POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE
POST TITLE

Halal Haram Dalam Islam (ke-6) Sanggahan Pihak I Terhadap Alasan yang Dikemukakan Pihak II

Posted by

Ahad, 06 Desember 1998/17 Sya'ban 1419                  Brosur no. : 959/999/IF
Halal Haram Dalam Islam (ke-6)


Sanggahan Pihak I Terhadap Alasan yang Dikemukakan Pihak II
A. Hadits tentang larangan memakan binatang buas yang bertaring dan larangan memakan burung yang berkuku tajam, kedua-duanya adalah shahih dan kuat sanadnya karena diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Tirmidzi dengan tidak ada cacatnya. Namun dari segi matannya, tidaklah dapat dipakai sebagai dasar untuk mengharamkan binatang-binatang yang bertaring atau berkuku tajam sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tersebut, karena di dalam firman Allah dengan tegas memberi batasan bahwa yang diharamkan hanyalah empat macam, bahkan Nabi SAW sendiri diperintahkan untuk menyatakan :
قُلْ لآَاَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلى طَاعِمٍ يَّطْعَمُه اِلآَّ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّه رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِه، فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّ لاَ عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. الانعام:145
Katakanlah : "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu  bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [QS. Al-An'aam : 145]
Sedang "Binatang yang bertaring dan berkuku tajam" itu, tidak termasuk dari yang empat macam. Maka bagaimana mungkin, Nabi SAW yang diperintah untuk menggariskan suatu ketetapan dari Allah bahwa yang diharamkan itu hanya empat, kemudian beliau sendiri menambah yang diluar dari keempat macam diatas ?
Yang demikian ini sekali-kali tidak mungkin ! Sebab bertentangan dengan pelaksanaan tugas kenabian dan kerasulan beliau. Lalu bagaimanakah kedudukan hadits diatas ?
Karena hadits tersebut shahih/kuat, maka walaupun bertentangan dengan Al-Qur'an, tetap dapat dipakai, tetapi maksud hadits tersebut dita'wil, sehingga tidak lagi bertentangan dengan Al-Qur'an. Karena kita yakin bahwa tidak mungkin Nabi SAW menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur'an. Maka apabila kelihatannya bertentangan (padahal hadits tersebut shahih) maka kemungkinannya, yang dimaksud haraamun (haram) atau nahaa (melarang) dalam hadits-hadits diatas, bukanlah haram menurut syara' yang berdosa bila dilanggar, tetapi maksudnya ialah haram menurut bahasa yang artinya "melarang".
Tegasnya, bukanlah larangan yang berhukum haram, tetapi sekedar makruh, yang sebaiknya ditinggalkan, namun bila dikerjakan tidaklah berdosa.
Dengan demikian, sesuailah kini arti hadits tersebut dengan ayat-ayat Al-Qur'an diatas, yakni firman-firman Allah di keempat tempat itu yang menyatakan bahwa yang haram itu hanyalah empat macam, yaitu :
1.  bangkai,
2.  darah,
3.  daging babi, dan
4.  sembelihan yang disembelih dengan tujuan yang tidak dituntunkan-Nya, atau tidak dibenarkan oleh Allah.
Adapun selain yang empat macam itu, ada pula yang dimakruhkan yang sebaiknya tidak dimakan, antara lain binatang yang bertaring/berkuku tajam sebagaimana diatas.
B. Demikian pula hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa pada masa perang Khaibar Nabi SAW melarang kaum muslimin memakan daging himar jinak, ini tidak menunjukkan bahwa daging himar jinak itu haram, sebab bila demikian berarti bertentangan dengan firman-firman Allah dan tidak akan terjadi.
Mungkin orang akan bertanya, "Bila tidak haram, mengapa dilarang Nabi ?".
Jawabnya : "Larangan Nabi SAW untuk tidak menyembelih dan memakan himar jinak itu, berkenaan dengan situasi perang Khaibar tersebut, yaitu himar jinak itu diperlukan bagi kepentingan kelancaran pasukan perang kaum muslimin, maka demi menjaga hal ini, oleh Nabi SAW selaku pimpinan umum, difatwakan bahwa kaum muslimin dilarang untuk menyembelih dan memakan himar jinak tsb".
Maka bila ada orang Islam yang melanggar larangan ini, berarti dia melanggar kewajiban thaat kepada Nabi/pimpinan dan menyalahi firman Allah :
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اَطِيْعُوا اللهَ وَ اَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ اُولىِ اْلاَمْرِ مِنْكُمْ. النساء:59
Hai orang-orang yang beriman thaatilah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. [QS. An-Nisaa' : 59]
Sedang daging himar jinak yang dimakannya sesudah adanya larangan Nabi/pimpinannya itu, menjadi haram.
Tegasnya, Haramnya daging himar jinak untuk dimakan pada hadits itu, adalah haram sababiyah (haram karena ada sebab yang menjadikannya haram), yaitu karena melanggar larangan Nabi yang wajib dithaatinya. Jadi bukan haram dzaatiyah, (dzat/bendanya itu sendiri memang haram), karena himar jinak tidak termasuk empat macam makanan yang diharamkan oleh Allah diatas, maka dzatnya halal.
C. Dan juga hadits riwayat Ahmad yang menyatakan bahwa Nabi SAW melarang membunuh binatang-binatang : semut, tawon, burung hud-hud dan burung suradi, inipun tidak menunjukkan tentang haramnya memakan binatang-binatang tersebut. Karena bila ini diharamkan, maka bertentangan dengan firman-firman Allah diatas, yang menyatakan bahwa yang haram itu hanya empat macam, sedang keempat macam binatang yang tersebut dalam hadits itu tidak termasuk diantara empat macam yang diharamkan oleh Allah.
Lagi pula Nabi SAW melarang membunuh binatang-binatang tersebut bukan berarti haram untuk memakannya, namun yang dimaksud ialah, agar sedapat mungkin binatang itu dilindungi, agar tidak mengalami kepunahan.
D. Begitu pula hadits riwayat Muslim yang menerangkan perintah Nabi untuk membunuh lima macam binatang, dimanapun didapatinya, yaitu : ular, gagak yang ada warna putih di punggung dan dadanya, tikus, anjing galak dan burung elang. Hadits ini pun tidak menyatakan bahwa kelima macam binatang tersebut haram. Dan sebabnya adalah karena besarnya kemungkinan bahaya dan madlarat yang ditimbulkan olehnya bagi kehidupan manusia, baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui.
Jelasnya, seluruh hadits-hadits yang bersangkutan dengan masalah haramnya makanan itu, sama sekali tidak bermakna bahwa apa yang disebutkan dalam hadits-hadits itu hukumnya haram, sebagaimana haram dalam nash Al-Qur'an.
Bila ada hadits yang menyatakan haraam atau nahaa (melarang) ini mengandung arti makruh atau haram (karena sebab), dan setelah sebab yang menjadikan haramnya itu hilang, maka makanan itu kembali halal.
E. Demikian pula pengertian hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW melarang ummat Islam membunuh katak, setelah mengetahui katak itu dapat dipakai sebagai salah satu ramuan obat, ini tidak berarti bahwa dzat katak haram, tetapi harus diartikan bahwa karena katak itu dapat dipergunakan sebagai obat, maka Nabi SAW melarang membunuhnya, sebab dikhawatirkan kepunahannya.
F.  Sedang pengertian khabaits (kotor) dalam ayat 157 surat Al-A'raaf itu, menjelaskan secara garis besar akan keadaan makanan yang telah diharamkan oleh Allah di keempat tempat itu.
Yakni, bahwa bangkai, darah, daging babi dan apa-apa yang disembelih untuk selain Allah itu adalah diharamkan oleh Allah bagi ummat Islam untuk memakannya, karena barang-barang itu adalah khobaits/keji dan menjijikkan.
Jadi bukan kotor/keji menurut selera manusia, yang masing-masingnya berbeda sesuai dengan alam lingkungan kehidupannya. Karena bila diserahkan kepada manusia, maka hilanglah sifat universal (cocok dipakai oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun), dari hukum-hukum Islam, sebab banyak daerah yang berbeda pendapatnya mengenai apa-apa yang dianggap keji/kotor tersebut, maka akan kaburlah pengertiannya, sebab makanan yang sama oleh satu daerah dianggap keji/kotor, kerenanya mereka tentu akan menghukumkan haram atasnya. Sedangkan oleh suatu daerah yang lain, makanan itu tidak dianggap keji/kotor, maka hukumnya halal bagi mereka.
Sehingga makanan yang satu itu mempunyai dua hukum yang bertentangan, yaitu : ya ... halal, ya ... haram.
Mungkinkah yang demikian itu ? Jelas tidak akan mungkin. Dan jika terjadi yang demikian itu menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan oleh Allah bagi ummat Islam adalah tidak terang dan kabur pengertiannya, padahal Allah sendiri dengan tegas dan tandas telah menyatakan bahwa apa-apa yang diharamkan-Nya itu sungguh telah diperinci dan dijelaskan seterang-terangnya, sebagaimana firman Allah di surat Al-An'aam ayat 119 :
... وَ قَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ. الانعام:119
.... dan sungguh Allah telah menjelaskan kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. [QS Al-An'aam :119]
Dan hadits Rasulullah SAW, yang artinya :
Yang halal itu adalah apa-apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya dan yang haram itu adalah apa-apa yang Allah haramkan di dalam kitab-Nya. [HR. Hakim dan Al-Bazzar], dan sabda beliau SAW yang artinya :
Yang halal itu sudah terang, dan yang haram itu sudah terang. [HR. Muttafaq 'alaih dan Tirmidzi]
sebagaimana yang telah kami sebutkan terdahulu.
Adapun hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Ibnu 'Umar tentang landak, selain lemah dan bertentangan dengan ayat-ayat di muka, juga matan hadits tersebut tidak terang menunjukkan bahwa landak itu haram dengan sebab termasuk khabaits, karena Nabi pun di lain haditsnya menjelaskan bahwa bawang putih dan bawang merah itu pun khabaits, padahal keduanya itu halal.
Demikianlah tentang makanan yang haram, pendapat para ulama dan dasar-dasar beliau, kami kemukakan untuk menjadi bahan kajian bagi kita bersama dalam mencari kebenaran, maka keputusan tentang pendapat mana yang dianggap kuat dan hendak diikuti, kami serahkan sepenuhnya kepada saudara masing-masing.
Yang terang dalam kita melaksanakan suatu amal ataupun memegangi sesuatu hukum harus berdasarkan dalil yang ada dan yang kuat, bukan hanya sekedar mengikut pendapat seseorang yang tanpa dasar. Karena setiap segala sesuatunya dihadapan Allah nanti, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas amal yang kita perbuat.
TENTANG SEMBELIHAN SECARA ISLAM
Sembelihan yang dituntunkan oleh agama Islam dan yang telah dipraktekkan oleh Nabi SAW maupun shahabatnya dan ummat Islam antara lain dapat diterangkan dalil-dalilnya sebagai berikut :
1. Tempat dari anggota binatang yang disembelih ialah leher.
قَالَ اَبُوْ هُرَيْرَةَ: بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ ص بُدَيْلَ بْنَ وَرْقَاءَ اْلخُزَاعِيَّ عَلَى جَمَلٍ اَوْرَقَ يَصِيْحُ فِى فُجَاجِ مِنًى اَلاَ اِنَّ الذَّكَاةَ فِى اْلحَلْقِ وَ اللَّبَّةِ. الدارقطنى
Telah berkata Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW pernah mengutus Budail bin Warqa' Al-Khuza'i dengan naik onta abu-abu supaya berteriak di jalan-jalan Mina (dengan berkata) : "Ketahuilah bahwa sembelihan itu tempatnya di kerongkongan dan leher". [HR. Daruquthni]
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَ اَبُوْ هُرَيْرَةَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص عَنْ شَرِيْطَةِ الشَّيْطَانِ وَ هِيَ الَّتِى تُذْبَحُ فَيُقْطَعُ اْلجِلْدُ وَ لاَ تُفْرَى اْلاَوْدَاجُ. ابو داود
Ibnu 'Abbas dan Abu Hurairah telah berkata, "Rasulullah SAW telah melarang Syarithatusy-Syaithan, yaitu (sembelihan) yang disembelih (cuma) putus kulitnya, dan tidak putus urat lehernya". [HR. Abu Dawud]
2. Alat yang boleh untuk menyembelih.
Alat yang boleh untuk menyembelih ialah pisau dan apasaja yang dapat mengalirkan darah. Misalnya : batu, bambu dan lain sebagainya, tetapi tidak boleh memakai kuku dan gigi.
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ اَنَّ امْرَأَةً ذَبَحَتْ شَاةً بِحَجَرٍ فَسُئِلَ النَّبِيُّ ص عَنْ ذلِكَ فَاَمَرَ بِاَكْلِهَا. البخارى
Dari Ka'ab bin Malik, bahwasanya seorang perempuan menyembelih kambing dengan batu, lalu ditanyakan kepada Nabi SAW tentang hal itu. Maka Nabi SAW menyuruh memakannya". [HR. Bukhari]
قَالَ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: يَا رَسُوْلَ الله اِنَّا نَصِيْدُ الصَّيْدَ فَلاَ نَجِدُ سِكِّيْنًا اِلاَّ الظِّرَارَ وَ شِقَّةَ اْلعَصَا. فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اِمْرِالدَّمَ بِمَا شِئْتَ وَ اذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ. احمد و ابو داود و النسائى و ابن ماجه و الحاكم و ابن حبان
'Adiy bin Hatim telah berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami sering memburu buruan, tetapi kami tidak mendapat pisau melainkan batu yang tajam, dan belahan tongkat". Maka Rasulullah SAW bersabda, "Alirkanlah darah dengan apasaja yang engkau sukai, dan sebutlah nama Allah ketika menyembelihnya". [HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban]
قَالَ النَّبِيُّ ص مَا اَنْهَرَ الدَّمَ وَ ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوْا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا اَوْ ظُفْرًا وَ سَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذلِكَ اَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَ اَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى اْلحَبَشَةِ.
Nabi SAW bersabda, "Apasaja yang bisa mengalirkan darah dan disebut dengan nama Allah padanya, maka makanlah, selama yang untuk (menyembelih) itu bukan gigi atau kuku. Dan saya akan menerangkan itu kepadamu. Adapun gigi maka itu adalah tulang, adapun kuku itu adalah pisaunya (orang) Habasyah". [HSR. Jama'ah]
3. Alat untuk menyembelih harus tajam.
عَنْ شَدَّادِ بْنِ اَوْسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلاِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَاِذَا قَتَلْتُمْ فَاَحْسِنُوا اْلقِتْلَةَ وَ اِذَا ذَبَحْتُمْ فَاَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَ لْيُحِدَّ اَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَ لْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. مسلم
Dari Syaddad bin Aus, ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan cara yang baik pada tiap-tiap sesuatu. Maka apabila kamu membunuh, hendaklah kamu bunuh dengan cara yang baik, dan apabila kamu menyembelih, maka hendaklah menyembelih dengan cara yag baik, dan hendaklah seseorang diantara kamu menajamkan pisaunya dan mempermudah (kematian) binatang sembelihannya". [HR. Muslim]
قَالَ ابْنُ عُمَرَ: اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَ اَنْ تُحَدَّ الشِّفَارُ وَ اَنْ تُوَارَى عَنِ اْلبَهَائِمِ وَ قَالَ: اِذَا ذَبَحَ اَحَدُكُمْ فَلْيَجْهَزْ. احمد و ابن ماجه
Ibnu Umar telah berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memerintahkan supaya pisau itu ditajamkan dan supaya tidak dinampakkan kepada binatang-binatang, dan beliau bersabda, "Apabila seseorang diantara kamu menyembelih, maka mudahkanlah matinya sembelihan itu". [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]

[Bersambung]


Demo Blog NJW V2 Updated at: Oktober 17, 2019

0 komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah yang bijak