Ahad,
01 April 2001/07 Muharram 1422
Brosur No. : 1080/1120/IF
Tentang
Thalaq
اَلطَّلاَقُ
مَرَّتنِ، فَاِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌ بِاِحْسَانٍ.
البقرة:229
Thalaq
(yang dapat dirujuki) itu dua kali, setelah itu boleh rujuk kembali dengan
ma’ruf atau menthalaqnya dengan cara yang baik.
[QS. Al-Baqarah : 229]
ياَيُّهَا
النَّبِيُّ، اِذَا طَلَّقْتُمُ النّسآءَ فَطَلّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ.
الطلاق:1
Hai
Nabi, apabila kamu menthalaq istri-istrimu, maka hendaklah kamu thalaq pada
waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar).
[QS. Ath-Thalaaq : 1]
عَنْ
عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص طَلَّقَ حَفْصَةَ، ثُمَّ
رَاجَعَهَا. ابو داود و النسائى و ابن ماجه
Dari
Umar bin Khaththab RA, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah menthalaq Hafshah,
kemudian merujukinya.
[HR. Abu Dawud, Nasai dan Ibnu Majah].
عَنْ
لَقِيْطِ بْنِ صَبْرَةَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّ لِى امْرَأَةً
فَذَكَرَ مِنْ بَذَائِهَا، قَالَ: طَلّقْهَا. قُلْتُ: اِنَّ لَهَا صَحْبَةً وَ
وَلَدًا. قَالَ: مُرْهَا اَوْ قُلْ لَهَا فَاِنْ يَكُنْ فِيْهَا خَيْرٌ سَتَفْعَلُ،
وَ لاَ تَضْرِبْ ظَعِيْنَتَكَ ضَرْبَكَ اَمَتَكَ. احمد و ابو داود
Dari
Laqith bin Shabrah ia berkata : Aku pernah bertanya, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku mempunyai seorang istri”. Lalu ia menyebutkan tentang ucapannya
yang kotor. Nabi SAW bersabda, “Thalaqlah dia !”. Aku berkata, “Sesungguhnya ia
mempunyai teman dan anak”. Nabi SAW bersabda, “Suruhlah dia atau katakan padanya
jika ada baiknya akan kamu lakukan. Dan hendaklah engkau tidak memukul istrimu
seperti engkau memukul ‘amatmu”.
[HR. Ahmad dan Abu Dawud].
عَنْ
ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا
الطَّلاَقَ فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ اْلجَنَّةِ.
الخمسة الا النسائى
Dari
Tsauban, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Siapasaja wanita yang minta
thalaq kepada suaminya tanpa ada sebab, maka haram baginya bau
surga”.
[HR. Khamsah kecuali Nasai].
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَبْغَضُ اْلحَلاَلِ اِلَى اللهِ عَزَّ وَ
جَلَّ الطَّلاَقُ. ابو داود و ابن ماجه
Dari
Ibnu Umar, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Perkara halal yang paling
dibenci oleh Allah ’Azza wa Jalla adalah thalaq”.
[HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah].
Larangan
menthalaq istri diwaktu sedang haidl
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَ هِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذلِكَ
عُمَرُ لِلنَّبِيّ ص، فَقَالَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا اَوْ لِيُطَلّقْهَا
طَاهِرًا اَوْ حَامِلاً. الجماعة الا البخارى
Dari
Ibnu Umar RA, bahwa ia pernah menthalaq istrinya, sedang istrinya itu dalam
keadaan haidl. Kemudian hal itu disampaikan oleh Umar kepada Nabi SAW, lalu Nabi
SAW bersabda, “Suruhlah dia untuk merujukinya kembali, atau hendaklah ia
menthalaqnya dalam keadaan suci atau hamil”.
[HR. Jama’ah kecuali Bukhari].
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ اَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَ هِيَ حَائِضٌ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ
اللهِ ص، فَسَأَلَ عُمَرُ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ ذلِكَ. فَقَالَ: مُرْهُ
فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ
تَطْهُرَ. ثُمَّ اِنْ شَاءَ اَمْسَكَ بَعْدُ. وَ اِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ اَنْ
يَمَسَّ، فَتِلْكَ اْلعِدَّةُ الَّتِى اَمَرَ اللهُ اَنْ تُطَلَّقَ لَهَا
النّسَاءُ. البخارى و مسلم
Dari
Ibnu ‘Umar, bahwasanya ia pernah menthalaq istrinya, pada hal istrinya dalam
keadaan haidl pada masa Rasulullah SAW. ‘Umar bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang hal itu. Maka beliau bersabda, “Suruhlah ia merujukinya, lalu ia
menahannya sehingga suci, kemudian ia haidl lagi, kemudian ia suci lagi.
Kemudian jika ia masih menginginkan, boleh tidak menthalaqnya. Dan jika ia mau,
ia boleh menthalaqnya sebelum mencampurinya. Maka itulah ‘iddah yang Allah
perintahkan supaya wanita dithalaq padanya”.
[HR. Bukhari dan Muslim]
و
لمسلم و النسائى نحوه و فى آخره قَالَ ابْنُ عُمَرَ: قَرَأَ النَّبِيُّ ص:
ياَيُّهَا النَّبِيُّ، اِذَا طَلَّقْتُمُ النّسَآءَ فَطَلّقُوْهُنَّ فِيْ قُبُلِ
عِدَّتِهِنَّ.
Dan
bagi Muslim dan Nasai seperti itu juga, dan pada akhir riwayat itu Ibnu ‘Umar
berkata : Dan Nabi SAW membaca (yang artinya) : Hai Nabi, apabila kamu menthalaq
istri-istrimu, maka hendaklah kamu menthalaq mereka pada waktu mereka dapat
menghadapi ‘iddah mereka”.
و
فى رواية اَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَ هِيَ حَائِضٌ تَطْلِيْقَةً. فَانْطَلَقَ
عُمَرُ فَاَخْبَرَ النَّبِيَّ ص. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: مُرْ عَبْدَ اللهِ،
فَلْيُرَاجِعْهَا. فَاِذَا اغْتَسَلَتْ فَلْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَحِيْضَ. فَاِذَا
اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا اْلاُخْرَى فَلاَ يَمَسَّهَا حَتَّى يُطَلّقَهَا. وَ
اِنْ شَاءَ اَنْ يُمْسِكَهَا فَلْيُمْسِكْهَا، فَاِنَّهَا اْلعِدَّةُ الَّتِى
اَمَرَ اللهُ اَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النّسَاءُ. الدارقطنى
Dan
dalam riwayat lain (dikatakan) : Bahwa sesungguhnya Ibnu ‘Umar menthalaq
istrinya, pada hal istrinya dalam keadaan haidl dengan thalaq satu. Lalu ‘Umar
pergi memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW, kemudian Nabi SAW bersabda
kepadanya, “Suruhlah Abdullah agar ia merujukinya kembali. Lalu apabila ia telah
mandi (suci) maka hendaklah ia tidak mendekatinya sehingga ia haidl (lagi),
kemudian apabila ia telah mandi (suci)
dari haidlnya yang kedua, maka hendaklah ia tidak mencampurinya sehingga ia
menthalaqnya. (Atau) jika ia ingin menahannya maka hendaklah ia menahannya,
karena itu ‘iddah yang diperintahkan Allah agar para wanita dithalaq untuk
‘iddah itu”.
[HR. Daruquthni].
عَنْ
عِكْرِمَةَ قَالَ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: اَلطَّلاَقُ عَلَى اَرْبَعَةِ اَوْجُهٍ.
وَجْهَانِ حَلاَلٌ وَ وَجْهَانِ حَرَامٌ. فَاَمَّا اللَّذَانِ هُمَا حَلاَلٌ:
فَاَنْ يُطَلّقَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ طَاهِرًا مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ اَوْ
يُطَلّقَهَا حَامِلاً مُسْتَبِيْنًا حَمْلَهَا. وَ اَمَّا اللَّذَانِ هُمَا
حَرَامٌ: فَاَنْ يُطَلّقَهَا حَائِضًا اَوْ يُطَلّقَهَا عِنْدَ اْلجِمَاعِ لاَ
يَدْرِى اشْتَمَلَ الرَّحِمُ عَلَى وَلَدٍ اَمْ لاَ. الدارقطنى
Dari
‘Ikrimah, ia berkata : Ibnu Abbas berkata, “Thalaq itu ada empat macam. Dua
macam halal dan yang dua macam lagi haram. Adapun dua macam yang halal ialah
seseorang menthalaq istrinya dalam keadaan suci yang belum dicampuri atau ia
menthalaqnya dalam keadaan hamil yang sudah jelas kehamilannya. Adapun dua macam
lagi yang haram ialah seseorang menthalaq istrinya dalam keadaan haidl atau
menthalaqnya dalam keadaan suci setelah dicampuri, sedang ia tidak tahu apakah
istrinya itu hamil atau tidak”.
[HR. Daruquthni].
Keterangan
:
Dari
hadits-hadits di atas bisa dipahami bahwa :
1. Apabila suami menthalaq istrinya, hendaklah
dilakukannya diwaktu istri dalam keadaan suci dari haidl dan belum dikumpuli
lagi, atau istri dalam keadaan hamil. Dan suami dilarang menthalaq istrinya
diwaktu ia sedang haidl. Namun apabila terjadi seorang suami menthalaq istrinya
dalam keadaan haidl, thalaq tersebut tetap sah, hanya saja tidak sesuai dengan
tuntunan sebagaimana yang Allah perintahkan dalam QS. Ath-Thalaaq :
1.
2. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW menyuruh Ibnu ‘Umar supaya menunggu dua kali suci, lalu kalau ia
akan menthalaqnya boleh ia lakukan atau kalau mau menahannya (tidak
menthalaqnya), ia boleh melakukannya, maka bisa dipahami bahwa menunggu dua kali
suci itu hanya keutamaan saja, bukan wajib. Dan bisa juga Nabi SAW memberi waktu
yang lebih longgar kepada Ibnu ‘Umar supaya berpikir : menthalaqnya ataukah
menahannya.
Thalaq
tiga dalam satu majlis
عَنْ
مَحْمُوْدِ بْنِ لَبِيْدٍ قَالَ: اُخْبِرَ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ ثَلاَثَ تَطْلِيْقاَتٍ جَمِيْعًا، فَقَامَ غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: أَ
يُلْعَبُ بِكِتَابِ اللهِ وَ اَنَا بَيْن اَظْهُرِكُمْ؟ حَتَّى قَامَ رَجُلٌ
فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلاَ اَقْتُلُهُ؟ النسائى و رواته
موثقون
Dari
Mahmud bin Labid, ia berkata : Dikhabarkan kepada Rasulullah SAW tentang
seseorang yang menthalaq istrinya dengan thalaq tiga sekaligus. Maka beliau
bangkit dengan marah, kemudian bersabda, “Apakah Kitab Allah hendak
dipermainkan, sedang aku masih berada diantara kalian ?”. Sehingga ada seorang
laki-laki yang bangkit lalu berkata, “Ya Rasulullah, bolehkah aku bunuh dia
?”.
[HR. Nasai, para perawinya orang kepercayaan]
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: طَلَّقَ اَبُوْ رُكَانَةَ اُمَّ رُكَانَةَ، فَقَالَ لَهُ
رَسُوْلُ اللهِ ص: رَاجِعِ امْرَأَتَكَ، فَقَالَ: اِنّى طَلَّقْتُهَا ثَلاَثًا.
قَالَ: قَدْ عَلِمْتُ، رَاجِعْهَا. ابو داود
Dari
Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Abu Rukanah telah menthalaq Ummu Rukanah. Maka
Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Rujukilah istrimu !”. Maka Abu Rukanah
berkata, “Sesungguhnya aku telah menthalaqnya dengan thalaq tiga (sekaligus)”.
Rasulullah SAW bersabda, “Aku sudah tahu, rujukilah ia”.
[HR. Abu Dawud]
عَنْ
مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ
مِائَةً. قَالَ: عَصَيْتَ رَبَّكَ وَ فَارَقْتَ امْرَأَتَكَ لَمْ تَتَّقِ اللهَ
فَيَجْعَلْ لَكَ مَخْرَجًا. الدارقطنى
Dari
Mujahid dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya oleh seorang laki-laki yang
telah menthalaq istrinya thalaq seratus. Ia menjawab, “Kamu durhaka kepada
Tuhanmu dan kamu telah menthalaq istrimu. Kamu tidak bertaqwa kepada Allah,
karena itu Ia (tidak) memberikan suatu jalan keluar bagimu”.
[HR. Daruquthni].
عَنْ
سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَجُلاً طَلَّقَ امْرَأَتَهُ
اَلْفًا، قَالَ: يَكْفِيْكَ مِنْ ذلِكَ ثَلاَثٌ وَ تَدَعُ تِسْعَمِائَةٍ وَ سَبْعًا
وَ تِسْعِيْنَ. الدارقطنى
Dari
Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki telah
menthalaq istrinya thalaq seribu. Ibnu Abbas berkata, “Thalaq itu cukup bagimu
tiga kali dan buanglah yang sembilan ratus sembilan puluh tujuh”.
[HR. Daruquthni]
عَنْ
سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ عَدَدَ النُّجُوْمِ، فَقَالَ: اَخْطَأَ السُّنَّةَ وَ حَرُمَتْ
عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ. الدارقطنى
Dari
Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya ia pernah ditanya tentang
seorang laki-laki yang menthalaq istrinya sebanyak bintang di langit, lalu ia
berkata, “Dia menyalahi sunnah Nabi dan istrinya haram baginya”.
[HR. Daruquthni].
وَ
قَدْ رَوَى طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ الطَّلاَقُ عَلَى عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ ص وَ اَبِى بَكْرٍ وَ سَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ
الثَّلاَثِ وَاحِدَةً. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ: اِنَّ النَّاسَ قَدِ
اسْتَعْجَلُوْا فِى اَمْرٍ كَانَتْ لَهُمْ فِيْهِ اَنَاةٌ فَلَوْ اَمْضَيْنَاهُ
عَلَيْهِمْ فَاَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ. احمد و مسلم
Dan
sungguh Thawus meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Adalah thalaq di masa
Rasulullah SAW, Abu Bakar dan dua tahun dari pemerintahan ‘Umar, thalaq tiga
(yang dijatuhkan sekaligus) itu jatuh satu”. Kemudian ‘Umar bin Khaththab
berkata, “Sesungguhnya manusia benar-benar tergesa-gesa dalam urusan yang
seharusnya mereka tempuh dengan shabar. Maka alangkah baiknya kalau kami
laksanakan hal itu atas mereka ?”. Kemudian ‘Umar melaksanakannya atas
mereka.
[HR. Ahmad dan Muslim].
وَ
فِى رِوَايَةٍ عَنْ طَاوُسٍ اَنَّ اَبَا الصَّهْبَاءِ قَالَ ِلابْنِ عَبَّاسٍ:
هَاتِ مِنْ هَنَاتِكَ، اَلَمْ يَكُنْ طَلاَقُ الثَّلاَثِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ
اللهِ ص وَ اَبِى بَكْرٍ وَاحِدَةً؟ فَقَالَ: قَدْ كَانَ ذلِكَ. فَلَمَّا كَانَ فِى
عَهْدِ عُمَرَ تَتَابَعَ النَّاسُ فِى الطَّلاَقِ، فَاَجَازَهُ عَلَيْهِمْ.
مسلم
Dan
dalam riwayat lain dari Thawus, bahwa sesungguhnya Abu Shahba’ pernah berkata
kepada Ibnu Abbas, “Berilah aku pengetahuan yang kau miliki, bukankah thalaq
tiga (yang dijatuhkan sekaligus) di masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar dianggap
jatuh satu ?”. Kemudian ia menjawab, “Benar begitu, tetapi di masa ‘Umar,
manusia berlebih-lebihan dalam urusan thalaq, lalu ‘Umar menetapkan keadaan itu
atas mereka”.
[HR. Muslim].
Keterangan
:
Pada
zaman Nabi SAW, zaman khilafah Abu Bakar dan dua tahun di masa khilafah Umar,
kalau orang menyebut, “Aku thalaq istriku thalaq tiga”, maka yang teranggap
jatuh thalaq itu hanya satu. Tetapi setelah banyak orang bermain-main menyebut
“thalaq tiga”, maka ‘Umar memberitahukan bahwa siapa yang menthalaq istrinya
dengan menyebut “thalaq tiga”, akan dianggap thalaq tiga betul-betul dan tidak
boleh kembali kepada istrinya itu lagi sebelum ia kawin dengan laki-laki
lain.
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah yang bijak