Ahad,
25 Maret 2001/30 Dzulhijjah 1421 Brosur No. :
1079/1119/SI
Beberapa
kejadian sehubungan dengan perang bani Musthaliq
Setelah
kaum muslimin tiba di Madinah, ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubaiy datang menemui
Rasulullah SAW, lalu berkata :
يَا
رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّهُ بَلَغَنِى اَنَّكَ تُرِيْدُ قَتْلَ عَبْدِ اللهِ بْنِ
اُبَيّ فِيْمَا بَلَغَكَ عَنْهُ، فَاِنْ كُنْتَ فَاعِلاً فَمُرْلِى بِهِ، فَاَنَا
اَحْمِلُ اِلَيْكَ رَأْسَهُ. فَوَ اللهِ لَقَدْ عَلِمَتِ اْلخَزْرَجُ مَا كَانَ
بِهَا مِنْ رَجُلٍ اَبَرُّ بِوَالِدِهِ مِنّى وَ اِنّى اَخْشَى اَنْ تَأْمُرَ بِهِ
غَيْرِى فَيَقْتُلُهُ فَلاَ تَدَعُنِى نَفْسِى اَنْ اَنْظُرَ اِلَى قَاتِلِ عَبْدِ
اللهِ بْنِ اُبَيّ يَمْشِى فِى النَّاسِ. فَاَقْتُلَهُ، فَاَقْتُلُ مُؤْمِنًا
بِكَافِرٍ فَاَدْخُلُ النَّارَ.
Ya
Rasulullah, sesungguhnya saya dengar engkau ingin membunuh ‘Abdullah bin Ubay
berkenaan apa yang diperbuat terhadapmu. Jika benar engkau ingin melakukannya,
maka perintahlah aku. Aku bersedia membawa kepalanya ke hadapanmu. Demi Allah,
orang-orang suku Khazraj telah sama mengetahui bahwa tidak ada orang yang lebih
berbhakti kepada ayahnya daripada diriku. Aku khawatir jika engkau memerintahkan
kepada orang lain selain aku untuk membunuhnya, lalu aku tidak tahan melihat
pembunuh ‘Abdullah bin Ubay berjalan di tengah masyarakat, sehigga aku
membunuhnya. Ini berarti aku membunuh seorang mukmin karena membela seorang
kafir, sehingga aku masuk neraka.
Lalu
Nabi SAW menjawab :
بَلْ
نَتَرَفَّقُ بِهِ وَ نُحْسِنُ صُحْبَتَهُ مَا بَقِيَ مَعَنَا
Bahkan
kita akan bertindak lemah lembut dan berlaku baik kepadanya, selama dia masih
tinggal bersama kita.
[Al-Bidayah 4:546]
Sejak
itulah apabila ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul mengemukakan suatu pendapat atau
ucapan, selalu ditentang dan dikecam oleh kaumnya. Kemudian Rasulullah SAW
berkata kepada ‘Umar bin Khaththab, “Bagaimanakah pandanganmu, wahai ‘Umar ?
Demi Allah, seandainya engkau membunuhnya pada hari kau katakan kepadaku
“bunuhlah dia”, niscaya orang-orang akan ribut. Tetapi, seandainya aku
perintahkankamu untuk membunuhnya sekarang, apakah kamu akan membunuhnya juga
?”. Jawab ‘Umar, “Demi Allah, aku telah mengetahui bahwa keputusan Rasulullah
SAW lebih besar berkahnya daripada pendapatku”.
Shahabat
minta fatwa kepada Nabi SAW tentang ‘azl
Setelah
pembagian tawanan perang Bani Musthaliq kepada para shahabat lalu diantara para
shahabat meminta fatwa kepada Nabi SAW tentang ‘azl sebagaimana hadits di bawah
ini :
عَنْ
اَبِى سَعِيْدٍ رض قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص فِى غَزْوَةِ بَنِى
اْلمُصْطَلِقِ، فَاَصَبْنَا سَبَايَا مِنَ اْلعَرَبِ فَاشْتَهَيْنَا النّسَاءَ وَ
اشْتَدَّتْ عَلَيْنَا اْلعُزْبَةُ وَ اَحْبَبْنَا اْلعَزْلَ فَسَأَلْنَا عَنْ ذلِكَ
رَسُوْلَ اللهِ ص فَقَالَ: مَا عَلَيْكُمْ اَنْ لاَ تَفْعَلُوْا، فَاِنَّ اللهَ
عَزَّ وَ جَلَّ قَدْ كَتَبَ مَا هُوَ خَالِقٌ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ. احمد و
البخارى و مسلم
Dari
Abu Sa’id RA, ia berkata : Aku pernah keluar bersama Rasulullah SAW dalam perang
Banil Musthaliq, lalu kami memperoleh tawanan-tawanan dari orang-orang ‘Arab,
kemudian kami mempunyai keinginan kepada para wanita, sedang kami sangat berat
membujang dan kami suka ‘azl, lalu kami tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW,
maka jawab beliau, “Tidak mengapa bagimu untuk melakukannya, karena Allah ‘Azza
wa Jalla benar-benar telah menentukan apa yang akan Dia ciptakan sampai yaumul
qiyamah”.
[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
Dengan
jawaban Rasulullah SAW tersebut jelaslah kebolehan tentang
‘azl.
Perkawinan
Nabi SAW dengan Juwairiyah
Sebagaimana
diketahui bahwa diantara para tawanan Banu Musthaliq ada seorang anak perempuan
dari pembesar kaum tersebut yang bernama Barrah (Barirah) binti Al Harits bin
Abi Dlirar yang kemudian diberi nama Juwairiyah oleh Nabi SAW dan diambil istri
oleh beliau SAW.
Diriwayatkan
dari ‘Aisyah RA, ia berkata, bahwa setelah Rasulullah SAW membagi
tawanan-tawanan Banu Musthaliq, Juwairiyah jatuh pada bagian Tsabit bin Qais bin
Syamsy atau menjadi bagian anak pamannya. Lalu Juwairiyah ingin menebus dirinya.
Juwairiyah adalah seorang puteri yang cantik rupawan lagi sangat menarik
siapapun yang melihatnya. Kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW untuk minta
tolong dalam menebus dirinya. Ia berkata : Saya Juwairiyah puteri Al Harits
pemimpin kaum, saya telah tertimpa bencana sebagaimana telah engkau ketahui, dan
saya akan dibebaskan kalau saya bisa menebus diri saya. Oleh karena itu
tolonglah saya”. Rasulullah SAW
bersabda, “Apakah kamu mau yang lebih baik dari itu ? Yaitu aku akan bayar
tebusanmu lalu aku mengawinimu ?”. Juwairiyah menjawab, “Ya, mau”. Kemudian
Rasulullah SAW melakukannya.
Setelah
kaum muslimin mendengar khabar bahwa Rasulullah SAW telah mengawini Juwairiyah
maka mereka sama membicarakan tawanan yang ada pada mereka masing-masing (karena
dengan perkawinan tersebut, berarti orang-orang tawanan itupun merupakan
keluarga isteri Rasulullah SAW).
Akhirnya mereka sama melepaskan (memerdekakan) para tawanan dari Banu
Musthaliq yang sudah menjadi bagian mereka masing-masing. Maka ketika itu
dibebaskanlah seratus keluarga Banu Musthaliq (tanpa tebusan). ‘Aisyah berkata,
“Saya tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih besar berkahnya untuk
kaumnya dari pada Juwairiyah. Dahulu Juwairiyah namanya adalah Barrah (Barirah),
lalu Rasulullah SAW menamakan-nya dengan Juwairiyah (Siyaru A’lamin Nubalaa’ II
: 470+471).
Begitulah
singkatnya riwayat perkawinan Nabi SAW dengan Juwairiyah. (Dalam satu riwayat
disebutkan Nabi SAW memberinya mas kawin 400 dirham). Dan dengan perkawinan
tersebut menyebabkan dibebaskannya tawanan-tawanan Banu Musthaliq yang sudah
dibagi, karena kaum muslimin merasa malu memperbudak orang-orang dari kaum yang
mempunyai tali perkawinan dengan Nabi SAW. Dan benarlah apa yang dikatakan oleh
‘Aisyah tersebut, yaitu : Saya tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih
besar berkahnya untuk kaumnya dari pada Juwairiyah. Karena dengan perkawinan
tersebut bukan saja membawa berkah untuk dirinya sendiri dengan mengikut Islam,
tetapi orang tuanya, saudara-saudaranya dan sebagian besar kaum Banu Musthaliq
lalu mengikut Islam dengan baik.
Berita
Bohong (Haditsul Ifki)
Ketika
dalam perjalanan pulang kaum muslimin dari perang Banu Musthaliq inilah tersiar
berita bohong yang bertujuan merusak keluaraga Nabi SAW. Berikut kami kemukakan
ringkasan dari riwayat yang tertera di dalam Bukhari - Muslim
:
‘Aisyah
RA meriwayatkan bahwa biasanya Rasulullah SAW apabila hendak bepergian, beliau
mengundi para istri, siapa yang akan ikut bersama beliau. Pada waktu itu namaku
keluar, maka aku ikut pergi bersama Rasulullah SAW dalam peperangan itu. ‘Aisyah
RA berkata, “Setelah selesai peperangan, Rasulullah SAW bergegas pulang dan
memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua
orang sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar untuk membuang hajat.
Setelah selesai, aku terus kembali untuk bergabung dengan rombongan. Pada saat
itu kuraba-raba kalung di leherku, ternyata sudah tak ada lagi. Aku lalu kembali
lagi ke tempat dimana aku membuang hajat tadi untuk mencari kalung hingga
akhirnya dapat kutemukan kembali”.
Di
saat aku sedang mencari-cari kalung tersebut, datanglah orang-orang yang
bertugas melayani unta tungganganku. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka
menduga aku berada di dalam haudaj (rumah kecil yang terpasang di atas punggung
unta) sebagaimana dalam perjalanan. oleh
sebab itu haudaj lalu mereka angkat kemudian diikatkan pada punggung unta.
Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku tidak berada di dalam haudaj
tersebut, lalu mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai
berangkat.
Ketika
aku kembali ke tempat pemberhentian tadi, tidak kujumpai seorang pun yang masih
tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimutkan jilbab aku berbaring di
tempat itu. Aku berfikir, apabila mereka mengetahui bahwa aku tidak ada dan
mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku. Demi Allah,
di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu’aththal lewat. Agaknya ia
bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan ia melihat bayang-bayangku. Ia
mendekat lalu berdiri di depanku (ia sudah mengenal dan melihatku sebelum
diwajibkan berhijab). Ketika melihatku ia berucap, “Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi raaji’un. Istri Rasulullah ?”. Aku pun terbangun oleh ucapannya itu. Aku
tetap menutup diriku dengan jilbabku. Demi Allah, kami tidak mengucapkan satu
kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali ucapan Innaa lillaahi
wa innaa ilahi raaji’uun itu. Kemudian dia merendahkan untanya lalu aku duduk
menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki itu sampai
akhirnya kami dapat bergabung lagi dengan rombongan ketika mereka sedang turun
untuk istirahat di siang hari. Di sinilah mulainya tersiar fitnah tentang
diriku. Fitnah ini bersumber dari mulut Abdullah bin Ubaiy bin
Salul.
‘Aisyah
RA melanjutkan kisahnya, “Setibanya di Madinah kesehatanku terganggu selama
sebulan. Saat itu rupanya orang-orang sudah banyak mendesas-desuskan berita
bohong itu, sedang aku sendiri belum mendengar sesuatu mengenainya. Hanya saja
aku tidak melihat kelembutan dari Rasulullah SAW yang biasa kurasakan ketika aku
sakit. Beliau hanya masuk lalu mengucapkan salam dan bertanya, “Bagaimana
keadaanmu ?”. Setelah agak sehat, aku keluar pada suatu malam bersama Ummu
Misthah untuk buang hajat. Waktu itu kami belum membuat kakus. Di saat kami
pulang, tiba-tiba kaki Ummu Misthah terantuk hingga kesakitan dan terlontar
ucapan dari mulutnya, “Celaka si Misthah !”. Ia kutegur, “Alangkah buruknya
ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam perang
Badar !”. Ummu Misthah bertanya, “Apakah anda tidak mendengar apa yang
dikatakannya ?”. ‘Aisyah RA melanjutkan, “Ia kemudian menceritakan kepadaku
tentang berita bohong yang tersiar sehingga sakitku bertambah parah. Malam itu
aku menangis hingga pagi, air mataku terus menetes dan aku tidak dapat
tidur”.
Kemudian
Rasulullah SAW mulai meminta pandangan para shahabatnya mengenai masalah ini.
Diantara mereka ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, mereka (para istri Nabi)
adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan”. Dan ada pula yang
mengatakan, “Engkau tak perlu bersedih, masih banyak wanita (lainnya).
Tanyakanlah hal itu kepada pelayan perempuan (maksudnya Barirah) Ia pasti akan
memberi keterangan yang benar kepadamu”.
Rasulullah
SAW lalu memanggil pelayan perempuan bernama Barirah lalu bertanya, “Apakah kamu
melihat sesuatu yang mencurigakan dari ‘Aisyah ?”. Ia lalu mengkhabarkan kepada
Nabi SAW bahwa ia tidak mengetahui ‘Aisyah kecuali sebagai orang yang baik-baik.
Kemudian Nabi SAW berdiri ke atas mimbar dan bersabda :
يَا
مَعْشَرَ اْلمُسْلِمِيْنَ، مَنْ يَعْذُرُنِى مِنْ رَجُلٍ قَدْ بَلَغَ اَذَاهُ
اَهْلِ بَيْتِى؟ فَوَ اللهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى اَهْلِى اِلاَّ خَيْرًا. وَ لَقَدْ
ذَكَرُوْا رَجُلاً مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ اِلاَّ خَيْرًا.
Wahai
kaum Muslimin, siapa yang akan membelaku dari seorang laki-laki yang telah
menyakiti keluargaku ? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali
yang baik. Sesungguhnya mereka telah menyebutkan seorang laki-laki yang aku
tidak mengenal laki-laki itu kecuali sebagai orang yang baik
pula.
Sa’ad
bin Mu’adz lalu berdiri seraya berkata, “Aku yang akan membelamu dari orang itu
wahai Rasulullah. Jika dia dari suku Aus, kami siap memenggal lehernya. Jika dia
dari saudara kami suku Khazraj maka perintahkanlah kami, kami pasti akan
melakukannya”. Lalu timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah SAW
meredakan mereka.
‘Aisyah
RA melanjutkan, “Kemudian Rasulullah SAW datang ke rumahku. Saat itu ayah-ibuku
berada di rumah. Ayah-ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan
hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu Nabi SAW tidak pernah duduk di sisiku.
Selama sebulan beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku”. ‘Aisyah RA
berkata : Ketika dalam keadaan demikian, Nabi SAW duduk lalu membaca puji syukur
ke hadlirat Allah SWT, lalu bersabda, “Hai ‘Aisyah, aku telah mendengar mengenai
apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Tetapi jika kamu tidak bersalah maka
Allah SWT pasti akan membebaskan dirimu. Jika kamu telah melakukan dosa maka
mintalah ampunan kepada Allah SWT dan taubatlah kepada-Nya”. Seusai Rasulullah
SAW mengucapkan yang demikian, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran.
Kemudian aku katakan kepada ayahku, “Berilah jawaban kepada Rasulullah mengenai
diriku”. Ayahku menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab”.
Aku katakan pula kepada ibuku, “Berilah jawaban mengenai diriku”. Dia pun
menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab”. Lalu aku
berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu sehingga
kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak
bersalah, dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah, kalian pasti tidak
akan membenarkannya. Jika aku mengakuinya, dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku
tidak bersalah, pasti kalian akan membenarkannya. Demi Allah, aku tidak
menemukan perumpamaan untuk diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan
oleh ayahnya Nabi Yusuf AS :
فَصَبْرٌ
جَمِيْلٌ، وَ اللهُ اْلمُسْتَعَانُ عَلى مَا تَصِفُوْنَ. يوسف:18
Maka
keshabaran yang baik itulah (keshabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.
[QS. Yusuf : 18]
‘Aisyah
RA berkata, “Kemudian aku pindah dan berbaring di atas tempat
tidurku”.
Dan
ketika itu, demi Allah, aku merasa tidak bersalah dan Allah pasti akan
membebaskanku. Tetapi demi Allah, aku tidak menyangka kalau akan diturunkan
wahyu mengenai hal itu, karena masalahitu kuanggap sesuatu yang remeh. Hanya aku
berharap mudah-mudahan Rasulullah melihat dalam mimpi bahwa Allah
membebaskanku.
Selanjutnya
‘Aisyah berkata, “Demi Allah, Rasulullah SAW belum bergerak dari tempat
duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar, sehingga
Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti
biasanya setiap habis menerima wahyu yang diturunkan kepadanya”. ‘Aisyah
berkata, “Kemudian keringat mulai
berkurang dari badan Rasulullah SAW, lalu beliau tersenyum. Ucapan yang pertama
kali terdengar ialah, “Bergembiralah wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah telah
membebaskan kamu”. Kemudian ibukupun berkata, “Berdirilah (berterimakasihlah)
kepadanya”. Aku menjawab :
لاَ،
وَ اللهِ لاَ اَقُوْمُ اِلَيْهِ وَ لاَ اَحْمَدُ اِلاَّ اللهَ، هُوَ الَّذِى
اَنْزَلَ بَرَاءَتِى
Tidak,
Demi Allah aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi SAW), dan
aku tidak akan memuji kecuali kepada Allah. Karena Dia-lah yang telah menurunkan
pembebasanku.
Aisyah
RA berkata, “Kemudian Allah menurunkan firman-Nya” :
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
...... dst
[QS. An-Nuur :11-21]
[Bersambung]
Aisyah
melanjutkan : Sebelum peristiwa ini ayahku membiayai Masthah karena kekerabatan
dan kemiskinannya. Tetapi setelah peristiwa ini ayahku berkata : Demi Allah,
saya taidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkannya kepada
Aisyah. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
وَ
لاَ يَأْتَلِ اُولُوا اْلفَضْلِ مِنْكُمْ وَ السَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْا اُولِى
اْلقُرْبى وَ اْلمَسكِيْنَ وَ اْلمُهجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَ لْيَعْفُوْا
وَ لْيَصْفَحُوْا، اَلاَ تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللهُ لَكُمْ، وَ اللهُ
غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. النور:22
Dan
janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya).
Orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan
hendaklah mereka menafkahkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa
Allah mengampunimu ? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS 24
: 22].
Lalu
Abu Bakar berkata : Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan ampunan Allah.
Kemudian ia kembali membiayai Masthah.
Kemudian
Nabi SAW keluar menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan membacakan ayat-ayat
Al-Qur’an yang telah diturunkan mengenai masalah ini. Selanjutnya Nabi SAW
memerintahkan supaya dilakukan hukuman hadd (dera) kepada Masthah bin Utsatsah,
Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy karena mereka termasuk orang-orang yang
ikut menyebarluaskan desas-desus berita fitnah tersebut.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak