POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE

Tarikh Nabi Muhammad SAW (ke-94) Beberapa peristiwa ajaib ketika menggali khandaq

Posted by

Ahad, 17 Juni 2001/25 Rabiul awal 1422         Brosur no. : 1091/1131/SI
Tarikh Nabi Muhammad SAW (ke-94)


Beberapa peristiwa ajaib ketika menggali khandaq
Dalam sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW dan kaum muslimin mengerjakan penggalian parit, terjadilah peristiwa yang mengherankan, yaitu :
Tentang padas yang tidak dapat diangkat para shahabat :
Ketika orang-orang sedang sibuk menggali parit, mereka mendapati padas yang tidak dapat dipecahkan dan tidak dapat diangkat.  Diantara shahabat yang hadir pada waktu itu ada yang berkata, “Demi Tuhan yang mengutus dia (Muhammad) sebagai Nabi dengan benar, setiap kami berusaha mengambil padas itu, padas tersebut kembali tertimbun, yang tidak bisa diselesaikan dengan kapak maupun sekop”. Kemudian hal ini disampaikan kepada Nabi SAW. Setelah mendapat laporan itu, beliau lalu meminta supaya diambilkan air dalam bejana. Kemudian beliau meniup pada air itu, lalu berdoa kepada Allah dan menyiramkan air pada padas tersebut. Tidak lama kemudian padas itu pun dapat dipecahkan sehingga dapat diambil dengan mudah.
Kurma yang sedikit bisa mencukupi orang banyak :
Pada waktu itu  anak perempuan Basyir bin Sa’ad (saudara perempuan Nu’man bin Basyir) disuruh oleh ibunya (‘Amrah binti Rawahah) membawa kurma satu hafnah (sepenuh dua tapak tangan yang disatukan) untuk disampaikan kepada ayahnya (Basyir bin Sa’ad) dan pamannya (‘Abdullah bin Rawahah) yang sedang ikut bekerja menggali parit, agar digunakan untuk makan siang. Lalu anak perempuan itu membawanya dengan dibungkus sehelai kain.
Ketika anak perempuan itu lewat di hadapan Nabi SAW sambil mencari ayah dan pamannya, tiba-tiba Nabi SAW memanggilnya dan menanyakan, apa yang dibawanya itu. Ia menjawab bahwa ia disuruh ibunya supaya menyampaikan kurma ini kepada ayah dan pamannya. Kemudian Nabi SAW meminta supaya kurma yang dibawanya itu diserahkan saja melalui beliau. Berhubung dengan permintaan Nabi itu, maka kurma yang dibawa tersebut lalu dituangkan pada kedua telapak tangan beliau, ternyata kurma itu tidak sampai memenuhi kedua telapak tangan Nabi SAW, karena hanya sedikit.
Kemudian Nabi SAW meminta supaya dibentangkan kain, lalu beliau menyebar kurma yang sedikit itu diatasnya, dan menyuruh orang yang ada di sampingnya supaya memanggil orang-orang yang sedang bekerja menggali parit itu supaya datang memakan buah kurma tersebut. Mereka segera memenuhi panggilan itu dan berkumpul dihadapan Nabi SAW, kemudian memakan kurma tersebut. Anehnya, kurma yang sedikit itu tidak habis dimakan oleh orang yang begitu banyak, bahkan setelah semua orang kenyang memakannya, kurma itu pun masih banyak.
Makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak :
Jabir bin ‘Abdullah menceritakan bahwa para shahabat bekerja bersama Rasulullah SAW menggali tanah untuk membuat parit. Ketika itu Jabir  bin ‘Abdullah mempunyai kambing yang kecil. Dalam hatinya berkata, “Alangkah baiknya kalau kambing itu kami masak untuk Rasulullah SAW”. Lalu ia menyuruh istrinya supaya memasak gandum dibuat roti, dan dia lalu menyembelih kambing itu untuk Rasulullah SAW. Setelah menjelang petang hari, ketika beliau akan pulang dari menggali parit itu, Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Ya Rasulullah, saya sudah membakar daging kambing dan membuat roti untuk engkau, maka sudilah kiranya engkau datang ke rumah kami”.
Setelah Jabir mengatakan demikian, Nabi SAW bersabda, “Ya, baiklah”. Pada waktu itu Jabir bin ‘Abdullah berharap supaya beliau datang sendirian dan hanya bersama dirinya saja.
Kemudian beliau memerintah seorang shahabat supaya memanggil orang-orang yang sedang menggali parit supaya datang bersama beliau ke rumah Jabir. Jabir bin ‘Abdullah sendiri sangat terperanjat ketika mendengar hal itu dan ia berkata, “Inaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun”.
Kemudian Rasulullah  SAW datang ke rumah Jabir bersama orang banyak. Nabi SAW lalu duduk dan Jabir mengeluarkan makanan yang telah disediakan untuk beliau. Kemudian beliau memohonkan barakah dan menyebut nama Allah, lalu makan, dan orang-orang bergantian untuk makan. Setiap satu rombongan selesai makan, maka mereka berdiri lalu pergi, dan datanglah rombongan lain untuk makan. Demikian seterusnya hingga tidak ada seorang pun dari yang bekerja pada hari itu yang tidak ikut makan makanan yang disediakan Jabir bin ‘Abdullah itu.
Batu putih yang dipecah dan mengeluarkan cahaya :
Menurut Salman Al-Farisiy, ketika ia bekerja menggali parit bersama Nabi SAW, ia mendapati sebuah batu putih yang sangat besar. Batu itu tidak dapat dipecahkan karena kerasnya, para shahabat berusaha memecahkannya sekuat tenaga, tetapi tidak ada yang mampu. Salman sendiri sebagai seorang yang paling kuat dalam hal menggali pun tidak sanggup memecahkannya. Pada waktu itu Nabi SAW kebetulan ada di dekat Salman. Setelah Nabi SAW melihat hal yang demikian, beliau meminta cangkul yang dipegang Salman, lalu mengayunkan cangkul itu ke batu tersebut. Pertama kali beliau menghantamkan cangkul itu, keluarlah cahaya yang memancar di bawah cangkul itu. Kemudian Nabi  SAW menghantamkan cangkul yang kedua kali, dan keluar pula cahaya yang memancar di bawah cangkul itu. Kemudian beliau menghantam-kan cangkul untuk yang ketiga kalinya, dan memancar pula cahaya yang ketiga kalinya dari bawah cangkul itu.
Lalu Salman bertanya kepada Nabi SAW tentang cahaya yang memancar ketika beliau menghantamkan cangkul itu pada batu. Maka beliau menerangkan dengan sabdanya, “Cahaya yang pertama menunjukkan bahwa Allah akan menaklukkan negeri Yaman kepadaku. Cahaya yang kedua menunjukkan bahwa Allah akan menaklukkan negeri Syam dan negeri barat kepadaku. Dan cahaya yang ketiga menunjukkan bahwa Allah akan menaklukkan negeri yang ada di timur kepadaku”.
Menurut riwayat lain, disebutkan ketika Nabi SAW memerintahkan untuk membuat parit, kami mendapati batu yang tidak bisa kami pecahkan dengan cangkul, lalu Rasulullah SAW mengambil cangkul dan mengucap, “Bismillah”, lalu beliau menghantamkan cangkul itu sehingga pecah sepertiga, dan beliau bersabda, “Alloohu akbar, aku telah diberi kunci-kunci negeri Syam. Demi Allah sesungguhnya aku dapat melihat istananya yang merah dari tempatku ini”. Kemudian beliau menghantamkan lagi, dan mengucapkan “Bismillah”, maka batu itu pecah lagi sepertiga, beliau mengucapkan, “Alloohu akbar, aku telah diberi kunci-kunci negeri Persia, demi Allah, sungguh aku melihat istana Madain yang putih sekarang ini”. Kemudian beliau menghantamkan kembali yang ketiga kalinya dan mengucapkan, “Bismillah”, maka pecahlah batu itu, lalu beliau mengucapkan, “Alloohu akbar, demi Allah aku telah diberi kunci-kunci negeri Yaman, demi Allah sungguh aku melihat saat ini pintu Shan’aa’ dari tempatku ini”.
Demikianlah riwayat “peristiwa ajaib yang terjadi” ketika Nabi SAW dan kaum muslimin menggali khandaq.

Nabi Muhammad SAW mempersiapkan pertahanan tentara Islam
Setelah penggalian khandaq selesai, maka beliau segera mempersiap-kan pertahanan dan mengatur barisan tentara Islam.
Rumah-rumah yang terletak di jurusan musuh yang akan datang dan di luar parit, diperintahkan supaya dikosongkan semuanya. Orang-orang perempuan dan anak-anak yang berdiam di situ dipindahkan ke dalam lingkungan parit. Batu-batu sudah diangkat dan diletakkan di bagian sebelah dalam tepi parit untuk melempari pihak musuh bila berani mendekat atau memasukinya.
Barisan tentara Islam waktu itu hanya berjumlah 3.000 orang. Para pemuda muslimin yang belum berumur 15 tahun tidak diperkenankan menjadi tentara. Lalu Nabi SAW menyerahkan pimpinan ummat Islam di Madinah kepada shahabat ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Bendera kaum Muhajirin diserahkan kepada shahabat Zaid bin Haritsah, dan bendera kaum Anshar diserahkan kepada shahabat Sa’ad bin ‘Ubadah.
Pada waktu itu Nabi SAW dibuatkan sebuah kubu di dekat parit, untuk tempat kediaman beliau beserta istrinya yang ikut serta. Diantara istri beliau yang ikut ialah ‘Aisyah, Ummu Salamah dan Zainab binti Jahsy. Ketika itu beliau memerintahkan kepada seluruh penduduk Madinah agar kaum wanita dan anak-anak ditempatkan pada lokasi yang aman.
Tentara Ahzab berjalan dari Makkah yang berjumlah lebih dari 10.000 orang, dipimpin oleh Abu Sufyan sebagai panglima tertinggi. Kegemparan di jalan yang mereka lalui tidak terhingga, berteriak-teriak, memekik, genderang dan rebana selalu dipukul dan dipalu sahut-menyahut, silih berganti, mereka merasa bahwa pertempuran melawan kaum muslimin pasti mereka menangkan. Dari Makkah mereka terus menuju ke bukit Uhud, karena mereka berharap supaya dapat bertempur dan berperang dengan tentara Islam di situ. Tetapi setelah sampai di tempat yang dituju, tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mereka temui. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah.
Sesampai di pinggiran kota Madinah mereka terperanjat, karena melihat khandaq yang begitu lebar dan dalam, mengelilingi Madinah. Pada mulanya mereka berharap bila mereka telah sampai di Madinah akan terus melakukan serangan dan menyerbu ke jantung kota, tetapi harapan mereka itu ternyata sia-sia belaka, karena mereka terhalang benteng pertahanan yang amat ganjil, benteng pertahanan yang belum pernah mereka lihat dan belum pernah mereka ketahui dalam riwayat peperangan bangsa ‘Arab. Mereka merasa tidak akan dapat meloncati parit itu, walau dengan kuda sekalipun. Walaupun demikian, ketua-ketua dan kepala-kepala pasukan mereka tetap sombong dan congkak, mereka berusaha mencari jalan bagaimana cara menyerang kota Madinah dan menghancurkan kaum muslimin.
Kemudian mereka berhenti dan menempatkan pasukannya di sebelah luar parit pertahanan kaum muslimin. Pasukan dari golongan Quraisy dan pengikut-pengikutnya dari Banu Kinanah dan penduduk Tihamah ditempatkan pada satu tempat yang bernama Mujtama’ul Asyal. Pasukan dari Ghathafan dan pengikutnya dari penduduk Najd ditempatkan pada suatu tempat yang bernama Dzanbu Naqma, di samping bukit Uhud. Di tempat-tempat tersebut mereka mendirikan perkemahan. Dan penyerangan itu terjadi pada musim hujan dan dingin.
Adapun barisan tentara Islam pada waktu itu sudah diatur dan disiapkan oleh Nabi SAW dibawah pimpinan beliau sendiri. Mereka menghadap-kan muka ke arah musuh yang hanya dipisahkan oleh parit itu.
Tentara Islam ketika itu melihat musuh yang begitu besar dengan bersenjata lengkap bukannya menjadi ciut dan gentar, tetapi malah semakin berkobar semangatnya. Tentara Islam sudah siap berjuang sampai nafas yang penghabisan, dan masing-masing sudah siap untuk mati syahid.
Setelah tentara kaum musyrikin merasa tidak akan mampu melakukan serangan ke kota Madinah dan tidak bisa menyeberangi parit tersebut, akhirnya mereka memutuskan untuk sementara mereka akan mengadakan serangan dengan cara melepaskaan panah-panah ke tempat-tempat tentara Islam. Maka terjadilah panah-memanah antara mereka dan kaum muslimin.

Kegelisahan tentara kaum musyrikin
Sudah beberapa hari lamanya tentara kaum musyrikin berkemah di tepi khandaq, tetapi belum juga dapat melakukan serangan terhadap tentara Islam. Padahal waktu itu musim dingin. Udara semakin terasa dingin, angin padang pasir yang luas terbuka itu meniup dingin sekali, menembus ke kubu-kubu dan kemah-kemah mereka, dan hujan pun turun dengan lebat. Suasana begini terus-menerus melanda mereka siang dan malam.
Dalam situasi yang tidak menentu itu kegelisahan mulai melanda diantara pasukan-pasukan Ahzab, kini semangat mereka untuk meneruskan penyerangan ke kota Madinah mulai kendur dan kesombongan mereka mulai surut. Kegelisahan itu mencapai puncaknya ketika bahan perbekalan mereka telah menipis. Para pemimpin mereka tidak menduga sama sekali bahwa mereka akan tertahan sampai sekian lama di tempat ini. Memberi makan bala tentara yang sekian banyaknya itu setiap hari bukanlah perkara yang mudah, lebih-lebih di tempat yang sedang mereka diami itu, tanahnya gundul, tidak ada apa-apa, bahkan airpun sulit didapatkan. Maka para pemimpin mereka itu menemui kesulitan yang amat berat untuk meneguhkan dan menabahkan hati bala tentaranya.
Kegelisahan yang demikian ini dirasakan pula oleh para pemuka kaum Yahudi yang telah berhasil mengajak dan mengumpulkan pasukan bangsa ‘Arab musyrikin itu untuk bersekutu. Mereka menyadari bahwa jika usaha mereka ini gagal atau jika pasukan-pasukan Ahzab sampai mengundurkan diri sebelum melakukan serangan terhadap kota Madinah, berarti satu kemenangan besar bagi kaum muslimin, dan tentu kaum muslimin kelak akan melakukan serangan pembalasan terhadap mereka (kaum Yahudi).
Begitulah kesulitan-kesulitan yang mereka alami.

Kaum Yahudi Quraidhah menjadi pengikut tentara Ahzab
Huyaiy bin Akhthab salah seorang kepala kaum Yahudi yang telah berhasil mengumpulkan tentara Ahzab itu, lalu berusaha dengan sekuat tenaga untuk menahan langkah mundurnya pasukan Ahzab yang hampir patah semangatnya itu, agar mereka tetap meneruskan kepungannya sampai kaum muslimin menyerah. Usaha itu pun rupanya berhasil. Para pemuka pasukan Ahzab dapat diajak berunding dan diajak untuk bertahan terus, dengan janji bahwa ia sanggup menyelesaikan segala urusan yang mereka gelisahkan, yaitu dengan cara mengajak kaum Yahudi banu Quraidhah supaya memihak mereka untuk memerangi Nabi dan kaum muslimin. Kalau kaum Yahudi banu Quraidhah itu mau memutuskan persahabatan dengan kaum muslimin (karena waktu itu Banu Quraidhah masih terikat perjanjian damai dengan Nabi SAW dan mempertahankan kota Madinah dari serangan musuh, maka bala tentara Ahzab pasti dapat menyerang kaum muslimin dengan cara Banu Quraidhah menyerang dari belakang dan tentara Ahzab menyerang dari muka. Disamping itu bantuan-bantuan dari Banu Quraidhah yang berupa bahan makanan dan sebagainya kepada kaum muslimin tentu praktis terhenti.
Dengan demikian maka kaum muslimin tidak akan bertahan lebih lama lagi di dalam kota Madinah.
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan Huyaiy bin Akhthab di hadapan para kepala pasukan Ahzab. Kemudian Huyaiy bin Akhthab pergi ke tempat kaum Yahudi banu Quraidhah, yang letaknya di bagian atas kota Madinah, dengan tujuan untuk menemui Ka’ab bin Asad Al-Quradhiy kepala kaum banu Quraidhah.
Pada mulanya Ka’ab bin Asad merasa berat menerima kedatangan Huyaiy bin Akhthab, karena ia sadar bahwa kedatangannya itu akan membawa bahaya atas dirinya dan kaumnya. Bahkan ketika Huyaiy kelihatan datang ke kampung banu Quraidhah, maka ditutuplah pintu bentengnya agar kepala kaum Yahudi banu Nadlir yang telah terusir itu jangan sampai masuk ke dalamnya. Tetapi Huyaiy tidak mau pergi dari pintu benteng perkampungan mereka itu, dan terus-menerus berteriak-teriak meminta dibukakan, yang akhirnya terpaksa dibukakan.
Setelah Huyaiy masuk, ia berkata kepada Ka’ab, “Saya datang kepadamu dengan membawa kebesaran masa lalu dan kemuliaan yang kekal, saya datang kepadamu dengan membawa seluruh kekuatan bangsa Quraisy dan Ghathafan beserta para pemimpin dan para ketua mereka. Kaum Quraisy bertempat di Mujtama’ul Asyal, dan kaum Ghathafan bertempat di Dzanbu Naqma. Mereka telah berjanji dan bersumpah, bahwa mereka tidak akan pulang ke tempat masing-masing sebelum Muhammad dan kaum muslimin dapat dihancurkan semuanya. Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk menyerbu ke kota ini kecuali parit itu”.
Ka’ab menjawab, “Bagaimana nanti kalau bala tentara Ahzab itu meninggalkan kita, sebelum Muhammad dan para pengikutnya hancur binasa ?”.
Kebimbangan Ka’ab itu dijawab Huyaiy dengan janji dan kesanggupan bahwa Ka’ab dan kaumnya akan dijamin boleh masuk ke kampung Yahudi banu Nadlir dan hidup bersama mereka.
Dengan hasutan dan bujukan Huyaiy itu akhirnya hati Ka’ab bin Asad tertarik dan menerima kemauan Huyaiy bin Akhthab tersebut, lalu seketika itu juga ia memutuskan tali persahabatan dan janji perdamaian dengan Nabi SAW, lalu memihak kepada tentara Ahzab untuk menghancurkan kaum muslimin.

[Bersambung]


Demo Blog NJW V2 Updated at: September 19, 2019

0 komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah yang bijak