’ban diadakan pasar perdagangan yang besar. Maka pada bulan
Sya’ban tahun ke-4 ini di sana diadakan pasar sebagaimana biasa. Nabi SAW
mengirim khabar kepada kaum musyrikin Quraisy di Makkah yang menyatakan bahwa
beliau beserta tentara muslimin akan berangkat ke Badr untuk memenuhi tantangan
Abu Sufyan ketika perang Uhud yang mengajak bertempur lagi di
Badr.
Setelah
Abu Sufyan menerima surat dari Nabi SAW yang menyatakan bahwa tentara muslimin
sudah siap-siap berangkat ke Badr memenuhi tantangan Abu Sufyan untuk perang di
Badr, maka pada saat itu dia merasa
berat untuk bertempur dengan tentara muslimin. Tetapi karena dia sendiri
yang menjanjikan kepada tentara muslimin untuk bertempur lagi di Badr, maka
untuk menutup malu, dia menyuruh seseorang supaya segera datang ke Madinah
mengkhabarkan kepada Nabi SAW bahwa dia (Abu Sufyan) beserta tentara Quraisy
telah berangkat dari Makkah menuju Badr dengan jumlah yang sangat besar dan
membawa alat perang selengkapnya. Dan jika tentara muslimin berani melawan mereka, maka dalam waktu sebentar saja sudah
bisa dihancurkan.
Orang
yang menjadi suruhan Abu Sufyan tersebut bernama Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’iy
dengan terburu-buru datang ke Madinah untuk menyampaikan khabar bohong dari Abu
Sufyan tadi. Setibanya di Madinah, Nu’aim langsung menemui Nabi SAW yang ketika
itu beliau beserta tentara muslimin sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Badr.
Kemudian Nu’aim menyampaikan kepada Nabi SAW bahwa tentara Quraisy dengan jumlah
yang besar telah berangkat menuju Badr. Dan jika tentara muslimin akan
melawannya niscaya dalam waktu yang singkat sudah bisa dikalahkan. Kemudian
Nu’aim bin Mas’ud berkeliling menghasut dan menyebarkan berita yang demikian itu
dengan maksud untuk menakut-nakuti kaum muslimin.
Kemudian
shahabat Abu Bakr dan ‘Umar datang menghadap Nabi SAW seraya berkata, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya Allah yang memberi kemenangan kepada nabi-Nya, dan
memuliakan agama-Nya. Sedangkan kaum Quraisy yang congkak-congkak itu telah
berjanji kepada kita dengan perjanjian yang sombong, maka kita tidak ingin kalau
kita dikatakan tidak berani memenuhi janji itu. Dan jika kita tidak mau memenuhi
tantangan mereka, sudah barang tentu kita dianggap takut kepada
mereka.
Nabi
SAW sangat gembira melihat para shahabatnya begitu tebal keyakinannya, kemudian
beliau bersabda :
وَ
الَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ َلاَ خْرُجَنَّ وَ لَوْ وَحْدِى
Demi
Tuhan yang diriku di tangan-Nya, sungguh aku akan berangkat walaupun
sendirian.
Dan
tentara muslimin yang ditakut-takuti oleh pesuruh Abu Sufyan ketika itu hanya
menjawab :
حَسْبُنَا
اللهُ وَ نِعْمَ اْلوَكِيْلُ
Cukuplah
Allah bagi kami, dan Dia sebaik-baik pelindung.
Setelah
pimpinan ummat di Madinah diserahkan kepada shahabat ‘Abdullah bin Rawahah (ada
yang mengatakan diserahkan kepada ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay bin Salul),
Nabi SAW beserta tentara muslimin
sebanyak 1.500 orang berangkat menuju Badr, dan diantara mereka ada yang
membawa barang dagangan untuk dijual di Badr (karerna bertepatan dengan pasar
tahunan).
Adapun
Abu Sufyan membawa pasukannya 2.000 orang lebih, tetapi keberangkatan mereka itu
hanya untuk menakut-nakuti kaum muslimin belaka. Ketika akan berangkat, Abu
Sufyan berkata kepada pasukannya, “Sesungguhnya walaupun kita sudah menyuruh
Nu’aim bin Mas’ud ke Madinah untuk menakut-nakuti Muhammad dan tentaranya agar
mereka tidak jadi berangkat ke Badr, tetapi marilah kita berangkat dari Makkah
terus berjalan sehari atau dua hari lalu kita kembali. Jika Muhammad dan
tentaranya tidak berangkat, maka tujuan keberangkatan kita untuk menakut-nakuti
Muhammad itu telah tercapai. Demikian ini berarti kitalah yang menang. Tetapi
jika Muhammad dan tentaranya tetap keluar ke Badr, maka biarlah mereka tahu
bahwa pada masa ini adalah masa kemarau yang tidak patut bagi kita untuk
berperang.
Kemudian
ketika perjalanan tentara musyrikin sampai di suatu dusun Majannah, lalu segera
kembali ke Makkah.
Nabi
SAW beserta tentara muslimin setibanya di Badr tidak mendapati pasukan musyrikin
di sana, bahkan ditunggu-tunggu oleh Nabi SAW beserta kaum muslimin sampai 8
hari lamanya Abu Sufyan dan pasukannya tidak muncul di Badr, akhirnya Nabi SAW
memerintahkan kepada tentara muslimin untuk kembali ke Madinah setelah mereka
menjual barang-barang dagangannya yang dibawa dari Madinah, dan merekapun
mendapat keuntungan yang besar.
Menurut
riwayat, sehubungan dengan peristiwa tersebut Allah menurunkan wahyu Surat Ali
Imran 172-175.
الَّذِيْنَ
اسْتَجَابُوا ِللهِ وَ الرَّسُوْلِ مِنْ بَعْدِ مَا اَصَابَهُمُ اْلقَرْحُ،
لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا مِنْهُمْ وَ اتَّقَوْا اَجْرٌ عَظِيْمٌ. الَّذِيْنَ قَالَ
لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ
اِيْمَانًا وَّ قَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ. فَانْقَلَبُوْا
بِنِعْمَةٍ مّنَ اللهِ وَ فَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ، وَ اتَّبَعُوْا
رِضْوَانَ اللهِ، وَ اللهُ ذُوْ فَضْلٍ عَظِيْمٍ. اِنَّمَا ذلِكُمُ الشَّيْطَانُ
يُخَوّفُ اَوْلِيَآءَهُ فَلاَ تَخَافُوْهُمْ وَ خَافُوْنِ اِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِيْنَ. ال عمران:172-175
Orang-orang
yang menthaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam
peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan
yang bertaqwa ada pahala yang besar. (172)
(Yaitu)
orang-orang (yang menthaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang
yang mengatakan, "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah
keimanan mereka dan mereka menjawab, "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan
Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (173)
Maka
mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak
mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridlaan Allah. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar. (174)
Sesungguhnya
mereka itu tidak lain hanyalah syaithan yang menakut-nakuti (kamu) dengan
kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang
beriman. (175) [QS.
Ali Imran]
Demikianlah
perang Badr akhirah atau perang Badr Mau’id (Badr yang dijanjikan) yang terjadi
pada bulan Sya’ban tahun 4 H.
Beberapa
peristiwa lain yang terjadi pada tahun ke-4 hijrah.
1. Pada tahun ini istri Nabi SAW yang bernama
Zainab binti Khuzaimah RA meninggal dunia.
2. Pada bulan Jumadil ula tahun ini ‘Abdullah bin
‘Utsman RA (cucu Rasulullah SAW) wafat dalam usia + 6 tahun, karena ia
dilahirkan di Habasyah ketika Ruqayah bersama ‘Utsman hijrah ke
sana.
3. Pada bulan Sya’ban tahun ini Fathimah binti
Muhammad SAW melahirkan seorang anak
laki-laki yang diberi nama Husain.
4. Pada tahun ini ibunya ‘Ali RA (Fathimah binti
Asad) wafat.
5. Pada bulan Syawwal tahun ini Nabi SAW menikah
dengan Ummu Salamah, setelah ia ditinggal wafat suaminya (Abu
Salamah).
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak