Ahad,
17 Juni 2001/25 Rabiul awal 1422
Brosur no. : 1091/1131/SI
Beberapa
peristiwa ajaib ketika menggali khandaq
Dalam
sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW dan kaum muslimin
mengerjakan penggalian parit, terjadilah peristiwa yang mengherankan, yaitu
:
Tentang
padas yang tidak dapat diangkat para shahabat :
Ketika
orang-orang sedang sibuk menggali parit, mereka mendapati padas yang tidak dapat
dipecahkan dan tidak dapat diangkat.
Diantara shahabat yang hadir pada waktu itu ada yang berkata, “Demi
Tuhan yang mengutus dia (Muhammad) sebagai Nabi dengan benar, setiap kami
berusaha mengambil padas itu, padas tersebut kembali tertimbun, yang tidak bisa
diselesaikan dengan kapak maupun sekop”. Kemudian hal ini disampaikan kepada
Nabi SAW. Setelah mendapat laporan itu, beliau lalu meminta supaya diambilkan
air dalam bejana. Kemudian beliau meniup pada air itu, lalu berdoa kepada Allah
dan menyiramkan air pada padas tersebut. Tidak lama kemudian padas itu pun dapat
dipecahkan sehingga dapat diambil dengan mudah.
Kurma
yang sedikit bisa mencukupi orang banyak :
Pada
waktu itu anak perempuan Basyir bin
Sa’ad (saudara perempuan Nu’man bin Basyir) disuruh oleh ibunya (‘Amrah binti
Rawahah) membawa kurma satu hafnah (sepenuh dua tapak tangan yang disatukan)
untuk disampaikan kepada ayahnya (Basyir bin Sa’ad) dan pamannya (‘Abdullah bin
Rawahah) yang sedang ikut bekerja menggali parit, agar digunakan untuk makan
siang. Lalu anak perempuan itu membawanya dengan dibungkus sehelai
kain.
Ketika
anak perempuan itu lewat di hadapan Nabi SAW sambil mencari ayah dan pamannya,
tiba-tiba Nabi SAW memanggilnya dan menanyakan, apa yang dibawanya itu. Ia
menjawab bahwa ia disuruh ibunya supaya menyampaikan kurma ini kepada ayah dan
pamannya. Kemudian Nabi SAW meminta supaya kurma yang dibawanya itu diserahkan
saja melalui beliau. Berhubung dengan permintaan Nabi itu, maka kurma yang
dibawa tersebut lalu dituangkan pada kedua telapak tangan beliau, ternyata kurma
itu tidak sampai memenuhi kedua telapak tangan Nabi SAW, karena hanya
sedikit.
Kemudian
Nabi SAW meminta supaya dibentangkan kain, lalu beliau menyebar kurma yang
sedikit itu diatasnya, dan menyuruh orang yang ada di sampingnya supaya
memanggil orang-orang yang sedang bekerja menggali parit itu supaya datang
memakan buah kurma tersebut. Mereka segera memenuhi panggilan itu dan berkumpul
dihadapan Nabi SAW, kemudian memakan kurma tersebut. Anehnya, kurma yang sedikit
itu tidak habis dimakan oleh orang yang begitu banyak, bahkan setelah semua
orang kenyang memakannya, kurma itu pun masih banyak.
Makanan
yang sedikit dapat mencukupi orang banyak :
Jabir
bin ‘Abdullah menceritakan bahwa para shahabat bekerja bersama Rasulullah SAW
menggali tanah untuk membuat parit. Ketika itu Jabir bin ‘Abdullah mempunyai kambing yang kecil.
Dalam hatinya berkata, “Alangkah baiknya kalau kambing itu kami masak untuk
Rasulullah SAW”. Lalu ia menyuruh istrinya supaya memasak gandum dibuat
roti, dan dia lalu menyembelih kambing itu untuk Rasulullah SAW. Setelah
menjelang petang hari, ketika beliau akan pulang dari menggali parit itu, Jabir
bin ‘Abdullah berkata, “Ya Rasulullah, saya sudah membakar daging kambing dan
membuat roti untuk engkau, maka sudilah kiranya engkau datang ke rumah
kami”.
Setelah
Jabir mengatakan demikian, Nabi SAW bersabda, “Ya, baiklah”. Pada waktu
itu Jabir bin ‘Abdullah berharap supaya beliau datang sendirian dan hanya
bersama dirinya saja.
Kemudian
beliau memerintah seorang shahabat supaya memanggil orang-orang yang sedang
menggali parit supaya datang bersama beliau ke rumah Jabir. Jabir bin ‘Abdullah
sendiri sangat terperanjat ketika mendengar hal itu dan ia berkata, “Inaa
lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun”.
Kemudian
Rasulullah SAW datang ke rumah Jabir
bersama orang banyak. Nabi SAW lalu duduk dan Jabir mengeluarkan makanan yang
telah disediakan untuk beliau. Kemudian beliau memohonkan barakah dan menyebut
nama Allah, lalu makan, dan orang-orang bergantian untuk makan. Setiap satu
rombongan selesai makan, maka mereka berdiri lalu pergi, dan datanglah rombongan
lain untuk makan. Demikian seterusnya hingga tidak ada seorang pun dari yang
bekerja pada hari itu yang tidak ikut makan makanan yang disediakan Jabir bin
‘Abdullah itu.
Batu
putih yang dipecah dan mengeluarkan cahaya :
Menurut
Salman Al-Farisiy, ketika ia bekerja menggali parit bersama Nabi SAW, ia
mendapati sebuah batu putih yang sangat besar. Batu itu tidak dapat dipecahkan
karena kerasnya, para shahabat berusaha memecahkannya sekuat tenaga, tetapi
tidak ada yang mampu. Salman sendiri sebagai seorang yang paling kuat dalam hal
menggali pun tidak sanggup memecahkannya. Pada waktu itu Nabi SAW kebetulan ada
di dekat Salman. Setelah Nabi SAW melihat hal yang demikian, beliau meminta
cangkul yang dipegang Salman, lalu mengayunkan cangkul itu ke batu tersebut.
Pertama kali beliau menghantamkan cangkul itu, keluarlah cahaya yang memancar di
bawah cangkul itu. Kemudian Nabi SAW
menghantamkan cangkul yang kedua kali, dan keluar pula cahaya yang memancar di
bawah cangkul itu. Kemudian beliau menghantam-kan cangkul untuk yang ketiga
kalinya, dan memancar pula cahaya yang ketiga kalinya dari bawah cangkul
itu.
Lalu
Salman bertanya kepada Nabi SAW tentang cahaya yang memancar ketika beliau
menghantamkan cangkul itu pada batu. Maka beliau menerangkan dengan sabdanya,
“Cahaya yang pertama menunjukkan bahwa Allah akan menaklukkan negeri Yaman
kepadaku. Cahaya yang kedua menunjukkan bahwa Allah akan menaklukkan negeri Syam
dan negeri barat kepadaku. Dan cahaya yang ketiga menunjukkan bahwa Allah akan
menaklukkan negeri yang ada di timur kepadaku”.
Menurut
riwayat lain, disebutkan ketika Nabi SAW memerintahkan untuk membuat parit, kami
mendapati batu yang tidak bisa kami pecahkan dengan cangkul, lalu Rasulullah SAW
mengambil cangkul dan mengucap, “Bismillah”, lalu beliau menghantamkan
cangkul itu sehingga pecah sepertiga, dan beliau bersabda, “Alloohu akbar,
aku telah diberi kunci-kunci negeri Syam. Demi Allah sesungguhnya aku dapat
melihat istananya yang merah dari tempatku ini”. Kemudian beliau
menghantamkan lagi, dan mengucapkan “Bismillah”, maka batu itu pecah lagi
sepertiga, beliau mengucapkan, “Alloohu akbar, aku telah diberi kunci-kunci
negeri Persia, demi Allah, sungguh aku melihat istana Madain yang putih sekarang
ini”. Kemudian beliau menghantamkan kembali yang ketiga kalinya dan
mengucapkan, “Bismillah”, maka pecahlah batu itu, lalu beliau
mengucapkan, “Alloohu akbar, demi Allah aku telah diberi kunci-kunci negeri
Yaman, demi Allah sungguh aku melihat saat ini pintu Shan’aa’ dari tempatku
ini”.
Demikianlah
riwayat “peristiwa ajaib yang terjadi” ketika Nabi SAW dan kaum muslimin
menggali khandaq.
Nabi
Muhammad SAW mempersiapkan pertahanan tentara Islam
Setelah
penggalian khandaq selesai, maka beliau segera mempersiap-kan pertahanan dan
mengatur barisan tentara Islam.
Rumah-rumah
yang terletak di jurusan musuh yang akan datang dan di luar parit, diperintahkan
supaya dikosongkan semuanya. Orang-orang perempuan dan anak-anak yang berdiam di
situ dipindahkan ke dalam lingkungan parit. Batu-batu sudah diangkat dan
diletakkan di bagian sebelah dalam tepi parit untuk melempari pihak musuh bila
berani mendekat atau memasukinya.
Barisan
tentara Islam waktu itu hanya berjumlah 3.000 orang. Para pemuda muslimin yang
belum berumur 15 tahun tidak diperkenankan menjadi tentara. Lalu Nabi SAW
menyerahkan pimpinan ummat Islam di Madinah kepada shahabat ‘Abdullah bin Ummi
Maktum. Bendera kaum Muhajirin diserahkan kepada shahabat Zaid bin Haritsah, dan
bendera kaum Anshar diserahkan kepada shahabat Sa’ad bin
‘Ubadah.
Pada
waktu itu Nabi SAW dibuatkan sebuah kubu di dekat parit, untuk tempat kediaman
beliau beserta istrinya yang ikut serta. Diantara istri beliau yang ikut ialah
‘Aisyah, Ummu Salamah dan Zainab binti Jahsy. Ketika itu beliau memerintahkan
kepada seluruh penduduk Madinah agar kaum wanita dan anak-anak ditempatkan pada
lokasi yang aman.
Tentara
Ahzab berjalan dari Makkah yang berjumlah lebih dari 10.000 orang, dipimpin oleh
Abu Sufyan sebagai panglima tertinggi. Kegemparan di jalan yang mereka lalui
tidak terhingga, berteriak-teriak, memekik, genderang dan rebana selalu dipukul
dan dipalu sahut-menyahut, silih berganti, mereka merasa bahwa pertempuran
melawan kaum muslimin pasti mereka menangkan. Dari Makkah mereka terus menuju ke
bukit Uhud, karena mereka berharap supaya dapat bertempur dan berperang dengan
tentara Islam di situ. Tetapi setelah sampai di tempat yang dituju, tidak ada
seorang pun dari kaum muslimin yang mereka temui. Mereka lalu melanjutkan
perjalanan ke Madinah.
Sesampai
di pinggiran kota Madinah mereka terperanjat, karena melihat khandaq yang begitu
lebar dan dalam, mengelilingi Madinah. Pada mulanya mereka berharap bila mereka
telah sampai di Madinah akan terus melakukan serangan dan menyerbu ke jantung
kota, tetapi harapan mereka itu ternyata sia-sia belaka, karena mereka terhalang
benteng pertahanan yang amat ganjil, benteng pertahanan yang belum pernah mereka
lihat dan belum pernah mereka ketahui dalam riwayat peperangan bangsa ‘Arab.
Mereka merasa tidak akan dapat meloncati parit itu, walau dengan kuda sekalipun.
Walaupun demikian, ketua-ketua dan kepala-kepala pasukan mereka tetap sombong
dan congkak, mereka berusaha mencari jalan bagaimana cara menyerang kota Madinah
dan menghancurkan kaum muslimin.
Kemudian
mereka berhenti dan menempatkan pasukannya di sebelah luar parit pertahanan kaum
muslimin. Pasukan dari golongan Quraisy dan pengikut-pengikutnya dari Banu
Kinanah dan penduduk Tihamah ditempatkan pada satu tempat yang bernama
Mujtama’ul Asyal. Pasukan dari Ghathafan dan pengikutnya dari penduduk Najd
ditempatkan pada suatu tempat yang bernama Dzanbu Naqma, di samping bukit Uhud.
Di tempat-tempat tersebut mereka mendirikan perkemahan. Dan penyerangan itu
terjadi pada musim hujan dan dingin.
Adapun
barisan tentara Islam pada waktu itu sudah diatur dan disiapkan oleh Nabi SAW
dibawah pimpinan beliau sendiri. Mereka menghadap-kan muka ke arah musuh yang
hanya dipisahkan oleh parit itu.
Tentara
Islam ketika itu melihat musuh yang begitu besar dengan bersenjata lengkap
bukannya menjadi ciut dan gentar, tetapi malah semakin berkobar semangatnya.
Tentara Islam sudah siap berjuang sampai nafas yang penghabisan, dan
masing-masing sudah siap untuk mati syahid.
Setelah
tentara kaum musyrikin merasa tidak akan mampu melakukan serangan ke kota
Madinah dan tidak bisa menyeberangi parit tersebut, akhirnya mereka memutuskan
untuk sementara mereka akan mengadakan serangan dengan cara melepaskaan
panah-panah ke tempat-tempat tentara Islam. Maka terjadilah panah-memanah antara
mereka dan kaum muslimin.
Kegelisahan
tentara kaum musyrikin
Sudah
beberapa hari lamanya tentara kaum musyrikin berkemah di tepi khandaq, tetapi
belum juga dapat melakukan serangan terhadap tentara Islam. Padahal waktu itu
musim dingin. Udara semakin terasa dingin, angin padang pasir yang luas terbuka
itu meniup dingin sekali, menembus ke kubu-kubu dan kemah-kemah mereka, dan
hujan pun turun dengan lebat. Suasana begini terus-menerus melanda mereka siang
dan malam.
Dalam
situasi yang tidak menentu itu kegelisahan mulai melanda diantara
pasukan-pasukan Ahzab, kini semangat mereka untuk meneruskan penyerangan ke kota
Madinah mulai kendur dan kesombongan mereka mulai surut. Kegelisahan itu
mencapai puncaknya ketika bahan perbekalan mereka telah menipis. Para pemimpin
mereka tidak menduga sama sekali bahwa mereka akan tertahan sampai sekian lama
di tempat ini. Memberi makan bala tentara yang sekian banyaknya itu setiap hari
bukanlah perkara yang mudah, lebih-lebih di tempat yang sedang mereka diami itu,
tanahnya gundul, tidak ada apa-apa, bahkan airpun sulit didapatkan. Maka para
pemimpin mereka itu menemui kesulitan yang amat berat untuk meneguhkan dan
menabahkan hati bala tentaranya.
Kegelisahan
yang demikian ini dirasakan pula oleh para pemuka kaum Yahudi yang telah
berhasil mengajak dan mengumpulkan pasukan bangsa ‘Arab musyrikin itu untuk
bersekutu. Mereka menyadari bahwa jika usaha mereka ini gagal atau jika
pasukan-pasukan Ahzab sampai mengundurkan diri sebelum melakukan serangan
terhadap kota Madinah, berarti satu kemenangan besar bagi kaum muslimin, dan
tentu kaum muslimin kelak akan melakukan serangan pembalasan terhadap mereka
(kaum Yahudi).
Begitulah
kesulitan-kesulitan yang mereka alami.
Kaum
Yahudi Quraidhah menjadi pengikut tentara Ahzab
Huyaiy
bin Akhthab salah seorang kepala kaum Yahudi yang telah berhasil mengumpulkan
tentara Ahzab itu, lalu berusaha dengan sekuat tenaga untuk menahan langkah
mundurnya pasukan Ahzab yang hampir patah semangatnya itu, agar mereka tetap
meneruskan kepungannya sampai kaum muslimin menyerah. Usaha itu pun rupanya
berhasil. Para pemuka pasukan Ahzab dapat diajak berunding dan diajak untuk
bertahan terus, dengan janji bahwa ia sanggup menyelesaikan segala urusan yang
mereka gelisahkan, yaitu dengan cara mengajak kaum Yahudi banu Quraidhah supaya
memihak mereka untuk memerangi Nabi dan kaum muslimin. Kalau kaum Yahudi banu
Quraidhah itu mau memutuskan persahabatan dengan kaum muslimin (karena waktu itu
Banu Quraidhah masih terikat perjanjian damai dengan Nabi SAW dan mempertahankan
kota Madinah dari serangan musuh, maka bala tentara Ahzab pasti dapat menyerang
kaum muslimin dengan cara Banu Quraidhah menyerang dari belakang dan tentara
Ahzab menyerang dari muka. Disamping itu bantuan-bantuan dari Banu Quraidhah
yang berupa bahan makanan dan sebagainya kepada kaum muslimin tentu praktis
terhenti.
Dengan
demikian maka kaum muslimin tidak akan bertahan lebih lama lagi di dalam kota
Madinah.
Demikianlah
alasan-alasan yang dikemukakan Huyaiy bin Akhthab di hadapan para kepala pasukan
Ahzab. Kemudian Huyaiy bin Akhthab pergi ke tempat kaum Yahudi banu Quraidhah,
yang letaknya di bagian atas kota Madinah, dengan tujuan untuk menemui Ka’ab bin
Asad Al-Quradhiy kepala kaum banu Quraidhah.
Pada
mulanya Ka’ab bin Asad merasa berat menerima kedatangan Huyaiy bin Akhthab,
karena ia sadar bahwa kedatangannya itu akan membawa bahaya atas dirinya dan
kaumnya. Bahkan ketika Huyaiy kelihatan datang ke kampung banu Quraidhah, maka
ditutuplah pintu bentengnya agar kepala kaum Yahudi banu Nadlir yang telah
terusir itu jangan sampai masuk ke dalamnya. Tetapi Huyaiy tidak mau pergi dari
pintu benteng perkampungan mereka itu, dan terus-menerus berteriak-teriak
meminta dibukakan, yang akhirnya terpaksa dibukakan.
Setelah
Huyaiy masuk, ia berkata kepada Ka’ab, “Saya datang kepadamu dengan membawa
kebesaran masa lalu dan kemuliaan yang kekal, saya datang kepadamu dengan
membawa seluruh kekuatan bangsa Quraisy dan Ghathafan beserta para pemimpin dan
para ketua mereka. Kaum Quraisy bertempat di Mujtama’ul Asyal, dan kaum
Ghathafan bertempat di Dzanbu Naqma. Mereka telah berjanji dan bersumpah, bahwa
mereka tidak akan pulang ke tempat masing-masing sebelum Muhammad dan kaum
muslimin dapat dihancurkan semuanya. Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk
menyerbu ke kota ini kecuali parit itu”.
Ka’ab
menjawab, “Bagaimana nanti kalau bala tentara Ahzab itu meninggalkan kita,
sebelum Muhammad dan para pengikutnya hancur binasa
?”.
Kebimbangan
Ka’ab itu dijawab Huyaiy dengan janji dan kesanggupan bahwa Ka’ab dan kaumnya
akan dijamin boleh masuk ke kampung Yahudi banu Nadlir dan hidup bersama
mereka.
Dengan
hasutan dan bujukan Huyaiy itu akhirnya hati Ka’ab bin Asad tertarik dan
menerima kemauan Huyaiy bin Akhthab tersebut, lalu seketika itu juga ia
memutuskan tali persahabatan dan janji perdamaian dengan Nabi SAW, lalu memihak
kepada tentara Ahzab untuk menghancurkan kaum muslimin.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak