Ahad,
22 Oktober 2000/24 Rajab 1421
Brosur no. : 1056/1096/IF
Halal
Haram Dalam Islam (ke-38)
1.
Nikah Mut’ah.
Nikah
mut’ah,
adalah nikah untuk sementara waktu, misalnya : tiga hari, seminggu, sebulan,
dsb, dengan imbalan tertentu.
عَنِ
ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص لَيْسَ مَعَنَا
نِسَاءٌ، فَقُلْنَا: اَلاَ نَخْتَصِى؟ فَنَهَانَا عَنْ ذلِكَ، ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا
بَعْدُ اَنْ نَنْكِحَ اْلمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ اِلَى اَجَلٍ. ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ
اللهِ { ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تُحَرّمُوْا طَيّبَاتِ مَا اَحَلَّ
اللهُ لَكُمْ. المائدة:87 }. احمد و البخارى و مسلم
Dari
Ibnu Mas’ud, ia berkata : Kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW dan tidak
ada wanita yang berserta kami. Kemudian kami bertanya, “Tidakkah (sebaiknya)
kami berkebiri saja ?”. Maka Rasulullah SAW melarang kami dari yang demikian
itu, kemudian beliau memberi keringanan kepada kami sesudah itu, yaitu dengan
cara mengawini wanita sampai batas waktu tertentu dengan (imbalan) pakaian, lalu
Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah), “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang dihalalkan Allah atas kamu”.
(QS. Al-Maidah : 87)
[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اِنَّمَا كَانَتِ اْلمُتْعَةُ
فِى اَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ. كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ اْلبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا
مَعْرِفَةٌ. فَيَتَزَوَّجُ اْلمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى اَنَّهُ يُقِيْمُ
فَتَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ، وَ تُصْلِحُ لَهُ شَأْنَهُ حَتَّى نَزَلَتْ هذِهِ
اْلآيَةُ: اِلاَّ عَلى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ. قَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ. فَكُلُّ فَرْجٍ سِوَى هُمَا حَرَامٌ. الترمذى
Dan
dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Sebenarnya kawin mut’ah
itu hanya terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri
dimana ia tidak memiliki pengetahuan tentang negeri itu, lalu ia mengawini
seorang wanita selama ia muqim (di tempat itu), lalu wanita itu memelihara
barangnya dan melayani urusannya sehingga turunlah ayat ini (Kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki). (QS Al-Mukminuun : 6).
Ibnu Abbas berkata, “Maka setiap persetubuhan selain dengan dua cara itu (nikah
dan pemilikan budak) adalah haram”.
[HR. Tirmidzi]
عَنْ
عَلِيٍّ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنْ نِكَاحِ اْلمُتْعَةِ وَ عَنْ
لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ. و فى رواية: نَهَى عَنْ
مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاِنْسِيَّةِ.
احمد و البخارى و مسلم
Dari
Ali RA, bahwasanya Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan daging himar jinak
pada waktu perang Khaibar. Dan dalam satu riwayat (dikatakan), “Rasulullah SAW
melarang kawin mut’ah pada masa perang Khaibar dan (melarang makan) daging himar
piaraan”.
[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ
سَلَمَةَ بْنِ اْلاَكْوَعِ قَالَ: رَخَّصَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ
النِّسَاءِ عَامَ اَوْطَاسٍ ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ. ثُمَّ نَهَى عَنْهَا. احمد و
مسلم
Dari
Salamah bin Akwa’, ia berkata, “Rasulullah SAW memberi keringanan (hukum) kepada
kami untuk kawin mut’ah pada tahun perang Authas selama tiga hari, kemudian ia
melarangnya”.
[HR. Ahmad dan Muslim]
عَنْ
سَبُرَةَ اْلجُهَنِيِّ اَنَّهُ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ ص فَتْحَ مَكَّةَ، قَالَ:
فَاَقَمْنَا بِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ، فَاَذِنَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ
النِّسَاءِ. وَ ذَكَرَ حَدِيْثَ اِلَى اَنْ قَالَ: فَلَمْ اَخْرُجْ حَتَّى
حَرَّمَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص.احمد و مسلم
Dari
Saburah Al-Juhaniy, bahwa sesungguhnya ia pernah berperang bersama Rasulullah
SAW dalam menaklukkan Makkah. Saburah berkata, “Kemudian kami bermuqim di sana
selama lima belas hari, lalu Rasulullah SAW mengizinkan kami kawin mut’ah”. Dan
ia menyebutkan (kelanjutan) hadits itu. Selanjutnya Saburah berkata, "Maka
tidaklah kami keluar hingga Rasulullah SAW mengharamkannya”.
[HR. Ahmad dan Muslim]
و
فى رواية: اِنَّهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ ص فَقَالَ: ياَيُّهَا النَّاسُ، اِنِّى
كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ اِنَّ اللهَ قَدْ
حَرَّمَ ذلِكَ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ
فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ، وَ لاَ تَأْخُذْوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا. احمد
و مسلم
Dan
dalam satu riwayat (dikatakan) : Bahwa sesungguhnya Saburah pernah bersama-sama
Nabi SAW, lalu beliau bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya aku pernah
mengizinkan kamu kawin mut’ah, dan bahwasanya Allah benar-benar telah
mengharamkan hal itu sampai hari qiyamat, maka barangsiapa yang masih ada suatu
ikatan dengan wanita-wanita itu hendaklah ia lepaskan dan janganlah kamu
mengambil kembali apa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka itu
sedikitpun”.
[HR. Ahmad dan Muslim]
و
فى رواية عنه: اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص فِى حَجَّةِ اْلوَدَاعِ نَهَى عَنْ نِكَاحِ
اْلمُتْعَةِ. احمد و ابو داود
Dan
dalam riwayat lain dari Saburah (dikatakan), “Bahwasanya Rasulullah SAW pada
waktu haji Wada’ melarang kawin mut’ah”.
[HR. Ahmad dan Abu Dawud].
2.
Nikah Tahlil
Nikah
tahlil,
ialah seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat akan menceraikannya setelah
mencampurinya agar wanita itu bisa menikah kembali dengan bekas suaminya yang
telah menthalaqnya tiga kali. Maka laki-laki tersebut disebut Muhallil,
adapun bekas suami/istri yang menghendaki demikian disebut Muhallal
lahu.
عَنِ
ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص اْلمُحَلِّلَ وَ اْلمُحَلَّلَ
لَهُ. احمد و النسائى و الترمذى و صححه
Dari
Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat muhallil (yang menghalalkan)
dan orang yang dihalalkannya”.
[HR. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi
mengesahkannya].
عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَلاَ اُخْبِرُكُمْ
بِالتَّيْسِ اْلمُسْتَعَارِ؟ قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: هُوَ
اْلمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ اْلمُحَلِّلَ وَ اْلمُحَلَّلَ لَهُ. ابن
ماجه
Dari
‘Uqbah bin Amir, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kamu kuberi tahu
tentang pejantan pinjaman ?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah”. Rasulullah
SAW bersabda, “Yaitu muhallil. Semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal
lahu”.
[HR. Ibnu Majah]
3.
Nikah Syighar
عَنْ
نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الشِّغَارِ. وَ
الشِّغَارُ اَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى اَنْ يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ
وَ لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ. الخمسة، لكن الترمذى لم يذكر تفسير الشغار. و ابو
داود جعله من كلام نافع. و هو كذلك فى رواية احمد و البخارى و مسلم
Dari
Nafi’ dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Sedang
nikah syighar itu ialah seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya kepada
seseorang dengan syarat imbalan, ia harus dikawinkan dengan anak perempuan orang
tersebut, dan keduanya tanpa mahar.
[HR. Jama’ah, tetapi Tirmidzi tanpa menyebutkan penjelasan arti syighar dan Abu
Dawud menjadikan penjelasan arti syighar itu sebagai perkataan Nafi’. Dan hadits
seperti itu diriwayatkan juga oleh Ahmad, Bukhari dan
Muslim].
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ الشِّغَارِ. وَ الشِّغَارُ
اَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ: زَوِّجْنِى ابْنَتَكَ وَ اُزَوِّجُكَ ابْنَتِى، اَوْ
زَوِّجْنِى اُخْتَكَ وَ اُزَوِّجُكَ اُخْتِى. احمد و مسلم
Dari
Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Sedang
nikah syighar yaitu, seorang laki-laki berkata, “Nikahkanlah aku dengan anak
perempuanmu, dan aku akan menikahkan kamu dengan anak perempuanku, atau
nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu dan aku akan menikahkan kamu dengan
saudara perempuanku”.
[HR. Muslim]
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ شِغَارَ فِى اْلاِسْلاَمِ.
مسلم
Dari
Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Tidak ada nikah syighar dalam
Islam”.
[HR. Muslim]
4.
Pernikahan di masa jahiliyah.
عَنْ
عُرْوَةَ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهُ: اَنَّ النِّكَاحَ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ
كَانَ عَلَى اَرْبَعَةِ اَنْحَاءٍ. فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ اْليَوْمَ.
يَخْطُبُ الرَّجُلُ اِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ اَوِ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا،
ثُمَّ يَنْكِحُهَا.
Dari
‘Urwah : Sesungguhnya ‘Aisyah RA pernah memberitahukan kepadanya, bahwa
pernikahan di jaman jahiliyah itu ada 4 macam. 1. Pernikahan seperti yang
berlaku sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak
perempuan kepada walinya, lalu membayar mahar, kemudian
menikahinya.
وَ
نِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُوْلُ ِلامْرَأَتِهِ: اِذَا ظَهَرَتْ مِنْ
طَمْثِهَا اَرْسَلَ اِلىَ فُلاَنٍ فَاسْتَبْضِعِى مِنْهُ وَ يَعْتَزِلُهَا
زَوْجُهَا وَ لاَ يَمَسُّهَا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذلِكَ الرَّجُلِ
الَّذِى تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ، فَاِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا اَصَابَهَا زَوْجُهَا
اِذَا اَحَبَّ. وَ اِنَّمَا يَفْعَلُ ذلِكَ رَغْبَةً فِى نَجَابَةِ اْلوَلَدِ.
فَكَانَ هذَا النِّكَاحُ يُسَمَّى نِكَاحَ اْلاِسْتِبْضَاعِ.
Bentuk
pernikahan yang lain yaitu, 2. seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika
istrinya itu telah suci dari haidl, “Pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah
untuk dikumpulinya”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya
sehingga jelas istrinya itu telah mengandung dari hasil hubungannya dengan
laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu
melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena
keinginan untuk mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini
disebut nikah istibdla’.
وَ
نِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ دُوْنَ اْلعَشْرَةِ فَيَدْخُلُوْنَ عَلَى
اْلمَرْأَةِ كُلُّهُمْ. فَيُصِيْبُوْنَهَا. فَاِذَا حَمَلَتْ وَ وَضَعَتْ وَ مَرَّ
لَيَالٍ بَعْدَ اَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا اَرْسَلَتْ اِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ
رَجُلٌ مِنْهُمْ اَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوْا عِنْدهَا، فَتَقُوْلُ
لَهُمْ. قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِى كَانَ مِنْ اَمْرِكُمْ، وَ قَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ
ابْنُكَ يَا فُلاَنُ، فَتُسَمِّى مَنْ اَحَبَّتْ بِاسْمِهِ. فَيُلْحَقُ بِهِ
وَلَدُهَا لاَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَمْتَنِعَ مِنْهُ
الرَّجُلُ.
Kemudian
bentuk yang lain, 3. Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari 10 orang berkumpul,
lalu mereka semua mencampuri seorang wanita. Apabila wanita tersebut telah hamil
dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari maka perempuan itu memanggil mereka
dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut
sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata
kepada mereka, “Sungguh anda semua telah mengetahui urusan kalian, sedang aku
sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan wanita itu
menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu
sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak boleh menolaknya.
وَ
نِكَاحٌ رَابِعٌ يَجْتَمِعُ النَّاسُ اْلكَثِيْرُ وَ يَدْخُلُوْنَ عَلَى
اْلمَرْأَةِ لاَ تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَ هُنَّ اْلبَغَايَا. يَنْصُبْنَ
عَلَى اَبْوَابِهِنَّ الرَّايَاتِ وَ تَكُوْنُ عَلَمًا. فَمَنْ اَرَادَهُنَّ دَخَل
عَلَيْهِنَّ، فَاِذَا حَمَلَتْ اِحْدَاهُنَّ وَ وَضَعَتْ جَمَعُوْا لَهَا وَ دَعَوْ
لَهَا اَلْقَافَةَ، ثُمَّ اْلحَقُوْا وَلَدَهَا بِالَّذِى يَرَوْنَ. فَالْتَاطَ
بِهِ وَ دُعِيَ ابْنَهُ لاَ يَمْتَنِعُ مِنْ ذلِكَ. فَلَمَّا بَعَثَ اللهُ
مُحَمَّدًا ص بِاْلحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ اْلجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ اِلاَّ نِكَاحَ
النَّاسِ اْليَوْمَ. البخارى و ابو داود. فى نيل الاوطار
6:178-179
Bentuk
ke-4 yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri seorang
wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya, sebab
mereka itu adalah pelacur-pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu
mereka sebagai tanda, siapasaja yang menginginkannya boleh masuk. Kemudian jika
salah seorang diantara wanita itu ada yang hamil dan melahirkan anaknya, maka
para laki-laki tadi berkumpul di situ, dan mereka pun memanggil orang-orang ahli
firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli
firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil
sebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh
menolaknya. Kemudian setelah Allah mengutus nabi Muhammad SAW sebagai Rasul
dengan jalan haq, beliau menghapus pernikahan model jahiliyah tersebut
keseluruhannya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang
ini.
[HR. Bukhari dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 6, hal.
178-179]
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak