Ahad,
28 September 2003/02 Sya’ban 1424
Brosur No. : 1195/1235/IF
Hal-hal
yang membathalkan wudlu
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: اِنّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: لاَ تُقْبَلُ
صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَ لاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ. مسلم 1: 204
Dari
Ibnu ‘Umar RA, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak
diterima shalat yang dilakukan tanpa bersuci, dan tidak diterima sedeqah yang
dilakukan dengan harta yang diperoleh dari jalan khianat”.
[HR. Muslim 1 : 204]
Keterangan
:
Hadits
ini menyatakan, bahwa tidak sah (tidak diterima) shalat seseorang yang tidak
suci, dan demikian pula tidak akan diterima amal sedeqah yang menggunakan harta
yang haram.
Seseorang
dikatakan ”tidak suci” sehingga terhalang untuk melakukan shalat, ialah bila ia
berhadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
Untuk
bersuci dari hadats besar, agama mensyariatkan mandi janabat, sedang bagi hadats
kecil, maka cukup dengan wudlu, Allah SWT berfirman :
... وَ اِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا...
المائدة:6
Dan
jika kamu junub (sedang kamu hendak shalat) maka mandilah.
[QS. Al-Maidah : 6]
Dan
Hadits Rasulullah SAW :
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ
اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ اَهْلِ
حَضَرَمَوْتَ: مَا اْلحَدَثُ يَا اَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ اَوْ ضُرَاطٌ.
احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 220
Dari
Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak akan menerima
shalat seseorang diantara kamu apabila berhadats, sehingga ia berwudlu”. Lalu
ada seorang dari Hadlaramaut bertanya, “Apa yang dikatakan hadats itu, ya Abu
Hurairah ?”. Abu Hurairah menjawab, “”(Hadats itu ialah) kentut yang tidak
bersuara ataupun kentut yang bersuara”.
[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar 1:
220]
Abu
Hurairah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “hadats” itu adalah mengeluarkan
angin, baik bersuara maupun tidak, ini bermaksud menerangkannya dengan singkat
tetapi mencakup keseluruhan.
Tegasnya,
dia tidak bermaksud mengatakan bahwa hadats itu hanya mengeluarkan angin
(kentut) saja, tetapi dengan menerangkan bahwa mengeluarkan angin yang bersuara
atau tidak bersuara itu pun sudah termasuk hadats, apalagi yang lebih berat dari
itu.
Allah
SWT berfirman :
... اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَآئِطِ اَوْ لمَسْتُمُ
النّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا .... المائدة:6
...
atau seseorang diantara kamu datang dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan (bersetubuh) lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah
...
[QS. Al-Maaidah : 6]
“Datang
dari tempat buang air” itu yang dimaksud ialah mengeluarkan sesuatu dari dua
jalan kotoran, dimana biasanya seseorang mengeluarkannya di tempat buang air.
Dan ini menunjukkan hadats kecil.
“Menyentuh
perempuan” yang dimaksud ialah bersetubuh, dan ini menunjukkan hadats
besar.
Kedua-duanya,
baik berhadats kecil maupun berhadats besar bila tidak mendapatkan air untuk
wudlu/mandi janabat, maka sebagai gantinya agama menuntunkan untuk
bertayammum.
Kesimpulan
:
Seseorang
yang hendak shalat, wajib suci dari hadats, baik hadats besar maupun hadats
kecil. Atau dengan kata lain, bathal wudlu seseorang bila ia mengalami hadats
kecil maupun hadats besar.
Adapun
yang termasuk hadats besar :
a.
bersetubuh, baik mengeluarkan mani maupun tidak.
b.
mengeluarkan mani sebab mimpi dan lain-lain.
c.
mengeluarkan darah haidl.
d.
mengeluarkan darah nifas.
Yang
termasuk hadats kecil :
a.
mengeluarkan kotoran (berak).
b.
mengeluarkan kencing.
c.
mengeluarkan madzi (air sex).
d.
mengeluarkan angin (kentut), baik bersuara maupun tidak.
Keraguan
berhadats tidak membathalkan wudlu
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اِذَا وَجَدَ اَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ
شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ اَ خَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ اَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجْ مِنَ
اْلمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْحًا. مسلم و الترمذى، فى نيل
الاوطار 1: 240
Dari
Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Apabila salah seorang diantara
kamu merasakan ada sesuatu di perutnya, apakah telah keluar kentut dari padanya
atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk berwudlu) sehingga ia
mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”.
[HR. Muslim dan Tirmidzi, dalam Nailul Authar 1:240]
عَنْ
اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اِنَّ الشَّيْطَانَ
يَأْتِى اَحَدَكُمْ وَ هُوَ فِى صَّلاَتِهِ فَيَأْخُذُ شَعْرَةً مِنْ دُبُرِهِ
فَيَمُدُّهَا فَيَرَى اَنَّهُ قَدْ اَحْدَثَ، فَلاَ يَنْصَرِفَنَّ حَتَّى يَسْمَعَ
صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْحًا. احمد 4: 191 رقم: 11912
Dari
Abu Sa’id Al-Khudriy bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Syaithan datang kepada
seseorang diantara kamu yang sedang shalat, lalu memegang sehelai rambut dari
dubur orang yang sedang shalat itu dan menariknya. Karena itu terasalah oleh
orang itu, bahwa ia telah berhadats. Maka janganlah ia berpaling dari shalatnya,
sehingga mendengar suara kentut atau mencium baunya”.
[HR. Ahmad 4 : 191, no. 11912]
Bersentuhan
pria - wanita tidak membathalkan wudlu
Sementara
ulama ada yang berpendapat bahwa bila seorang laki-laki bersentuhan kulit dengan
wanita yang bukan mahramnya, maka bathallah wudlunya.
Mereka
beralasan dengan bunyi ayat 43 surat An-Nisaa’ dan Al-Maidah ayat 6 sebagai
berikut :
... وَ اِنْ كُنْتُمْ مَرْضى اَوْ عَلى سَفَرٍ اَوْ جَآءَ اَحَدٌ
مّنْكُمْ مّنَ اْلغَآئِطِ اَوْ لمَسْتُمُ النّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً
فَتَيَمَّمُوْا... المائدة:6
...
dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayammumlah.
[QS. An-Nisaa’ : 43, dan Al-Maaidah 6]
Mereka
mengecualikan wanita-wanita yang termasuk mahram (wanita-wanita yang diharamkan
untuk dikawini) dari keumuman lafadh
لَمَسْتُمُ
النّسَاءَ (kalian menyentuh wanita) dalam ayat
diatas.
Jadi
menurut mereka bila sentuhan itu terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita yang termasuk mahram tersebut, yang demikian itu tidaklah membathalkan
wudlu keduanya. Sedangkan yang termasuk mahram sebagaimana yang tertera dalam
ayat 22 dan 23 surat An-Nisaa’.
وَ
لاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ابَآؤُكُمْ مّنَ النّسَآءِ اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ،
اِنَّه كَانَ فَاحِشَةً وَّ مَقْتًا، وَ سَآءَ سَبِيْلاً. حُرّمَتْ عَلَيْكُمْ
اُمَّهَاتُكُمْ وَ بَنتُكُمْ وَ اَخَوتُكُمْ وَ عَمّتُكُمْ وَ خلَتُكُمْ وَ بَنتُ
اْلاَخِ وَ بَنتُ اْلاُخْتِ وَ اُمَّهتُكُمُ الّتِى اَرْضَعْنَكُمْ وَ اَخَوتُكُمْ
مّنَ الرَّضَاعَةِ وَ اُمَّهتُ نِسَآئِكُمْ وَ رَبَآئِبُكُمُ الّتِى فِيْ
حُجُوْرِكُمْ مّنْ نّسَآئِكُمُ الّتِى دَخَلْتُمْ بِهِنَّ، فَاِنْ لَّمْ
تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ. وَ حَلآئِلُ
اَبْنَآئِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلاَبِكُمْ. وَ اَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ
اْلاُخْتَيْنِ اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ، اِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا.
النساء:22-23
Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara
perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
[QS.An-Nisaa’ : 22-23]
Bantahan
dan penjelasan
a.
Penetapan diatas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sah dari Nabi SAW
sebagai penjelas utama syari’at Allah sebagaimana di bawah
ini.
عَنْ
عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص يُقَبّلُ بَعْضَ اَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلّى وَ لاَ
يَتَوَضَّأُ. النسائى 1: 104
Dari
‘Aisyah, bahwasanya Nabi SAW pernah mencium salah seorang dari istrinya,
kemudian terus shalat dengan tidak berwudlu lagi”.
[HR. Nasaiy 1 : 104]
عَنْ
عَائِشَةَ رض قَالَتْ: اِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص لَيُصَلّى وَ اِنّى
لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اِعْتِرَاضَ اْلجَنَازَةِ حَتَّى اِذَا اَرَادَ
اَنْ يُوْتِرَ مَسَّنِى بِرِجْلِهِ. النسائى 1: 101
Dari
‘Aisyah RA, ia berkata, “Pada suatu waktu Rasulullah SAW sedang shalat, sedang
aku tidur di hadapannya seperti jenazah, sehingga apabila Rasulullah SAW hendak
mengerjakan witir, beliau menyentuhku dengan kakinya”.
[HR. Nasaiy 1 : 101]
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص لَيْلَةً مِنَ اْلفِرَاشِ،
فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَ هُوَ فِى اْلمَسْجَدِ
وَ هُمَا مَنْصُوْبَتَانِ. مسلم 1: 352
Dari
‘Aisyah, ia berkata, “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah SAW dari tempat
tidur, lalu aku mencarinya, maka tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau,
pada waktu itu beliau sedang sujud, dan kedua telapak kaki beliau pada posisi
tegak”.
[HR. Muslim 1 : 352]
b. Bila dengan dasar ayat diatas menyentuh wanita
itu membathalkan wudlu, maka harus ditetapkan pula menyentuh itu, kakak
perempuan, bibi dan lain-lain itupun membathalkan wudlu. Karena lafadh
النّسَاءَ (wanita) dalam ayat 43 surat An-Nisaa’ dan ayat 6 surat
Al-Maaidah itu umum, yakni siapasaja asal dia wanita, baik yang termasuk mahram
seperti ibu,kakak perempuan, bibi dan lain-lain, maupun yang bukan mahram,
tercakup dalam keumuman lafadh tersebut. Dan tidak ada nash yang shahih dan
tegas dari agama, yang mengecualikan wanita-wanita yang mahram dari lafadh umum
لَمَسْتُمُ
النّسَاءَ (kalian menyentuh wanita) pada ayat tersebut. Sedang jika
ayat 22 dan 23 surat An-Nisaa’ itu dipakai dasar pengecualian wanita-wanita itu,
maka hal itu tidak tepat, karena satu sama lain tidak ada munasabah (sangkut
paut)nya sama sekali dalam bidang hukum. Sebab ayat 43 surat AN-Nisaa’ dan ayat
6 surat Al-Maaidah itu adalah masalah shalat, tayammum, berhadats dan lain-lain
yang termasuk bab Thaharah dan Shalat, sedang yang diterangkan dalam ayat 22 dan
23 surat An-Nisaa’ itu adalah masalah wanita-wanita yang diharamkan untuk
dikawini, yang biasa disebut mahram, jadi termasuk bab Nikah. Maka kedua masalah
dalam ayat-ayat diatas masing-masing berdiri sendiri pembahasannya, dan tidak
bisa dicampur-adukkan satu dengan yang lain.
c. Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan
tampak jelas bahwa yang dimaksud oleh لَمَسْتُمُ
النّسَاءَ (kalian menyentuh
wanita) itu adalah “kalian bersetubuh dengan wanita (istri-istrimu)”.
Karena dalam ayat tersebut menjelaskan kebolehan bertayammum sebagai pengganti
wudlu dan mandi besar bagi orang yang hendak shalat karena sebab-sebab tertentu.
Dan sebagaimana telah diterangkan, bahwa wudlu untuk shalat adalah bagi orang
yang berhadats kecil sedang mandi besar adalah untuk yang berhadats
besar.
Berhadats kecil dalam ayat itu diisyaratkan
oleh Allah dengan kalimat جَآءَ
اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَائِطِ (seseorang diantara
kamu datang dari tempat buang air), maka لَمَسْتُمُ
النّسَآءَ (kalian menyentuh perempuan) adalah isyarat Allah bagi
hadats besar, yang salah satu sebabnya adalah bersetubuh.
Jadi
tidak dapat dimaknakan sekedar menyentuh, tetapi yang dimaksud adalah
menyetubuhi wanita.
Bersambung.......
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak